Saat ini, kita di Indonesia sedang memasuki tahun politik menjelang pemilihan umum yang akan diselenggarakan pada April 2014 mendatang. Para calon anggota legislatif dari sejumlah partai politik peserta pemilu telah mulai melakukan gerakan kampanye untuk mendapatkan dukungan politik dari konstituennya. Ratusan spanduk dan baliho bertebaran di berbagai sudut jalan di hampir semua perkotaan di Indonesia, bahkan hingga ke pelosok-pelosok desa juga marak dengan spanduk dan baliho sosialisasi para calon wakil rakyat tersebut.
Fenomena diatas menunjukan adanya situasi politik yang mulai menghangat, jelang pemilihan umum tahun 2014 mendatang. Berbagai cara pendekatan telah dan sedang dilakukan oleh para calon anggota legislatif dari berbagai partai politik peserta pemilu.
Banyaknya materi sosialisasi calon anggota legislatif dan partai politik dalam bentuk spanduk dan baliho yang bertebaran itu, karena memang aturan kampanye sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pemilu No 8 Tahun 2012 membolehkan penyebaran bahan Kampanye Pemilu kepada umum dan pemasangan alat peraga di tempat umum, semenjak ditetapkannya sejumlah partai politik sebagai peserta pemilu.
Karenanya, tentu sah-sah saja para calon anggota legislatif mensosialisasikan dirinya melalui berbagai cara, seperti pemasangan spanduk dan baliho di tempat umum.
Namun, menurut penulis, pemasangan spanduk dan baliho para calon anggota legislatif yang bertebaran dimana-mana tersebut agak mengganggu keindahan, ia menjadi semacam "sampah visual" yang merusak panorama sejauh mata memandang.
Banyak baliho dan spanduk yang terpasang di pinggir jalan raya itu, menurut penulis juga kurang bagus desain grafisnya, terkesan asal dengan rupa foto yang hampir seragam, menggunakan jas dan berdasi. Tak ada pesan gagasan, atau visi yang diusung para calon anggota legislatif dan partai politik dalam media kampanye mereka.
Dalam UU Pemilu No 8, aturan tentang pemasangan alat peraga kampanye (termasuk spanduk/baliho) sebenarnya telah amanatkan agar pemasangan berbagai alat peraga/sosialisasi oleh peserta pemilu harus dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat.
Selain dari sisi estetika yang mengganggu pemandangan, pemasangan puluhan bahkan ratusan spanduk dan baliho partai politik tersebut juga tidak ramah lingkungan. Karena jika selesai pemilu, maka spanduk/baliho yang sebagian besar terbuat dari bahan plastik (vynil fronlite/blacklite) itu akan sampah yang susah diurai oleh micro organisme didalam tanah. Sehingga bisa menimbulkan persoalan pencemaran lingkungan.
Cara Cerdas Berkampanye
Kampanye adalah bagian dari proses politik yang semestinya juga merupakan bagian dari pendidikan politik bagi masyarakat. Namun, cara-cara kampanye yang dilakukan oleh para calon anggota legislatif dari berbagai partai politik di Indonesia, menurut penulis belum cukup mencerminkan proses pendidikan politik.
Bahkan, sebagian politisi terjebak pada cara pragmatis dengan memberikan "sesuatu" kepada masyarakat. Sesuatu yang dimaksud bisa berupa materi, bahkan uang, dan bisa juga berupa klaim program pembangunan (seperti pembangunan jalan, tempat ibadah, dan saran umum bagi warga) yang diselenggarakan oleh pemerintah. Bagi beberapa anggota DPRD/DPR yang masih menjabat, dan menjadi calon anggota legislatif kembali, biasanya mereka menggunakan dana aspirasi yang bersumber pada APBD/APBN sebagai alat kampanye pragmatis bagi pemilihnya.
Semestinya partai politik bisa menjadikan kampanye sebagai upaya pendidikan politik yang sehat dan bertanggungjawab pada masyarakat. Pola kampanye yang dilakukan mengedepankan proses dialog yang mendiskusikan gagasan dalam segala proses pembangunan. Kampanye harus dilakukan secara cerdas.
Dengan pola kampanye yang mencerdaskan, masyarakat bisa memahami gagasan parpol dalam memperjuangkan rakyat, pun masyarakat bisa menilai sejauh mana gagasan itu realistis dilakukan tanpa melanggar etika, dan aturan yang berlaku.
Di era teknologi informasi yang marak dengan penggunaan gadget saat ini, para calon anggota legislatif dan partai politik sebenarnya bisa menjadikan teknologi informasi sebagai alat dan media kampanye yang murah. Teknologi Inforasi bisa digunakan untuk membangun dialog dengan pemilih, sekaligus media sosialisasi gagasan (visi-misi) partai politik dalam menjawab persoalan rakyat.
Sementara bagi masyarakat yang belum terbiasa dalam penggunaan teknologi informasi, proses kampanye yang mencerdaskan bisa dilakukan melalui beragam forum pertemuan warga untuk berdialog. Tentu juga harus dengan cara yang mencerdaskan, bukan dengan cara pragmatis sebagaimana terurai pada paragraf diatas, agar kampanye yang dilakukan berimplikasi terhadap kematangan, kedewasaan politik masyarakat.
Pesta demokrasi pemilu masih tersisa tujuh bulan lagi, semoga para calon anggota legislatif dari berbagai partai politik peserta pemilu dan, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, bisa menunjukan cara berpolitik yang baik dengan cara kampanye yang cerdas bagi rakyat.
*penulis adalah pegiat berbagai organisasi masyarakat sipil (sumber: www.suarakomunitas.net)
Fenomena diatas menunjukan adanya situasi politik yang mulai menghangat, jelang pemilihan umum tahun 2014 mendatang. Berbagai cara pendekatan telah dan sedang dilakukan oleh para calon anggota legislatif dari berbagai partai politik peserta pemilu.
Banyaknya materi sosialisasi calon anggota legislatif dan partai politik dalam bentuk spanduk dan baliho yang bertebaran itu, karena memang aturan kampanye sebagaimana diatur dalam Undang-undang Pemilu No 8 Tahun 2012 membolehkan penyebaran bahan Kampanye Pemilu kepada umum dan pemasangan alat peraga di tempat umum, semenjak ditetapkannya sejumlah partai politik sebagai peserta pemilu.
Karenanya, tentu sah-sah saja para calon anggota legislatif mensosialisasikan dirinya melalui berbagai cara, seperti pemasangan spanduk dan baliho di tempat umum.
Namun, menurut penulis, pemasangan spanduk dan baliho para calon anggota legislatif yang bertebaran dimana-mana tersebut agak mengganggu keindahan, ia menjadi semacam "sampah visual" yang merusak panorama sejauh mata memandang.
Banyak baliho dan spanduk yang terpasang di pinggir jalan raya itu, menurut penulis juga kurang bagus desain grafisnya, terkesan asal dengan rupa foto yang hampir seragam, menggunakan jas dan berdasi. Tak ada pesan gagasan, atau visi yang diusung para calon anggota legislatif dan partai politik dalam media kampanye mereka.
Dalam UU Pemilu No 8, aturan tentang pemasangan alat peraga kampanye (termasuk spanduk/baliho) sebenarnya telah amanatkan agar pemasangan berbagai alat peraga/sosialisasi oleh peserta pemilu harus dengan mempertimbangkan etika, estetika, kebersihan, dan keindahan kota atau kawasan setempat.
Selain dari sisi estetika yang mengganggu pemandangan, pemasangan puluhan bahkan ratusan spanduk dan baliho partai politik tersebut juga tidak ramah lingkungan. Karena jika selesai pemilu, maka spanduk/baliho yang sebagian besar terbuat dari bahan plastik (vynil fronlite/blacklite) itu akan sampah yang susah diurai oleh micro organisme didalam tanah. Sehingga bisa menimbulkan persoalan pencemaran lingkungan.
Cara Cerdas Berkampanye
Kampanye adalah bagian dari proses politik yang semestinya juga merupakan bagian dari pendidikan politik bagi masyarakat. Namun, cara-cara kampanye yang dilakukan oleh para calon anggota legislatif dari berbagai partai politik di Indonesia, menurut penulis belum cukup mencerminkan proses pendidikan politik.
Bahkan, sebagian politisi terjebak pada cara pragmatis dengan memberikan "sesuatu" kepada masyarakat. Sesuatu yang dimaksud bisa berupa materi, bahkan uang, dan bisa juga berupa klaim program pembangunan (seperti pembangunan jalan, tempat ibadah, dan saran umum bagi warga) yang diselenggarakan oleh pemerintah. Bagi beberapa anggota DPRD/DPR yang masih menjabat, dan menjadi calon anggota legislatif kembali, biasanya mereka menggunakan dana aspirasi yang bersumber pada APBD/APBN sebagai alat kampanye pragmatis bagi pemilihnya.
Semestinya partai politik bisa menjadikan kampanye sebagai upaya pendidikan politik yang sehat dan bertanggungjawab pada masyarakat. Pola kampanye yang dilakukan mengedepankan proses dialog yang mendiskusikan gagasan dalam segala proses pembangunan. Kampanye harus dilakukan secara cerdas.
Dengan pola kampanye yang mencerdaskan, masyarakat bisa memahami gagasan parpol dalam memperjuangkan rakyat, pun masyarakat bisa menilai sejauh mana gagasan itu realistis dilakukan tanpa melanggar etika, dan aturan yang berlaku.
Di era teknologi informasi yang marak dengan penggunaan gadget saat ini, para calon anggota legislatif dan partai politik sebenarnya bisa menjadikan teknologi informasi sebagai alat dan media kampanye yang murah. Teknologi Inforasi bisa digunakan untuk membangun dialog dengan pemilih, sekaligus media sosialisasi gagasan (visi-misi) partai politik dalam menjawab persoalan rakyat.
Sementara bagi masyarakat yang belum terbiasa dalam penggunaan teknologi informasi, proses kampanye yang mencerdaskan bisa dilakukan melalui beragam forum pertemuan warga untuk berdialog. Tentu juga harus dengan cara yang mencerdaskan, bukan dengan cara pragmatis sebagaimana terurai pada paragraf diatas, agar kampanye yang dilakukan berimplikasi terhadap kematangan, kedewasaan politik masyarakat.
Pesta demokrasi pemilu masih tersisa tujuh bulan lagi, semoga para calon anggota legislatif dari berbagai partai politik peserta pemilu dan, calon anggota Dewan Perwakilan Daerah, bisa menunjukan cara berpolitik yang baik dengan cara kampanye yang cerdas bagi rakyat.
*penulis adalah pegiat berbagai organisasi masyarakat sipil (sumber: www.suarakomunitas.net)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar