Selasa, 24 November 2009

Cinta Yang Kandas di Tengah Jalan

Wajah ayu dihiasi lesung pipit pada kedua belah pipinya yang kuning langsat, kini berubah menjadi wajah yang pucat pasi. Mata sayu tiada bersinar seperti dulu, yang selalu disebut "bintang Kejora" kerena kecantikannya. Lesung pipit di kedua belah pipinya berubah menjadi cekung, bibir yang tadinya merekah yang dihiasi dengan gigi-geligi laksana mutiara itu, kini hilang lenyap tiada bekas. Oh Melati! kemanakah kecantikanmu yang dulu selalu mengundang gairah setiap mata memandang, dan yang pernah membuat seorang pemuda tampan mabuk kepayang sehingga menjadi korban cintamu?

Melati, demikianlah nama sang gadis yang cantik jelita, laksana bunga yang sedang mekar di taman surgawi, yang di dalam hidupnya penuh gairah dan kreatif tanpa ada hambatan yang berarti. Melati dirawat oleh paman adik dari ayahnya, seorang pengusaha bonafid. Pamannya belum memiliki keturunan, walau sudah kawin sepuluh tahun lalu. Oleh paman dan bibinya, Melati dimanja dan apapun yang dinginkan pasti diberi, asalkan bermamfaat bagi dirinya.

Setelah Melati menyelesaikan studinya di SMU, ia melanjutkan ke perguruan tinggi dan diterima di sebuah Universitas jurusan hukum. Ia bercita-cita sejak kecil ingin menjadi pengacara terkenal. Tapi apa hendak dikata, cita-cita tinggallah sebuah kenangan, baru saja duduk di tingkat III, Melati sudah dipinang oleh seorang aktivis yang bernama Leo. Pinangan Leo ini diterima oleh sang paman tanpa konsultasi dengan Melati. Padahal Melati, diam-diam sudah memiliki idaman hati yaitu Rifki yang berasal dari pulau seberang

Melati mencintai Rifki, bahkan mereka sudah berjanji untuk melanjutkan hubungannya sampai ke jenjang perkawinan. Rifki seorang pemuda tampan yang sabar dan halus budi pekertinya, baik terhadap orang tua maupun kawan sejawatnya.

Ayahnya seorang pengusaha yang cukup berhasil di kotanya. Kendati demikian, kehidupan Rifki cukup sederhana, pergi kemanapun menggunakan bis, meski dirumahnya berderet mobil ayahnya.

Hubungan kedua insan yang mabuk asmara antara Rifki dan Melati, terus berjalan seperti biasa tanpa diketahui oleh paman dan bibinya.

Suatu malam, Melati dipanggil oleh pamannya untuk memberitahu kalau dirinya sudah mendapat pinangan dari seorang aktivis yang bernama Leo. Dan oleh pamannya pinangan Leo itu sudah diterima dan bahkan sudah ditentukan hari perkawinannya. Betapa terkejutnya Melati mendengar penjelasan pamannya, badannya bergetar, giginya menggigil, matanya merah menahan tangis dan tak mampu mengomentari atau menolak keinginan pamannya.

Air mata tak dapat dibendung, dan pagi-pagi buta Melati keluar meninggalkan rumah pamannya menuju ke rumah Rifki untuk menceritakan semua peristiwa yang terjadi. Mendengar curhat sang kekasih, Rifki terkejut, lebih-lebih Melati menceritakan semua itu sambil menangis terisak-isak dan tidur di pangkuannya Rifki dan minta diantarkan ke rumah orang tuanya.

Rifki adalah seorang lelaki dewasa. Dia kembali menunjukkan sikap bijaksananya membujuk agar Melati mau kembali ke rumah pamannya. Karena dia sadar, tak mungkin keputusan pamannya dapat diubah, lebih-lebih hari perkawinannya dengan Leo sudah ditentukan.

Sambil memegang tangan Melati, Rifki kembali mengajaknya berjalan-jalan ke tempat yang agak tenang di sebuah taman yang tidak dapat diganggu orang. Di tempat inilah Rifki memberi nasehat, meski dengan perasaan yang hancur. Dengan sedih Rifki berkata: "Saya tidak bisa melawan kehendak pamanmu, terpaksa saya korbankan perasaan cinta ini, mungkin bukan jodoh kita di dunia fana ini, semoga kita dipertemukan di akhirat kelak. Ikhlaskan semua ini sebagai tanda baktimu kepada orang tuamu. Dan aku tidak akan lagi mencari gadis lain sebagai penggantimu. Dan bila nanti kau sudah kawin dengan Leo dan merasa bahagia, kau jangan kaget mendengar berita kematianku".

Mendengar curahan hati dari sang kekasihnya itu, tangis Melati semakin histeris. Untuk terakhir kalinya Melati memegang tangan Rifki erat-erat, lalu mengecup kening dan pipinya yang penuh dengan butiran-butiran air mata keduanya. Setelah sadar dan berfikir, Melati-pun bangun dan meninggalkan Rifki sendirian untuk kembali ke rumah pamannya.

Dua tahun kemudian, setelah Melati berumah tangga, tanpa disengaja dia membaca sebuah berita surat kabar bahwa Rifki meninggal dunia karena mengidap penyakit paru-paru. Betapa sedihnya membaca berita itu, karena sudah tidak ada harapan lagi untuk bertemu. Semua harapan telah sirna, yang ada hidup dengan suami yang hanya ingin menang sendiri dan tidak pernah dicintainya.

Air mata Melati menetes lagi dari matanya yang sembab. Pandangannya jadi nanar. Pikirannya melayang-layang, menelusuri kisah cinta kasih yang pernah ia bangun dua tahun lalu bersama Rifki yang kandas dan terjerembab ke dalam kubangan lumpur yang menyesakkan dada. Tiba-tiba muncul penyesalan yang mendalam di hati Melati. Mengapa Rifki begitu cepat meninggalkan dia? Mengapa aku tidak membantah keinginan pamanku? Pertanyaan demi pertanyaan terus muncul di hati Melati. Dia menyesali perkawinannya dengan Leo yang egois itu, dan akibatnya Melatipun jatuh sakit.

Tubuhnya yang cantik jelita makin hari makin kurus, pakaian yang waktu gadis dulu semuanya sudah longgar, dan penyakitnya seperti orang gila, ngomong sendiri, tertawa sendiri, berjalan sendiri dari pagi sampai malam.

Kini Melati bukan Melati seperti dulu. Matanya yang indah bersinar kini berubah seperti lampu kekurangan minyak, wajah yang cantik tidak bercahaya lagi. Pipi yang lesung pipit dan kuning langsat berubah seperti pipi nenek yang sudah ompong. Melati menderita batin karena patuh pada keinginan pamannya.

Kini kehidupan Melati tiada bergairah lagi, tiada lagi harapan untuk bertemu dengan Rifki. Melati kini hanya menunggu keajaiban dari Tuhan. Sesal kemudian tiada berguna, itulah pepatah lama yang pas bagi Melati.

Catatan: Nama-nama dalam cerpen ini tidak ada hubungannya dengan nama anda bila kebetulan samadan penulis mohon maaf. (Ari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar