Jumat, 06 Januari 2012

Ratusan Hektar Lahan Ditelantarkan Pemilikinya di Sambik Elen

LOMBOK UTARA,  - Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besar bagi  kemakmuran rakyat. Dari sini jelaslah bahwa sebagai rakyat Indonesia seharusnya memiliki akses yang sama terhadap sumberdaya khususnya tanah.

Rakyat Indoensia sebagian bersar bekerja sebagai petani dan buruh tani dan disebut sebagai tulang punggung ketahanan pangan nasional berhak atas tanah pertanian yang layak. Pembangunan pertanian selama ini lebih berfokus pada usaha meningkatkan produktivitas lahan pertanian. Kita melupakan permasalahan mendasar yaitu masalah struktural, kecilnya penguasaan tanah pertanian oleh petani.

Di sisi lain, ratusan bahkan ribuan hektar lahan ditelantarkan oleh para pemiliknya yang note bene adalah orang-orang berduit. Kecenderungan pemilik tanah  menelantarkan lahannya terjadi di mana-mana, yang  secara ekonomi, hal tersebut menjadi tidak efisien.

Beberapa peneliti menemukan bahwa penguasaan tanah bagi yang berduit tentu tidak menutup kemungkinan akan memunculnya konflik agraria. Anehnya, banyak pemilik tanah yang ketika ditanya lokasinya mereka tidak tahu sama sekali. Dan tanah-tanah yang tidak dimanfaatkan, seharusnya ditertibkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.

Sebut saja misalnya, lahan petanian yang ada di Desa Sambik Elen Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara (KLU). Diwilayah desa yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Lombok Timur ini, hampir 200-an hektar lahan tadah hujan  yang ditelantarkan pemiliknya alias tidak pernah terurus sama sekali.

 “Rata-rata yang mengaku sebagai pemilik lahan sebagian besar mantan pejabat dari provinsi maupun kabupaten Lombok Barat, yang hingga sekarang kami belum memiiliki data kepemilikan di kantor desa”, kata Kepala Desa Sambik Elen, Muhammad Katur, ketika ditemui  6/1 di ruang kerjanya.

Dikatakan, beberapa orang pernah datang ke kantor desa sambil membawa setumpuk copian sertifikat tanah, tapi ketika ditanya lokasi lahan yang disebutkan dalam sertifikat tersebut, ternyata mereka tidak tahu. Katur mengaku heran, mengapa bisa diterbitkan sertifikat tanah oleh  instansi terkait, padahal lokasinya tidak jelas, sementara masyarakat setempat banyak yang tidak memiliki areal pertanian.

Melihat banyaknya lahan yang ditelantarkan, Kepala Desa Sambik Elen berinisiatif membuat Surat Keputusan (SK) pengelolaan lahan yang dibiarkan tidak terurus termasuk tanah berstatus GG.

“Kami hawatir, ketika masyarakat menggarap lahan tersebut dikatakan illegal, padahal kalau tidak dikelola atau dibiarkan begitu saja, tentu tanah itu tidak produktif. Jadi kami membuatkan SK penggarapan atau pengelolaan bagi masyarakat”, jelasnya.

Tujuan dari SK ini, lanjut Katur, bila sewaktu-waktu ada tuntutan dari pemiliknya, bisa dikomunikasikan dengan baik, karena hampir semua yang mengaku sebagai pemilik atau pemegang sertifikat tidak tahu lokasi tanahnya.

“Sekarang ini ada sebagian yang sudah dgarap oleh masyarakat tanpa ada satu ikatan dengan si pemilik, sehingga perlu dibuatkan surat ijin garap dari desa, agar tidak menimbulkan dampak negatif di belakang hari”, katanya.
\
Katur menambahkan, apa yang terjadi belakangan ini seperti  aksi demo yang dilakukan warga yang menolak keberadaan tambang di  kabupaten Bima merupakan salah satu contoh konplik agraria, yang berujuang pada meninggalnya masyarakat. “Kita tidak ingin kejadian seperti itu terjadi di KLU, sehingga lahan-lahan yang ditelantarkan pemiliknya yang kini sudah mulai dikelola oleh warga perlu kita buatkan surat keputusan penggarap”, jelasnya.

Sementara puluhan masyarakat Desa Sambik Elen mengaku, lahan yang ditelantarkan pemiliknya sebagian besar milik mantan pejabat baik provinsi maupun kabupaten Lombok Barat. Padahal mereka sendiri tidak pernah tahu kondisi dan tempat lahan yang dibiarkan tidak terurus. “Sebaiknya mantan-mantan pejabat yang sudah kaya  menyerahkan tanah itu kepada rakyat ketimbang tidak dikelola dengan baik”, harap warga.

Selain di desa Sambik Elen, lahan yang ditelantarkan oleh pemiliknya yang terdiri dari para pengusaha dan inpestor adalah di daerah Malaka Kecamatan Pemenang-KLU.  Ini dinilai merugikan masyarakat dan tidak memberi kontribusi apapun pada daerah. Bahkan hingga kini belum ada upaya kongkrit dari pemerintah daerah dalam menyelesaikan masalah ini.

Sementara, Asisten I KLU, Simparudin, SH,  dalam sebuah kesempatan mengaku saat ini masih banyak lahan yang ditelantarkan pemiliknya, bahkan sudah jauh lewat dari batas ketentuan ijin HGU yang dimiliki. Dan pemda saat ini sedang mengupayakan penyelesaiannya, dan berencana akan memanggil semua inpestor yang diketahui menelentarkan lahannya.

Ketua Komisi 1 DPRD KLU, Jasman Hadi, menjelaskan, pemerintah daerah harus lebih tegas dalam penyelesaian kasus ini, dan status lahan itu juga harus jelas, agar bisa dimanfaatkan warga.

‘’Pemda harus lebih berani mengambil sikap, apalagi kini dengan terbitnya PP 11 itu. Selain tidak dapat memberikan kontribusi ekonomi pada daerah, juga sama artinya menyebabkan degradasi ekonomi bagi masyarakat yang berada disekitar lahan tesebut”, katanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar