Senin, 28 Mei 2012

Hutan Kita Darurat Kelestarian

Oleh Julmansyah (Ketua Forum Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) indonesia dan Kepala KPH Batulanteh Sumbawa NTB)
 
Tanggal 28 Mei 2012, di Lombok diselenggarakan Pelatihan Kemunitas Kehutanan ASEAN terkait dengan perubahan iklim. Kegiatan ini diselenggarakan oleh ASFN (Asean Social Forestry Network). Penulis tahun 2011 lalu di Thaliand juga pernah menghadiri Second Regional Forum Social Forestry yang diselenggarakan oleh ASFN. Tulisan ini memberikan catatan atas dinamika kehutanan Indonesia.

Nency Peluso dalam bukunya Rich Forests, Poor People: Resource Control and Resistance in Java (1992), dengan gamblang menuturkan bagaimana potret kemiskinan di sekitar hutan Perhutani di Jawa. Masyarakat miskin melakukan perlawan atas pola/cara pengelolaan hutan oleh Perhutani. Sementara kita tahu bahwa pola pengelolaan hutan di Jawa merupakan model pengelolaan hutan di era modern ini yang tertua karena merupakan warisan jaman penjajahan Belanda. Oleh Kementerian Kehutanan, Perum Perhutani menjadi benchmark pengelolaan hutan lestari. Mengingat Perhutani organisasi pengelolaan telah di tingkat tapak (forest management unit), berbeda dengan pengurusan hutan di luar Jawa, yang hanya diurus oleh Dinas Kehutanan (forest administration).

Fakta kemiskinan masyarakat sekitar hutan di Jawa tersebut, kemudian berimplikasi pada penyerobotan lahan, pencurian kayu atau untuk reproduksi bagi bertahan hidup. Kini hutan kita tidak lagi kaya, tetapi mulai miskin dan masyarakat disekitarnya tambah miskin, poor forests poor people. Gambaran hutan di luar Jawa, ditandai dengan berubahnya hutan alam menjadi hutan tanaman, laju degradasi hutan semakin lama semakin tinggi, penurunan daya dukung DAS semakin merisaukan. Ini semua akibat dari pengurusan hutan kita nir-kelestarian.

Darurat Kelestarian Hutan

Dalam RPJP Departemen Kehutanan 2005, disebutkan kondisi hutan Indonesia sudah terdegradasi seluas 59,7 juta hektar dan lahan kritis mencapai 42,1 juta hektar. Di hutan produksi, sekitar 21,1 juta hektar yang tidak ada pengelolanya, karena telah bangkrut dengan meninggalkan hutan yang rusak. Data Kementerian Lingkungan Hidup 2003, menunjukkan bahwa di Indonesia telah terjadi 236 kali banjir di 136 kabupaten dan 26 propinsi (Kartodiharjo dalam Jurnal Wacana, Edisi 20 Tahun VI 2005). Data Bank Dunia menyebutkan, pada 1985 laju kerusakan hutan (deforestasi) sebesar 600.000 – 1,2 juta hektar pertahun. Menurut FWI (2005), diramalkan hutan dataran rendah non rawa di Sumatera dan Kalimantan akan hilang. Kebijakan kehutanan di era orde baru menjadi pemicu laju degradasi hutan. Dan sekarang nampaknya kebijakan moratorium penbangan hutan alam yang merupakan bagian dari perjanjian dengan Norwegia dinilai tidak substansial. Lebih karena nilai dana yang dijanjikan oleh Norwegia untuk REDD+.

Dalam sambutan Menteri Lingkungan Hidup pada Hari Lingkungan Hidup Sedunia, 5 Juni 2011, disebutkan laju kerusakan hutan masih lebih cepat dibandingkan dengan laju pemulihannya. Kerusakan hutan sekitar 1,1 juta hektar per tahun di Indonesia, sedangkan kemampuan pemulihan lahan yang telah rusak hanya sekitar 0,5 juta hektar per tahun atau laju kerusakan hutan adalah sekitar 2 persen per tahun. Kondisi ini mengakibatkan masih terjadinya kerusakan lingkungan dan hampir seluruhnya menjadi bencana di berbagai pelosok Indonesia. Kita masih melihat dan merasakan kejadian banjir dan longsor yang tidak hanya mengakibatkan kerugian ekonomi namun juga merenggut jiwa manusia. Kerusakan tersebut menjadi faktor dominan pengurangan nilai dan fungsi hutan yang seharusnya dapat memberikan layanan bagi kehidupan seperti menata siklus air, tempat beradanya keanekaraman hayati dan memitigasi perubahan iklim.

Sisi lain, kebijakan Kementerian Kehutanan yang pro rakyat yang dikemas dalam kebijakan Hkm (hutan kemasyarakatan), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), Kemitraan dan Hutan Desa, masih indah kabar dari rupa. Belum ada mekanisme insentif yang di berikan sebagai bentuk recognisi Kementerian Kehutanan. Mengingat dominan kewenangan kehutanan berada di pemerintah pusat. Sehingga inovasi daerah dalam menyelamatkan hutannya sendiri bisa dihitung dengan jari. Sesungguhnya skema kemitraan dengan masyarakat dapat menjadi solusi atas “darurat kelestarian hutan Indonesia”. Akan tetapi sebagai contoh, wacana Hkm telah ada sejak SK Menhut 622 tahun 2005, namun hingga sekarang belum ada kelompok masyarakat yang telah mengantongi IUPHHK-Hkm sebagai bentuk pengakuan Kemenhut atas inisiatif masyarakat melalui Hkm, selain sekedar penghargaan yang diberikan secara simbolis dan seremonial.

Sistem Kelestarian hingga Kini

Jika dibiarkan pengelolaan hutan kita business as ussual, maka dapat diprediksi sumberdaya hutan akan semakin menurun, degradasi dan deforestasi hingga darurat kelestarian. Kosa kata kelestarian (suistainable), justru semakin nyaring mengingat telah masuk dalam dunia perdagangan kayu dunia. Dimana kayu-kayu dari hutan Indonesia yang dipasarkan ke luar negeri diduga berasal dari hutan yang pengelolaannya tidak lestari, di tolak.

Sesudah perseteruan era 1980-an, perlu sebuah badan penengah; lembaga ketiga yang independen, yang kata-katanya bisa dipercaya sebagai jaminan kehadiran pengelolaan hutan yang baik. Lembaga-lembaga akreditasi sertifikasi hutan, seperti Forest Stewardship Council (FSC) dan Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI), lahir dari kebutuhan ini (Counsell dkk. 2002). Sehingga ukuran pengelolaan lestari sebuah hutan (unit management hutan) jika telah mendapat sertifikasi lestari dari FSC/LEI dan lembaga sejenisnya. Kementerian Kehutanan sebagai pemegang mandat secara konstitusi untuk mengelola hutan Indonesia, menyerahkan tugas pengelolaan kepada perusahaan/coorporation. Dimana hutan di bagi-bagi di Jakarta kemudian melalui selembar kertas sumberdaya hutan yang telah menjadi bagian dari livelihood ribuan suku di Indonesia ini diserahkan pada perusahaan/coorporation. Padahal mandat UUD 1945, bahwa kekayaan digunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Akan tetapi margin keuntungan paling besar didapat oleh perusahaan. Pemerintah hanya mendapatkan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari tegakan yang nilainya hanya nol koma sekian persen dari total nilai tegakan/kayu. Betul-betul kekayaan hutan dijual murah. Bahkan biaya produksi kertas Indonesia kurang dari USD 200/ton pulp,merupakan yang termurah didunia, dengan keuntungan 4x lipat.

Dari total luas hutan Indonesia 120 juta hektar, ternyata yang betul dianggap lestari data sertifikasi menunjukkan dari seluas + 2 juta hektare pada tahun 1990, menyusut menjadi 163.488 hektare pada tahun 2000, berguguran dan memasuki masa sepi pada tahun 2003 hanya tersisa satu pemegang sertifikat pengelolaan hutan seluas 90.957 hektare, dan sampai Maret 2006, telah menggeliat lagi dengan luas 710 ribu hektar. Jadi masih jauh dari lestari hutan Indonesia, jika hanya mengandalkan unit pemegang izin. Padahal kita punya Dinas Kehutanan di provinsi dan daerah. Oleh Kementerian Kehutanan kondisi ini coba direspon dengan munculnya sistim penilaian kinerja hutan lestari dan SVLK yang bersifat mandatory. Melalui Peraturan Menteri tentang PHPL dan SVLK, hal ini didorong terus menerus, ditengah ambang darurat kelestarian.

Upaya lain juga ditempuh negara melalui BUMN. Perum Perhutani dan Inhutani, mencoba menegakkan mandat UUD 1945, akan tetapi yang bertahan dan tersisa hanya Perum Perhutani di Jawa, itupun merupakan warisan penjajahan. Akankah kita memanggil Belanda untuk menata hutan kembali?. Padahal kita punya perguruan tinggi yang credible. Tapi perguruan tinggi tersebut juga gagal mengelola hutan di berbagai tempat di Sumatera dan Kalimantan. Lantas kepada siapa solusi atas darurat kelestarian hutan Indonesia di serahkan?.

Dimana Harus Melalui

Kementerian Kehutanan harus secara serius menghentikan jual murah hutan Indonesia, terutama hutan alam di jantung Kalimantan, Papua dan hutan gambut Sumatera. Dari 120 juta hektar hutan diambang darurat kelestarin hanya + 2 juta hektar yang terbukti secara administratif lestari. Artinya masih sangat berat dan panjang perjuangan Kementerian Kehutanan jika tidak mau berbagai manfaat dan resiko dengan pemerintah daerah. Selama ini daerah hanya menerima resiko dari pemerian ijin sekalipun semua persyaratan Amdal dipenuhi.

Gagasan membagi hutan Indonesia dalam organisasi tapak atau forest management unit atau Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) harus jelas roadmap, risiko dan manfaat yang diterima oleh semua aktor kehutanan di Indonesia. Mengapa laju kerusakan hutan di daerah sangat besar karena tidak adanya penunggu hutan di tingkat tapak/blok/petak hutan. Semua polisi hutan (polhut) berada di kota dan menjadi polisi lalu lintas kayu di jalan raya. Sejatinya pengurusan hutan bukanlah seperti itu. Organisai tapak (KPH) harus diperkuat, karena merekalah yang berada di garda depan pengelolaan hutan. Jika tidak, maka kita akan siap menerima banjir tahunan, kekeringan setiap tahun, krisis kayu sebagai energi dan bahan baku bangunan serta dunia semakin panas karena tidak adanya penyerap karbon (carbon synx) yakni tanaman hutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar