Kamis, 19 Januari 2012

Ritual Adat ‘’Rebo Buntung’’ Prosesi Tolak Bala ala Masyarakat Sasak

RITUAL ADAT : Masyarakat Sasak menggelar ritual Rebo Buntung atau Mandi Safar yang bertujuan menolak bala. Tampak warga Ketapang, Tanjung Menangis, Kecamatan Pringgabaya, Lotim menyiapkan kepala kerbau untuk dilarung ke laut sebagai sarana ritual. Sementara warga di Gili Meno, lombok Utara, beramai-ramai mandi di laut sebagai tradisi membersihkan diri agar dijauhkan dari bala. (Suara NTB/ist.joe)


Ritual adat Rebo Buntung (hari Rabu terakhir) adalah salah satu dari sekian tradisi dan budaya yang melekat pada sebagian masyarakat Suku Sasak yang menghuni Pulau Lombok. Berdasarkan latar belakang sejarah, Rebo Buntung ini dikenal dengan prosesi mandi pada hari Rabu terakhir di Bulan Safar. Hal itu dimaksudkan untuk menolak bala bencana yang akan menimpa.

PROSESI itulah yang dilakukan masyarakat adat Sasak di wilayah di Pantai Ketapang Tanjung Menangis Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lotim, Rabu (18/1) kemarin. Sejumlah pemangku adat Sasak hadir dalam prosesi ritual adat tersebut yang disaksikan Bupati Lotim, H.M. Sukiman Azmy.

Rebo Buntung bermakna hari Rabu yang terputus, dikarenakan hari tersebut berada diantara dua bulan yakni Safar dan Rabiul Awal (bulan maulid nabi). Buntung juga dimaknai buruk yakni petaka.

Bupati Lotim memberi makna ritual adat tersebut sebagai bagian dari cara melahirkan ketenangan, kenyamanan, kedamaian dalam hidup bermasyarakat. Karenanya, seluruh anggota masyarakat secara bersama-sama, diajak satu tekad, satu tujuan, membersihkan diri dari segala sifat negatif. Sehingga terhindarkan dari bala bencana dalam kehidupan. Bala dan bencana hadir dikatakan kerap juga disebabkan adanya pengaruh perilaku negatif manusia.

Ditegaskan, menjaga keseimbangan alam merupakan kewajiban.. Utamanya akibat perubahan iklim saat ini. Banyaknya bencana alam akhir-akhir ini akibat ketidakseimbangan alam. Manusia sebagai makhluk Tuhan yang diberikan misi besar sudah tidak lagi memperhatikan keseimbangan itu.

Manusia telah merusak tanpa pernah berfikir untuk memperbaiki. Alam tidak lagi dianggap sebagai sumber kehidupan penting. Karenanya harus dimuliakan, dipuja sekaligus disakralkan. Selama ini, alam juga telah diartikan salah. Yakni sebatas ladang eskploitasi yang mendatangkan keuntungan besar. Kepada masyarakat, Bupati Sukiman mengajak menghindari sikap dan perilaku yang dapat mengancam keseimbangan dan kelestarian alam.

Ritual adat Rebo Buntung mengandung nilai budaya dan jati diri masyarakat adat Sasak. Ditengah gerusan budaya dan perkembangan dunia yang semakin bergerak cepat seiring kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Budaya asli daerah tergerus.  Hadir budaya hidup bebas, materialistik, dan mengesampingkan nilai-nilai agama.  

“Budaya asli yang kita miliki mulai terancam. Bukti nyata sudah tampak di hadapan kita, di mana kini pola hidup bebas, materialistik, hedonistik, dan mengesampingkan nilai agama hampir menjadi gaya hidup sebagian besar generasi kita, lebih-lebih generasi muda,” papar Bupati.

Di samping itu, akibat kompleksitas permasalahan sosial, ekonomi dan politik. Lahir sikap, perilaku masyarakat yang tidak mencerminkan diri sebagai seorang yang memiliki budaya dan adat istiadat. Maraknya tindak kriminal seperti penipuan, bentrokan antarwilayah akibat perbedaan organisasi dan politik. Benturan antarpelajar dan elemen mahasiswa.

“Oleh sebab itu, maka alangkah arifnya apabila kesempatan ini kita pergunakan untuk melakukan kilas balik dan perenungan kembali indentitas, jati diri kita, yakni nilai-nilai luhur budaya bangsa,” pinta Bupati.

Selanjutnya dipesankan, para tokoh adat, tokoh agama  bersama dengan pemerintah hendaknya bisa bahu membahu dalam mengangkat dan melestarikan kembali nilai-nilai budaya. Momentum pesta rakyat Ritual Adat Rebo Buntung diharapkan dapat melahirkan kembali semangat dan gairah dalam mengembangkan budaya dan adat istiadat Sasak. Sebagai pondasi meraih kemajuan.

Kepala Dinas (Kadis) Kebudayaan dan Pariwisata (Budpar) Lotim, H. Gufranudin menngatakan, ritual adat Rebo Buntung ini sudah menjadi aset wisata budaya. Telah menjadi Calendar of  Event Tourism  NTB.

Digelarnya Ritual Adat Rebo Buntung menjadi ritual pembuka awal diaplikasikannya Program Visit Lombok Sumbawa (VLS) 2012 dengan satu juta kunjungan wisatawan datang ke NTB. Ritual adat Rebo Buntung dikatakan sebagai salah satu bukti kekayaan adat masyarakat Sasak. Tentunya ke depan akan dilestarikan budaya Sasak tersebut, khususnya di tengah masyarakat adat  yang ada di Lotim.

Menarik Minat Wisatawan

Sementara itu, ritual serupa juga berlangsung di Desa Gili Indah, Pemenang, Kabupaten Lombok Utara. Prosesi Mandi Safar atau Rebo Buntung ini, menarik wisatawan mancanegara. Terlihat mereka begitu antusias melihat prosesi Mandi Sapar atau Rebo Bontong yang digelar masyarakat Desa Gili Indah, Kecamatan Pemenang, Lombok Utara, Rabu (18/1) kemarin. Para wisatawan terlihat mengabadikan momen itu, sekaligus membaur dengan terlibat ikut barzanji, mengarak sesangi (sesajen) dan mandi di Pantai Gili Meno.

Para wisatawan ada yang terlihat menggendong anak balitanya, ada pula yang mendandani putri balitanya dengan perkakas kebaya adat Sasak. Yang unik dari acara ini, semua pengunjung diwajibkan mandi. Tidak ada istilah menolak, yang enggan mandi, akan digotong beramai-ramai untuk diceburkan ke pantai. Tokoh Gili Meno hingga Kades, termasuk yang mengawali gotong menggotong para tamu untuk diceburkan.

Akan halnya wisman, warga Dusun Gili Meno, Desa Gili Indah juga tak kalah antusias. Anak-anak, tua muda, laki dan perempuan, hingga tokoh adat dan tokoh agama undangan dari Kecamatan Pemenang dan sekitarnya juga berbaur bersama Wakil Bupati KLU, H. Najmul Akhyar, SH, MH., yang memimpin acara sebagai simbol tolak bala tersebut.

Kepala Desa Gili Indah, M. Taufik, mengatakan Mandi Safar merupakan tradisi nenek moyang masyarakat ili yang berasal dari Bugis, Sulawesi. Sempat mati suri, ritual itu kembali digalakkan beberapa tahun terkahir. Secara bergiliran, Rebo Buntung ini digelar setiap tahun di tiga ili, tahun lalu di Gili Trawangan, dan tahun depan di Gili Air.

"Ritual ini aktif lagi yang tidak lepas dari perhatian masyarakat. Ritual ini kami agendakan tiap tahun dengan dua orientasi, yakni menolak bala dan menarik minat wisatawan untuk berkunjung ke Meno. Orientasi terakhir tidak lepas dari sebaran kunjungan wisatawan yang masih didominasi oleh Trawangan. Dengan jumlah penduduk sekitar 800 KK, Meno memang belum mampu menandingi minat wisman ke pulau tetangganya, Trawangan. Meno justru mirip-mirip dengan Gili Air.

Sebagai destinasi wisata, M. Taufik pun menetapkan identitas tiga daerah itu. Trawangan sebagai destinasi utama, terkenal dengan kebisingan pub dan club malamnya. Sementara di Gili Meno, iringan musik hanya terdengar dari alunan gambus, sedangkan Gili Air, peris tak terdapat musikalitas sama sekali.

"Meno dan Air kami sebut sebagai honeymoon island, karena sepi, tidak ada hingar bingar musik seperti Trawangan," imbuhnya.

Saat ini lanjut dia, infrastruktur yang masih dirasakan kurang adalah persoalan listrik, jalan utama gili dan air bersih. Namun tahun ini, warga Desa Gili Indah patut bersyukur karena program jalan desa akan terealisasi melalui program PNPM.

Wakil Bupati KLU, H. Najmul Akhyar, mengutip sejarawan, bahwa dalam ritual Rebo Buntung sebagai simbol mengenang kembali perisitiwa sejarah Islam masa lampau. "Mandi Sapar merupakan momentum mengenang sejarah seperti peristiwa selamatnya Kapal Nabi Huth, Selamatnya Nabi Ibrahim dari Api, dan Selamatnya Nabi Musa dan saudaranya dari kejaran Fir'aun. Peristiwa-peristiwa itu semuanya terjadi di Bulan Safar (bulan kedua Islam)," papar Najmul.

Terlepas dari peristiwa itu yang bukan ajaran langsung para Nabi, ia mengajak masyarakat untuk mengambil hikmahnya dengan hajat menolak bala dan bencana bagi warga yang menyelenggarakannya. Artinya upaya itu merupakan ikhtiar bersama warga ili untuk turut melestarikan aset wisata yang tidak lepas dari campur tangan Allah SWT. (rus/joe) Sumber: Suara NTB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar