Sabtu, 07 Januari 2012

WALHI: RATUSAN KASUS PERAMPASAN TANAH RAKYAT BELUM DITUNTASKAN


Mataram - Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Berry Nahdian, mengatakan, selama 2011 terjadi ratusan konflik agraria yang berujung perampasan tanah rakyat namun belum juga dituntaskan pihak yang berkewenangan.
   
"Kami sudah sampaikan kasus-kasus perampasan tanah rakyat itu kepada pihak berwewenang, namun jawabannya normatif yakni akan disikapi dan ditangani, tetapi pada kenyataannya hanya seperti angin lalu," kata Berry kepada wartawan di Mataram, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu.
   
Ia mengatakan, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juga terlibat aktif mengadvokasi konflik agraria itu dari dua aspek, yakni pemulihan hak-hak rakyat atas tanah yang dirampas, dan peradilan untuk pelaku perampasan, termasuk pihak-pihak yang melakukan tindak kekerasan terhadap rakyat dalam konflik agraria itu.
   
Versi Walhi, selama 2011 terjadi 103 kasus perampasan tanah rakyat dalam konflik agraria di berbagai daerah di Indonesia. Korban tewas dalam konflik agraria itu terdata sebanyak 12 orang, dan korban luka tembak terdata lebih dari 120 orang.
   
"Kami sudah berupaya menyampaikan data dan informasi jelas kepada pemerintah pusat melalui kementerian terkait seperti Kementerian Kehutanan dan BPN. Juga disampaikan kepada pemerintah provinsi dan kabupaten/kota terkait," ujarnya.
   
Hanya saja, kata Berry, upaya tersebut ditanggapi normatif oleh pihak berwewenang sehingga dibutuhkan aksi-aksi untuk memberikan tekanan politik, agar lebih cepat ditanggapi.
   
Berry kemudian mengajak berbagai elemen masyarakat untuk melakukan aksi damai secara bersama-sama dalam skala besar, untuk menggugah pemerintah.
   
"Seperti yang saya bilang tadi, diperlukan aksi-aksi untuk memberikan tekanan politis. Kami juga sangat mengharapkan rekan-rekan pers ikut membantu menyuarakan hak-hak rakyat dalam konflik agraria itu," ujarnya.
   
Menurut dia, kasus Mesuji dan bentrok aparat dengan pengunjuk rasa di Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, NTB, hanya puncak gunung es dari fenomena konflik agraria di Indonesia.
   
Banyaknya konflik agraria, tak sebanding dengan respons pemerintah, sehingga mengundang keprihatinan elemen masyarakat sipil.
   
Karena itu, sejumlah elemen masyarakat sipil seperti Walhi, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), hingga akademisi dan sejumlah perguruan tinggi berinisiatif mendirikan Sekretariat Bersama yang akan menampung semua pengaduan masyarakat berkaitan dengan penguasaan sumber daya alam yang timpang dan tak berkeadilan.
   
"Kami ingin, kasus-kasus perampasan hak rakyat di banyak tempat tidak lagi dianggap angin lalu, sehingga butuh dukungan pers," ujar Berry.
   
Data Walhi soal konflik agraria relatif sedikit jika dibandingkan dengan data versi KPA yang mencapai 163 konflik agraria di Indonesia sepanjang 2011, dengan jumlah rakyat atau petani yang menjadi korban tewas mencapai 22 orang.
   
Dari 163 konflik agraria sepanjang 2011, rinciannya 97 kasus di sektor perkebunan, 36 kasus di sektor kehutanan, 21 kasus di sektor infrastruktur, delapan kasus di sektor pertambangan, dan satu kasus di wilayah tambak atau pesisir.
   
Dari sebaran konflik, Jawa Timur sebagai wilayah yang paling banyak dengan 36 kasus, disusul Sumatera Utara (25), Sulawesi Tenggara (15), Jawa Tengah (12), Jambi (11), Riau (10), Sumatera Selatan (9), dan sisanya tersebar di sejumlah provinsi.
   
Konflik agraria yang terjadi pada 2011 melibatkan 69.975 kepala keluarga dengan luasan areal konflik mencapai 472.048,44 hektare.
   
Menurut Deputi Riset dan Kampanye KPA Iwan Nurdin, dibandingkan 2010 terjadi peningkatan jumlah konflik agraria ataupun rakyat yang meninggal. KPA mencatat, sepanjang 2010 terdapat 106 konflik agraria dengan tiga orang meninggal.
   
Iwan menggambarkan, tingginya angka konflik agraria merupakan bentuk upaya perampasan hak rakyat atas tanah, baik oleh negara maupun pemilik modal yang berkolaborasi dengan penguasa. (antaramataram)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar