Rabu, 07 April 2010

Menjarah Pemilukada

SEORANG yang gagal menjadi calon kepala daerah bercerita, “Partai politik memasang tarif Rp 350 juta per kursi untuk dapat didukung menjadi calon bupati.”

Oleh: Noorhalis Majid


Kalau syarat dukungan enam kursi, maka enam kali Rp 350 juta. Itu hanya tarif calon bupati. Untuk gubernur, tarif kursinya lebih dari satu miliar rupiah.
Teman tadi gagal menjadi calon, karena tidak memiliki uang. Mendengar cerita itu, spontan penulis mengatakan, “Ini penjarahan pemilukada!”

Kenapa penjarahan? Sekadar istilah untuk mengatakan demokrasi sedang dirampok. Beberapa riset yang membaca fenomena ini menyebutnya ‘pembajakan demokrasi’. Demokrasi diperlakukan tidak sebagaimana mestinya. Pemilukada adalah proses demokrasi untuk memilih kepala daerah. Tugas partai politik (parpol) menciptakan kader pemimpin. Pemberi mandat parpol adalah konstituen pemilihnya. Pemilih tentu saja tidak pernah memandatkan suaranya untuk diperdagangkan. Kalau kemudian diperdagangkan di ‘pasar’ Pemilukada, maka itulah yang dimaksud penjarahan Pemilukada.

“Partai politik sedang panen raya,” kata seorang calon yang tertipu karena dukungan partai ternyata ganda. Motivasi dagang telah menimbulkan konflik di parpol. Akhirnya terjadi dukungan ganda, kepengurusan terbelah, perebutan kewenangan antara DPC, DPD, dan DPP. Semua konflik itu muaranya hanya soal uang. Integritas terhadap partai ditentukan pada seberapa besar uang bisa dialirkan ke tubuh partai. Tubuh partai dalam hal ini adalah para petinggi partai. Uang tanpa kuintansi beredar di antarpengurus yang berlomba paling berhak.

Calon yang tertipu ‘Perdagangan gelap’ itu tidak dapat berbuat apa pun, selain menyesali nasib. Berdasarkan beberapa percakapan dengan para bakal calon, ada yang mengaku dikibuli Rp 1,5 miliar, ada yang Rp 5 miliar dan berbagai cerita tipu menipu para makelar politik. Melihat fenomena itu, adakah istilah yang lebih halus untuk tidak mengatakan ‘penjarahan pemilukada?’

Kalau parpol memperdagangkan dukungannya, maka uang menjadi ukuran utama. Dengan demikian hanya yang berduitlah bisa masuk ke arena pemilukada. Calon yang berlatar belakang akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama dan terlebih LSM yang notabene tidak memiliki duit, tidak akan pernah bisa menjadi calon.Saya mengira, uang yang diminta parpol digunakan untuk kampanye pemenangan. Ternyata calon harus menyediakan dana kampanye lagi.

Dukungan parpol hanya sebatas syarat pendaftaran sebagai calon. Tim kampanye disusun sendiri oleh calon, dan personelnya tidak terikat pada parpol pendukung. Calon mungkin memahami, mesin parpol tidak pernah bekerja dengan baik, karena amunisi penggerak tidak pernah sampai ke tingkat paling bawah.

Dengan serba duit seperti ini, yang dapat meramaikan pemilukada hanyalah yang berduit. Lantas siapakah orang yang berduit di negeri ini? Yang berduit adalah pengusaha dan penguasa korup. Karena, kalau penguasa tidak korup mustahil memiliki banyak duit. Penguasa biasanya berusaha menjadi pengusaha, dan pengusaha berlomba menjadi penguasa.

Melihat latar belakang semua calon gubernur yang bertarung saat ini, maka didominasi oleh incumbent atau penguasa. Baik penguasa di tingkat kabupaten/kota maupun di provinsi. Dengan berbaik sangka, mungkin selama menjadi penguasa mereka menabung dan akhirnya memiliki dana untuk berpemilukada. Mungkin juga terjadi koalisi dengan pengusaha yang berharap lahirnya kebijakan propengusaha. Berbagai kemungkinan bisa saja terjadi, dan hanya mereka yang tahu.

Fragmatisme
Praktik jual beli dukungan melahirkan budaya fragmatisme, menular hingga ke tingkat bawah. Di tingkat pemilih, hal yang sama terjadi. Tiga bulan terakhir hingga hari pemilihan, suhu politik dipastikan memanas.

Pendekatan strategis tiga bulan terakhir ini adalah dengan melakukan tatap muka langsung. Para calon akan turun menemui pemilihnya. Tatap muka lebih berkesan mana kala dibarengi bantuan langsung tunai. Itulah jual beli dalam bentuk lain, penularan fragmatisme.

Parpol telah berhasil menularkan budaya fragmatisme. Bantuan para calon terus mengalir hingga jauh. Tampaknya tidak ada yang risau melihat praktik itu. Kalau keputusan dalam memilih pun ditentukan oleh besarnya sumbangan, maka pemilukada benar-benar dijarah materialisme. Bila itu terjadi, maka pemenang pemilukada ini adalah uang. Di luar uang hanyalah penonton.

Karena itu agar turut merasakan kucuran uang, maka beramai-ramilah mempersubur fragmatisme. Akademisi yang biasa netral, karena fragmatis akhirnya menjadi konsultan politik. Pemuka agama yang seharusnya juga netral, ikutan fragmatisme dan menjadi tim sukses, serta lain sebaginya.

Masih adakah harapan pada pemilukada yang penuh fragmatisme seperti itu? Sudah menjadi hukum alam, kalau pemenangnya adalah uang maka kekuasaannya juga hanya untuk mengejar uang. Keprihatinan kita pada semakin rusaknya lingkungan hidup karena dikuras habis sumber daya alam, tidak akan terhindarkan.

Lantas bagaimana? Kalau parpol telah menjarah separuh proses pemilukada ini, maka separuhnya lagi harus diselamatkan yaitu dengan mencerdaskan pemilih agar tidak terbawa fragmatisme. Akademisi, media massa dan kelompok pemerhati, harus terus menyuarakan pentingnya menjadi pemilih cerdas. Pemilih yang tidak dihinggapi penyakit rabun jauh, yang mampu melihat pemilukada sebagai jalan panjang menuju perubahan. * Kelompok Kerja Jaringan Demokrasi (KKJD) Kalsel
http://banjarmasinpost.co.id/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar