Minggu, 30 Mei 2010

Sengketa tanah gili trawangan

Berlarut karena nepotisme dan tidak adanya kesungguhan pemerintah 
Lombok Utara (Primadona) – Berlarutnya persoalan sengketa tanah gili trawangan hingga mendekati setengah abad saat ini, tidak terlepas dari adanya unsur nepotisme dan koncoisme secara berjamaah yang telah bergenerasi, dan dilakukan oleh sejumlah pihak yang berhubungan erat dengan kasus tanah trawangan.

Selain itu, sengketa yang diciptakan oleh rezim penguasa zaman orde baru itu, dibiarkan begitu saja tanpa adanya upaya bersungguh-sungguh untuk diselesaikan oleh pihak pemerintah baik provinsi, kabupaten lobar dulunya hingga pemerintah pusat, bahkan oleh pemerintah daerah KLU yang memiliki kewenangan besar saat ini, belum terpikirkan tindak lanjutnya. Padahal masalah ini menjadi ancaman dan bom waktu yang setiap saat bisa meledak.

Entah karena, si pengusaha begitu ditakuti oleh elit pemerintah, atau para penguasa begitu silau dengan tumpukan dana yang konon akan di investasikan oleh para pengusaha itu, sehingga penderitaan rakyat dianggap tidak begitu berarti.

Tidak itu saja dan sungguh ironis, khabarnya unsur pimpinan DPRD KLU tidak merekomendasikan penanganan sengketa tanah trawanganm, termasuk penjabat bupati pertama hingga penjabat bupati kedua (sekarang-red), enggan campur tangan untuk menyelesaiakan kasus tanah karatan itu, Beberapa hal tersebut mengemuka dalam acara perbincangan silturahmi kunjungan kerja komisi I bersama komisi II DPRD KLU dengan sejumlah tokoh masyarakat digili trawangan.

ketua sementara komisi I DPRD KLU, Ardianto.SH yang memimpim rombongan saat itu mengatakan, meski saat ini kasus sengketa tanah gili trawangan sudah menjadi isu nasional dan telah ditangani komisi II DPR-RI, namun pihak pemerintah NTB dan pemda KLU tidak boleh berpangku tangan menjadi penonton. Karenanya, harus ada upaya konkrit pihak pemerintah untuk menuntaskan kasus tanah gili trawangan, sebab ini sangat berpengaruh sistemik terhadap perekonomian daerah terutama kabupaten lombok utara yang saat ini menggantungkan nafas utama dari sektor pariwisata, jelas Ardianto.

Menurut politisi muda Partai Peduli Rakyat Nasional (PPRN) itu, berdasarkan asal muasal terjadinya sengketa tanah, yang melibatkan masyarakat dengan beberapa pengusaha yakni PT.GTI dan PT.WAH tersebut, ratusan hektar tanah yang diberikan pengelolaan nya oleh pemerintah provinsi awal tahun 1971 kepada kedua grup pengusaha tersebut, telah dengan sengaja ditelantarkan selama 37 tahun lebih sehingga masyarakat masuk untuk mengelola sektor pariwisata berkonsep kerakyatan. Ia menegaskan, bahwa UUD.1945 pasal 33 ayat 3 dan UU.Pokok Agraria Th.1960, sudah sangat jelas mengatur dan dapat dijadikan landasan utama untuk mencabut hak kelola para pengusaha itu.

Selain itu, melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah daerah,erta beberapa peraturan lainnya, termasuk peraturan terbaru yaitu, PP.11 Th 2010 tentang penertiban lahan-lahan terlantar yang diluncurkan april kemarin, pemda dapat mengambil sikap tegas untuk menyelesaikan kasus trawangan, disamping tetap berkordinasi dengan pemerintah pusat, pungkas ardianto.“soal pengelolaan lahan setelah dicabut dari para penguaha itu, nantinya dikembalikan ke Negara, kenudian diserahkan kepada masyarakat atau investor untuk dikelola dengan baik untuk kesejahteraan rakyat,” pungkasnya.

Mantan aktivis dan pekerja sosial itu menambahkan, terkatung-katungnya penyelesaian sengketa tanah trawangan hingga saat ini, sangat mempengaruhi minimnya penarikan objek pajak dan retribusi dari hasil pariwisata di kawasan wisata bahari itu. Tercatat puluhan penginapan dan rumah makan yang beroperasi dilahan yang klaim miliknya PT.GTI dan PT.WAH, namun beberapa persen yang dapat ditarik pemda KLU, hal ini karena pemerintah memang tidak ada dasar jelas untuk menarik pajak atau retribusi, sebab status dan ketetapan hukum lahan tersebut tidak jelas. “masyarakat tidak dapat disalahkan karena tidak membayar pajak atau retribusi. Sebab tanah itu memang masih mengambang statusnya, kata ardianto kepada Koran ini.Dikatakannya, sungguh naïf jika terus membanggakan tiga gili sebagai penyumbang terbesar PAD KLU, akan tetapi kita selalu menutup mata terhadap penyelesaian sengketa yang telah menghantui masyarakat selama puluhan tahun itu,” Oleh karenanya ia berjanji untuk terus menyuarakan usulan penyelesaian sengketa tersebut.

Pihaknya juga akan berusaha agar DPRD KLU segera membentuk pansus gili trawangan, bahkan jika memungkinkan dirinya dan beberapa anggota legislative KLU yang simpatik terhadap masalah itu, siap mendampingi masyarakat untuk proses penyelesaian ditingkat pusaat. Sementara hasil dari kunjungan kerja dan pertemuan dengan beberapa tokoh pelaku sejarah gili trawangan itu, akan menjadi referensi dan pendalaman yang lebih rinci untuk dapat meng-advokasi tuntasnya persoalan tersebut.(lalu supriadi/*)

1 komentar:

  1. Gili Trawangan sejak dari Hutan belantara tidak ada yang mengklaim ada yang punya. sejak menjadi daerah tujuan wisata mulai ramai-ramai mengkelaim, ada apa di Gili Trawangan, apakah nasibnya Gili Trawangan seperti ini, Kalau uang melimpah ada dan kedekatan personal kental dengan pejabat maka surat menyrat gam[pang di bikin. jangan bodohi masyarakat dech, sekarang sudah jaman reformasi. ingat gili tranwang yang mengusahakan sampai terkenal adalah masyarakat gili trawangan sendiri. Maju DPRD KLU bela wargamu yang sekarang tertindas, Selamatkan Usaha Rakyatmu.

    BalasHapus