Jumat, 01 Juni 2012

Kain Tenun Bayan, Penanda Identitas dan Komoditas Kepariwisataan

Lombok utara - Pakaian memang lazim dijadikan penanda identitas, bahkan status sosial pemakainya. Dalam masyarakat adat: warna-warna tertentu, motif-motif khusus, model pakaian dan asesoris yang menyertainya bisa jadi hanya boleh dikenakan oleh orang-orang tertentu dan pantang dikenakan oleh kelompok orang lainnya.

Kendati sepintas lalu tidak mudah bagi orang luar mengenali pembedaan cara berpakaian itu, namun sesungguhnya warga masyarakat adat itu sendiri senantiasa menaati suatu aturan tata-cara berpakaian adat dengan patut dan sepantasnya. Demikian halnya dengan pakaian adat Bayan di Desa Bayan, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara. Melalui pakaian yang dikenakannya sebetulnya tercermin posisi sosial, yakni apakah dia tokoh adat atau bukan dan apakah dia partisipan pelaksana upacara atau sekadar partisipan yang hadir dalam upacara; terpajang stratifikasi sosialnya, misalnya apakah dia dari golongan perwangsa (bangsawan) atau jajarkarang (orang awam); tergambar peranan-peranan sosial tertentu dalam skenario upacara, antara lain penggunaan asesori tongkol jagung sebagai simbol kelelakian, meskipun pemakainya adalah perempuan atau berdandan ala perempuan kendati pemakainya adalah pria; dan berbagai aspek-aspek penanda identitas lainnya.

Penggunaan pakaian adat selalu berkenaan dengan penyelenggaraan upacara adat. Di antara berbagai upacara adat di Bayan, ada dua kategori upacara adat yang senantiasa melibatkan kemeriahan orang banyak. Kategori pertama ialah upacara berkenaan hari-hari besar adat-keagamaan, yakni maulud, lebaran tinggi (Fitri) dan lebaran pendek (Adha). Pada kategori upacara ini prosesi mauludan adat merupakan yang paling gegap-gempita, diselenggarakan selama dua hari dua malam.

Kategori kedua ialah upacara berkenaan dengan siklus hidup seseorang, seperti perkawinan hingga kematian. Dalam kategori ini Orang Bayan membaginya menjadi dua, yaitu Gawe Urip, yaitu upacara-upacara terkait kehidupan seseorang, misalnya perkawinan, kehamilan, kelahiran, buang awu (memberi nama bayi), ngurisan (potong rambut) hingga nyunatan (khitan); dan, Gawe Mati, yaitu upacara-upacara terkait dengan kematian, mulai hari 'H' meninggalnya si mati hingga rangkaian upacara lanjutannya, hingga ton-tonan (peringatan ulang tahun kematian). Dalam kategori kedua ini upacara besarnya disebut gawe beliq, yang bisa berupa perkawinan atau khitanan. Disebut demikian, artinya upacara besar, karena seringkali rangkaian hari 'H' upacara ini bisa berlangsung sampai sekitar seminggu non-stop. Setiap hari sekurang-kurangnya seekor kerbau atau sapi dipotong untuk masakan menjamu para tetamu, lain lagi hitungan kambing dan domba yang ikut disembelih guna memeriahkan perhelatan. Peresaian, yakni permainan olahraga adu rotan dan berbagai group seni kerawitan (musik tradisional) biasanya ikut diselenggarakan dalam pelaksanaan gawe beliq ini.

Ketika dilaksanakan inti perayaan maulud maupun penyelenggaraan gawe beliq, para pelaku upacara menggunakan pakaian adat lengkap sesuai peruntukannya. Dalam rangkaian pawai adat maulud di Desa Bayan Beliq misalnya, dua pasang pria berdandan dan berpakaian sebagai pasangan lelaki dan perempuan yang menyimbolkan Adam-Hawa dan tuaq-turun (leluhur) Orang Bayan, lalu diikuti oleh wakil-wakil dari kampu, yaitu kesatuan pemukiman adat dan desa-desa adat terkait. Sedangkan di Desa Semokan, satu desa yang lebih konservatif di lingkungan masyarakat adat Bayan, para wanita yang melaksanakan pawai berbaris menuju pedangan (dapur umum) setelah prosesi pencucian beras adat di Sungai Semokan. 

Sebagian pakaian adat Bayan merupakan hasil karya tenunan tangan (manual) para gadis, ibu-ibu hingga nenek-nenek di Desa Bayan, Kecamatan Bayan dan sekitarnya. Misalnya Jong, yakni penutup kepala wanita, hanya dapat dibuat oleh para penenun yang berpengalaman karena rumitnya corak dan pewarnaan yang harus dikerjakan. Penenun Jong biasanya menyimpan rahasia pembuatannya sebagai warisan turun-temurun.

Dengan dibukanya kawasan Bayan sebagai bagian dari kawasan wisata Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), warga desa Bayan dan sekitarnya, dan khususnya Desa Karangbajo dan Desa Senaru banyak melibatkan diri di sektor kepariwisataan. Salah satu peranserta Orang Bayan adalah memproduksi kain tenunan tangan, baik dijual sebagai kain bahan pakaian, maupun sebagai bahan baku dari produk-produk souvenir, misalnya kantong tas handphone, dompet dan tas kain, dan lain-lain. Produk-produk kebudayaan bukan hanya sesuatu yang bernilai sosial-budaya belaka. Ketika kepariwisataan membuka diri di kawasan yang bersangkutan maka produk-produk kebudayaan itu akan bernilai ekonomi juga dan dapat menyumbangkan kesejahteraan ekonomi bagi masyarakat pendukungnya.

Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) dengan hutan tropis, dua gunung, yakni puncak Gunung Rinjani dan puncak Gunung Barujari, danau Segara Anak (lihat foto), air terjun dan sungai alam, adalah obyek wisata alam yang terkenal di mancanegara. Namun, barangkali warga kebudayaan asli setempat, yakni Orang Bayan dan kekayaan kebudayaannya, baru sedikit diketahui dunia. Kain tenun Bayan bisa menjadi wahana untuk memperkenalkan kebudayaan asli itu kepada para pengunjung wisata alam TNGR dari mancanegara. Kata pepatah: “Tak kenal, maka tak sayang.” (AEM)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar