Tak Disambangi, Perajin Lokal Gigit Jari
KECEWA! Eksepresi itu tergambar dari wajah sejumlah perajin lokal. Kreativitas dan usaha mandiri mereka seakan tak dihargai. Tak ada satu pun tamu Menlu se- ASEAN yang digiring berbelanja ke lokasi usaha mereka. Pertemuan sekaliber dunia yang berlangsung tiga hari di Mataram dan Lombok Barat tak mereka rasakan dampaknya. Bagaimana keluhan para perajin lokal?
Gerbang ruko terbuka hanya satu meter. Cahaya matahari menyelinap ke ruangan ukuran 4 x 6 meter itu. Yang terlihat dua etalase bening berjejer menempel pada tembok. Produk indah seperti perhiasan emas dan mutiara masih utuh di etalase itu. “Dua tiga hari ini, sepi pak,” tutur Baharudin, pemilik Toko Madinah.
Jualannya tidak seperti lapak PKL yang cukup dengan receh, produknya seperti rokok dan permen terbeli. Sehingga dia pun lebih banyak termangu. Akan berbanding terbalik jika para tamu dari negara-negara ASEAN itu mampir ke tokonya, sebagaimana harapan Baharudin.
Baharudin mendapat kabar dari para sopir yang biasa mengantar tamu ke tokonya. “Nanti akan banyak tamu dari luar negeri yang datang ke Lombok,” kata Baharudin meniru ucapan yang disampaikan para sopir. Dia pun siap-siap. Pikirannya kreatif dengan mendesain mutiara dan emas yang kira-kira sesuai selera para tamu. Tapi Baharudin dan perajin lainnya harus gigit jari. Sampai acara itu selesai, jangankan tamu penting, seorang ajudan para tamu itu pun tak ada yang dating ke tokonya.
Sebenarnya akan ada multi effect keuntungan dari pertemuan akbar itu jika panitia lokal komit dengan keinginannya untuk membantu menghidupkan perekonomian masyarakat. Sebab setelah para tamu selesai dengan seabrek agenda pentingnya, diberi kebebasan untuk pelesir.
Disinilah mestinya peran panitia melalui travel, menggiring para tamu ke sentra kerajinan lokal. Kebiasaan seperti ini sebenarnya tidak asing. Karena di sentra kerajinan emas di Sekarbela, kerajinan cukli di Sayang-Sayang, atau aneka oleh-oleh dari Karang Genteng, Pagutan, setiap ada pertemuan berskala nasional maupun internasional, mereka selalu siap.
Sama dengan pengakuan Mahyudin, Toko Intan yang menjual kaos, batik, songket khas Lombok. “Kami biasanya kerjasama dengan sopir travel. Para sopir bawa tamu ke toko kami. Dan setiap barang yang dibeli, kami bagi fee sekitar 15 persen dari hasil penjualan,” tutur Mahyudin.
Pola seperti ini sebenarnya yang akan diterapkan jika para Menlu se ASEAN bisa diajak berbelanja ke tempatnya. Mahyudin sudah terlanjur menyiapkan barang sebanyak mungkin, seperti kain khas Lombok dan suku lainnya, seperti suku Mbojo dengan batik Nggoli. Dia berasumsi, akan banyak tamu yang berbelanja ke tokonya.
Mungkin produk itu tidak masalah jika tidak terjual dalam hitungan tahun. Tapi pengusaha pakaian dan makanan ini sedikit bingung, karena di bagian lain dia juga menjual berbagai jenis makanan khas Lombok. Selama ini, baik Baharudin dan Mahyudin, usaha mereka berjalan lancar setelah membangun jaringan dengan travel dan sopir taxi. Baharudin misalnya. Biasanya para tamu datang memborong produknya. Harga emas dijual Rp 400.000 per gram dan mutiara Rp 350.000 per gram. Ada juga pernak pernik lain, masih dari bahan emas dan mutiara, termasuk perak.
Dijual pun agak murah, seperti bros dan kalung antara puluhan ribu sampai ratusan ribu. Tamu yang datang ke tokonya tidak jarang dari Bali, Surabaya, Jakarta. Bahkan sekali waktu tamu dari Hongkong menyambanginya. Baharudin tentu saja girang, tak terkecuali para sopir dan travel yang ikut kecipratan karena setiap satu produk yang terjual, dia membaginya sampai 30 persen.
Dia juga memasang etalase di salah satu hotel di Mataram untuk ditawarkan pada tamu hotel. Para sopir yang selama ini menggantungkan penghasilan dari gaji, mendapat penghasilan lain dari pola ini. Tapi kali ini mereka juga terpaksa harus kecewa.
Ada informasi tamu digiring pusat kerajinan yang ditunjuk pemerintah. Tak bisa dibantah, para tamu pun membelanjakan uangnya dalam jumlah besar. Bagaimana jika itu terjadi pada pengusaha kecil dan perajin lokal kita?
Itulah yang sebenarnya diharapkan Baharudin, Mahyudin dan para sopir serta pemilik travel. Paling tidak mereka juga ikut menikmati pertumbuhan ekonomi yang selalu diklaim meningkat. (ris) Sumber: suarantb.com
Gerbang ruko terbuka hanya satu meter. Cahaya matahari menyelinap ke ruangan ukuran 4 x 6 meter itu. Yang terlihat dua etalase bening berjejer menempel pada tembok. Produk indah seperti perhiasan emas dan mutiara masih utuh di etalase itu. “Dua tiga hari ini, sepi pak,” tutur Baharudin, pemilik Toko Madinah.
Jualannya tidak seperti lapak PKL yang cukup dengan receh, produknya seperti rokok dan permen terbeli. Sehingga dia pun lebih banyak termangu. Akan berbanding terbalik jika para tamu dari negara-negara ASEAN itu mampir ke tokonya, sebagaimana harapan Baharudin.
Baharudin mendapat kabar dari para sopir yang biasa mengantar tamu ke tokonya. “Nanti akan banyak tamu dari luar negeri yang datang ke Lombok,” kata Baharudin meniru ucapan yang disampaikan para sopir. Dia pun siap-siap. Pikirannya kreatif dengan mendesain mutiara dan emas yang kira-kira sesuai selera para tamu. Tapi Baharudin dan perajin lainnya harus gigit jari. Sampai acara itu selesai, jangankan tamu penting, seorang ajudan para tamu itu pun tak ada yang dating ke tokonya.
Sebenarnya akan ada multi effect keuntungan dari pertemuan akbar itu jika panitia lokal komit dengan keinginannya untuk membantu menghidupkan perekonomian masyarakat. Sebab setelah para tamu selesai dengan seabrek agenda pentingnya, diberi kebebasan untuk pelesir.
Disinilah mestinya peran panitia melalui travel, menggiring para tamu ke sentra kerajinan lokal. Kebiasaan seperti ini sebenarnya tidak asing. Karena di sentra kerajinan emas di Sekarbela, kerajinan cukli di Sayang-Sayang, atau aneka oleh-oleh dari Karang Genteng, Pagutan, setiap ada pertemuan berskala nasional maupun internasional, mereka selalu siap.
Sama dengan pengakuan Mahyudin, Toko Intan yang menjual kaos, batik, songket khas Lombok. “Kami biasanya kerjasama dengan sopir travel. Para sopir bawa tamu ke toko kami. Dan setiap barang yang dibeli, kami bagi fee sekitar 15 persen dari hasil penjualan,” tutur Mahyudin.
Pola seperti ini sebenarnya yang akan diterapkan jika para Menlu se ASEAN bisa diajak berbelanja ke tempatnya. Mahyudin sudah terlanjur menyiapkan barang sebanyak mungkin, seperti kain khas Lombok dan suku lainnya, seperti suku Mbojo dengan batik Nggoli. Dia berasumsi, akan banyak tamu yang berbelanja ke tokonya.
Mungkin produk itu tidak masalah jika tidak terjual dalam hitungan tahun. Tapi pengusaha pakaian dan makanan ini sedikit bingung, karena di bagian lain dia juga menjual berbagai jenis makanan khas Lombok. Selama ini, baik Baharudin dan Mahyudin, usaha mereka berjalan lancar setelah membangun jaringan dengan travel dan sopir taxi. Baharudin misalnya. Biasanya para tamu datang memborong produknya. Harga emas dijual Rp 400.000 per gram dan mutiara Rp 350.000 per gram. Ada juga pernak pernik lain, masih dari bahan emas dan mutiara, termasuk perak.
Dijual pun agak murah, seperti bros dan kalung antara puluhan ribu sampai ratusan ribu. Tamu yang datang ke tokonya tidak jarang dari Bali, Surabaya, Jakarta. Bahkan sekali waktu tamu dari Hongkong menyambanginya. Baharudin tentu saja girang, tak terkecuali para sopir dan travel yang ikut kecipratan karena setiap satu produk yang terjual, dia membaginya sampai 30 persen.
Dia juga memasang etalase di salah satu hotel di Mataram untuk ditawarkan pada tamu hotel. Para sopir yang selama ini menggantungkan penghasilan dari gaji, mendapat penghasilan lain dari pola ini. Tapi kali ini mereka juga terpaksa harus kecewa.
Ada informasi tamu digiring pusat kerajinan yang ditunjuk pemerintah. Tak bisa dibantah, para tamu pun membelanjakan uangnya dalam jumlah besar. Bagaimana jika itu terjadi pada pengusaha kecil dan perajin lokal kita?
Itulah yang sebenarnya diharapkan Baharudin, Mahyudin dan para sopir serta pemilik travel. Paling tidak mereka juga ikut menikmati pertumbuhan ekonomi yang selalu diklaim meningkat. (ris) Sumber: suarantb.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar