Mungkin tidak banyak yang mengenal sosok seorang ulama sufi ini, tetapi tidak bisa dipungkiri ulama inilah yang juga telah banyak berjasa dalam mengembangkan ajaran Islam di pulau Lombok.
Dialah Muhammad Zainuddin, nama yang diberikan oleh kedua orang tuanya sejak lahir sekitar tahun 1912 di Desa Mamben Lauq, Kecamatan Wanasaba, Kabupaten Lombok Timur-NTB. Ayah beliau bernama TGH. Arsyad, yang saat itu menjadi penghulu (tokoh agama. Dan ibunya bernama Inaq Makenun. Kehidupan keluarga beliau cukup sederhana dan agamis.
TGH.M. Arsyad, selain sebagai seorang tokoh agama, juga pada waktu itu sangat gigih menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Sehingga beliau bersama santrinya memimpin langsung penyerangan ke markas Jepang yang terletak di Wanasaba-Lombok Timur, yang menyebabkan salah seorang santrinya gugur di medan pertempuran.
Seperti kebanyakan anak lainnya, beliau tumbuh dan berkembang secara wajar. Dari masa kanak-kanak, Zainuddin kecil dalam pergaulannya sehari-hari selalu mencerminkan sifat-sifat terpuji, hormat terhadap orang yang tua, dan sopan kepada sesama. Tidak heran, ketika masa kecilnya banyak orang yang sayang pada dirinya.
Karena mendapat pendidikan agama sejak dini, membuat sifat dan sikap kepemimpinannya sudah mulai nampak terutama dalam pergaulannya sehari-hari, sesuai dengan ajaran agama Islam yang diyakini kebenarannya.
Ketika usia Zainuddin menginjak empat tahun, beliau diasuh oleh Amak Ismail dan Inaq Isah yang sekaligus sebagai orang tua angkatnya. Karena pada saat itu, kedua pasangan ini belum dikaruniai seorang anak. Kendati demikian, Zainuddin kecil sudah dianggap sebagai anaknya sendiri.
Berada di buaian dan belaian kasih sayang orang tua angkat, tidak serta merta beliau di lepas begitu saja oleh TGH.M. Arsyad. Dengan penuh rasa kasih sayang, beliau dididik dengan ajaran agama. Sehingga orang tua beliau memiliki peran ganda, yaitu disatu sisi sebagai orang tua, dan disisi lain sebagai sosok guru yang sangat dihormati.
Mendapat pendidikan dari sang ayah yang cukup disiplin, membuat sosok Zainuddin kecil cukup cerdas, jujur, rendah hati baik budi pekertinya dan semakin nampak jiwa kepemimpinannya, walaupun diusia yang masih belia.
Menuntut Ilmu ke Negeri Makkah
TGH. M. Arsyad sendiri memiliki beberapa orang putra dan putrid. Salah satu diantaranya adalah Muhammad Zainuddin, yang ketika menginjak usia 6 tahun, atau sekitar tahun 1920, sang ayah dan bunda memutuskan untuk mengirim anaknya ke Makkah Al-Mukarromah untuk menimba ilmu agama. Keberangkatan beliu menuju Makkah didampingi oleh ayahanda TGH. M. Arsyad. Konon, beliau sempat digendong oleh orang tuanya ketika berangkat meninggalkan rumahnya menuju Makkah Al-Mukkaromah.
Di usia 6 tahun dan tinggal bersama orang-orang yang belum begitu dikenalnya, hidup jauh dari kampung halaman, sanak dan saudara, merupakan sebuah pengalaman yang cukup berharga. Pada masa usia belia seperti itu, sebenarnya masih membutuhkan bimbingan dan dampingan dari orang tua. Namun berbeda dengan Zainuddin, masa-masa senangnya bermain harus berpisah sementara dengan semua orang yang dicintainya.
Setelah Sampai di kota suci, TGH.M. Arsyad, langsung mencari sebuah pemondokan untuk anak kesayangannya. Dan Zainuddin kecil dipondokkan di rumah salah seorang Syeikh Ali Mukminah dan menuntut ilmu di Madrasah Darul Ulum.
Apa yang dilakukan oleh Muhammad Zainuddin selama di Makkah Al-Mukarromah? Ternyata tidak banyak yang mengetahui. Karena selama hidupnya, ia tak pernah menceritakan kepada siapapun apa saja yang dilakukan ketika berada di tanah suci Makkah, karena takut kalau ia menceritakan hal tersebut akan menjadi kesombongannya.
Namun kalau dilihat dari peuturan dari beberapa sumber terpercaya, ketika beliau di Makkah tidak diragukan lagi, bahwa M. Zainuddin merupakan orang yang cerdas. Bahkan dalam usia 15 tahun ia mampu menghafal Al-qur’an 30 juz.
Tidak ada waktu yang digunakan oleh beliau kecuali belajar dan belajar. M. Zainuddin adalah alumnus Madrasah Darul Ulum Makkah Al-Mukkarromah yang mendapatkan predikat ‘Mumtaz’ dari para masyaikhnya.
Pada waktu itu, Darul Ulum merupakan madrasah yang banyak diminati oleh orang Indonesia. Dianatara masyaikhnya tyeng terkenal adalah Syeikh Muhammad Basuni Asy-Syafi’i, yang masih keturunan silsilah dari Imam Syafi’i dan Syeikh Muhammad Yasin Padang. Syeikh Muhammad Yasin Padang adalah guru sekaligus teman bagi M. Zainuddin.
Darul Ulum terletak di sebuah perkampungan yang diberi nama Jarwal, lebih kurang 1 kilometer dari Masjidl Haram. Namun kini Darul Ulum sudah tidak bisa didapatkan lagi karena diambil alih oleh Pemerintah Arab Saudi.
Dimimpikan Ibu Angkat
Setelah tinggal beberapa lama di kota Makkah Al-Mukarromah, Zainuddin tentu sewaktu-waktu merindukan kampung halamanya. Demikian juga dengan sang ibu angkat beliau. Bahkan suatu malam, Inaq Ismail yang mengasuhnya sejak kecil memimpikan Zainuddin yang sedang menimba ilmu di kota suci, sedang ayik bermain layang-layang. Namun tiba-tiba benang layangan yang dipegangnya putus. Dan layang-layang itupun terbang sangat tinggi.
Mimpi yang sama dialami oleh sang ibu angkatnya ini berulang sampai tiga kali. Dan muncullah rasa kasih sayang sekaligus kekhwatiran terhadap anak yang diasuhnya sejak kecil. Perasaan tidak tenang, hatipun melayang memikirkan apa tabir dari mimpinya itu. Mungkinkah itu hanya sebuah mimpi belaka atau memang ada tabir dibalik mimpi yang terjadi berulang kali itu.
Karena merasa cemas dan tidak tahan, akhirnya mimpi itupun diceritakan kepada sang suaminya Amak Ismail. Dan tentu saja sang ayah angkatpun tidak mampu mentakwilkan mimpi sang istri, sehingga apa yang menggangu pemikirannya saat itu diceritakan langsung kepada ayah Zainuddin yaitu TGHM. Arsyad.
Mendengar cerita mimpi dari ibu angkatnya ini, TGHM. Arsyad membuat sepucuk surat untuk dikirim kepada anak belahan jiwanya di Makkah Al-Mukarromah, yang isinya menanyakan tentang kabar berita di Makkah.
Selang beberapa minggu, surat balasanpun dikirim oleh Zainuddin kepada keluarga di Mamben Lauq. Dalam surat balasannya beliau menceritakan, bahwa baru saja dirinya mengalami sebuah musibah, yaitu jatuh dari sebuah tangga bangunan dari lantai atas. Namun kejadian yang menimpa, tidak sampai dirinya mengalami luka parah, kecuali beberapa bagian anggota tubuhnya yang masih merasa sakit.
Musibah yang menimpa diri Zainuddin, ternyata tidak mengendurkan semangat dan tekadnya untuk terus belajar dan mendalami ilmu agama, hingga tanpa terasa beliau sudah tinggal di Makkah selama 20 tahun, dan menunaikan ibadah haji, sehingga nama beliau dikenal dengan Ustadz H. Muhammad Zainuddin Arsyad.
Kembali Ke Kampung Halaman
Sekitar tahun 1938, dimana ketika itu bangsa Indonesia masih dijajah oleh Belanda, Ustadz HM. Zainuddin Arsyad, memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Desa Mamben Lauq, setelah bermukim selama kurang lebih 20 tahun di kota Makkah.
Usia beliau ketika itu masih terbilang remaja yaitu 26 tahun. Selama ustadz muda ini berada di tanah suci, disamping memperdalam ilmu agama Islam, juga memperdalam ilmu bahasa Arab atau Nahu Sharaf, lebih-lebih bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi sehari hari adalah bahasa Arab. Selain itu, beliau juga belajar ilmu tafsir, tashawwuf, tauhid, fiqih dan ilmu-ilmu lainnya.
Dengan penguasaan bahasa Arab serta lamanya bermukim di Makkah, membuat sosok ustadz muda atau ini melupakan bahasa asal kelahirannya. Tidak heran, ketika beliau baru pulang dari Makkah, bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan keluarga dan tetangga adalah Bahasa Arab.
Al-marhum TGH. Abdul Manan, pernah menuturkan, sepulang H.M. Zainuddin Arsyad dari Makkah, bahasa komunikasi yang digunakan adalah bahasa Arab, baik terhadap teman maupun terhadap para tamu yang berkunjung ke rumahnya.
Melihat bahasa komunikasi yang demikian, membuat keluarganya waktu itu, sedikit agak bingung, karena sebagian teman dan sahabatnya tidak mengerti apa yang diungkapkan oleh beliau. Dan hal inilah yang menimbulkan sedikit miskomunikasi. Dan konon kebiasaan menggunakan bahasa Arab dalam berkomunikasi sehari hari berlangsung hingga berbulan-bulan.
Akibatnya, muncul asumsi sebagian orang saat itu, yang menganggap Tuan Guru Bajang ini sengaja menggunakan bahasa Arab. Dan tidak sedikit juga yang mencemohkan bahkan mengejek beliau. Namun semua itu ditemia dengan penuh lapang dada dan kesabaran. Sebab bagi dirinya, hal itu bukan unsur kesengajaan, namun karena bahasa sehari-hari, ketika beliu bermukim di tanah suci.
Setelah hampir satu tahun menetap di Desa Mamben, akhirnya bahasa daerahpun mulai digunakan sedikit demi sedikit, sehingga lambat laun menjadi lancar.
Membantu Orang Tua Berdakwah
Tuan Guru H.M.Zainuddin Arsyad merupakan alumunus Madrasah Darul Ulum, Makkah Al-Mukarromah yang mendapatkan predikat Mumtaz dari para masyayikhnya. Pada waktu itu, Darul Ulum merupakan madrasah yang banyak diminati oleh orang Indonesia, diantara masyayikhnya yang terkenal adalah Syekh Muhammad Yasin Padang. Syekh Yasin Padang adalah guru sekaligus teman bagi M.Zainuddin. Darul Ulum terletak di sebuah perkampungan yang diberinama Jarwal kurang lebih 1 km dari Masjidil Harom. Namun, kini Darul Ulum sudah tidak bisa didapatkan lagi karena diambil alih oleh pemerintah Arab Saudi.
]Pada tahun 1930, TGH.M.Zainuddin Arsyad memutuskan kembali ke tanah air tempat kelahirannya guna mengajarkan masyarakat yang bodoh terhadap agama pada waktu. Menurut sesepuh masyarakat desa Mamben Lauk, ketika kembali ke tanah air beliau sama sekali tidak bisa berbahasa Sasak ataupun Indonesia, beliau hanya menggunakan bahasa Arab. Namun karena kecerdasannya, tidak dalam waktu yang lama beliau sudah fasih bahasa sasak dan Indonesia.
Saat kembali ke tanah air, TGH.M.Zainuddin Arsyad sangat prihatin melihat kondisi masyarakat pulau Lombok yang pada waktu itu masih banyak yang tidak paham dengan agama Islam, Sehingga beliau membentuk sebuah pengajian kecil-kecilan di rumah beliau.
Melihat kesibukan orang tuanya, TGH.M.Arsyad sibuk dalam melakukan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat, maka terbetiklah niat sucinya untuk membantu sang orang tua tercinta dalam menjalankan misi dakwah. Misinya ini diawali dengan mendirikan sebuah tempat pengajian atau majlis ta’lim. Di tempat inilah, Ustadz H.M. Zainuddin Arsyad mulai mengajar membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, bahasa Arab, Tauhid, Tafsir dan lain-lainnya.
Melihat kegigihan putranya dalam mensyi’arkan Islam, TGHM. Arsyad tentu sangat bersyukur kehadhirat Allah SWT. Bahkan tuan guru muda ini sering mengganti sang orang tua untuk memberikan ceramah-ceramah agama kepada jama’ahnya. Biasanya saat itu, khususnya masyarakat Desa Mamben Lauq, sering mengundang penceramah atau tuan guru dari Masbagik.
Namun setelah pulang dari tanah suci, beliau rutin mengisi ceramah agama di Mamben Lauq dan sekitarnya, sampai beliau diberi gelar oleh jama’ah adalah Tuan Guru Bajang. Hal ini didasari oleh penilaian jama’ah, karena beliau dipandang memiliki kecakapan ilmu khususnya di bidang Agama Islam.
Gelar Tuan Guru, khususnya di Lombok, merupakan sebuah gelar yang diberikan oleh masyarakat, bukan karena pendidikannya yang tinggi, namun karena dinilai telah banyak menguasai ilmu-ilmu agama Islam. Dan gelar inipun tidak diberikan pada sembarangan orang.
Menyebarkan Syi’ar Islam
Setelah kembali ke tanah air, TGH. M. Zainuddin Arsyad merasa prihatin melihat kondisi masyarakatar Pulau Lombok yang masih banyak belum memahami dengan baik agama Islam. Sehingga dia membentuk sebuah pengajian kecil-kecilan di rumahnya.
Namun dia juga melihat kondisi masyarakat yang ada di pesisir pantai, yang masih banyak belum memehami ajaran Islam yang sebenarnya. Untuk itu, dia memutuskan untuk melakukan misi dakwah ke daerah-daerah pesisir pantai Pulau Lombok, terutama bagi penduduk yang dianggap terisolir dan jauh dari dakwah Islam, bila dibandingkan dengan wilayah perkotaan.
Salah satu jasa besar yang ditinggalkan bagi jama’ah adalah, keberhasilan beliau mendirikan sebuah organisasi keagamaan, yang kemudian dikenal dengan nama Yayasan Pondok Pesantren Maraqitta’limat, yang berarti tangga pendidikan.
Hal ini diperkuat oleh putra beliau, TGH. Hazmi Hamzar, bahwa kegiatan dakwah yang dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan kepada masyarakat pesisir mulai dari ujung timur (Kabupaten Lombok Timur-red) hingga ke pesisir utara Pulau Lombok, seperti Bayan, Panggung hingga Sidutan, Kabupaten Lombok Utara.
Dari pesisir wilayah Utara, beliau melanjutkan misi dakwahnya ke Selatan, tepatnya di Bongor Kabupaten Lombok Barat.
Beberapa tokoh masyarakat menuturkan, disamping beliau menggunakan metode pendekatan, juga misinya ini diiringi dengan berdagang keliling, menelusuri pinggir pantai di Pulau Lombok. Selain itu strategi yang dikembangkan adalah menghargai adat dan kebiasaan masyarakat setempat. Artinya tidak serta merta menghapus atau melarang adat dan kebiasaan masyarakat, kendati dinilai bertentangan dengan ajaran Islam.
Kebiasaan masyarakat yang dimaksud adalah meminum-minuman keras, seperti tuak, Berem atau sejenisnya. Kebiasaan lainnya yang dilakukan oleh masyarakat adalah membunyikan gamelan, walaupun waktu sholat tiba.
Beliu maklum, bahwa tempatnya berdakwah adalah orang-orang yang masih buta dalam ajaran agama Islam. Begitu juga dengan adat-istiadat yang masih kuat dipegang teguh oleh masyarakat seperti Wetu Telu di Bayan.
Dalam perjalanannya, beliau selalu melakukan silaturrahmi kepada para tokoh, baik tokoh adat yang dituakan oleh masyarakat setempat, maupun tokoh-tokoh agama. Beliau pertama-tama mengajarkan tentang keimanan kepada Allah SWT. Barulah setelah itu jama’ahnya diajarkan cara-cara beribadah.
Jujur, sopan dan santun serta dengan penuh kesabaran, berusaha memberikan pemahaman terhadap para santrinya. Pelan namun pasti, berkat kegigihannya dalam menjalankan misi dakwah ini, lambat laun banyak masyarakat yang sadar akan dirinya, bahwa bahwa kehidupan yang jauh lebih kekal dan abadai adalah kehidupan akhirat.
Satu contoh misalnya, beliau memperbolehkan masyarakat membunyikan alat-alat musik tradisional seperti gamelan. Namun beliu menyarankan, ketika tiba waktu sholat, bunyi-bnyian tersebut dihentikan, dan berkumpul menunaikan sholat secara berjama’ah.
Cara seperti ini, tidak jauh berbeda dengan misi dakwah yang dilakukan oleh para Wali Songo di Pulau Jawa.
Berniaga
Bila ditelusuri lebih jauh tentang pola kehidupan TGH.M. Zainuddin Arsyad, tentu kita akan berdecak kagum. Sederhana dan bersahaja, demikianlah yang tampak pada sosok Tuan Guru Sufi ini. Kesederhanaan itu dapat dilihat dalam menjalankan misi dakwahnya. Di satu sisi, beliau adalah da’I, tapi disisi lain, beliau adalah seorang pedagang keliling dari satu kampung ke kampung lainnya.
H. Hasan Nasrin, salah seorang tokoh Maraqitta’limat Kecamatan Bayan menuturkan, berdagang yang dilakukan oleh TGH.M.Zainuddin Arsyad, bukan sebagai tujuan utama, namun itu merupakan sebuah alat untuk berda’wah di tengah-tengah masyarakat.
Dagangan yang dibawa setiap kali menjalankan misi dakwahnya adalah, garam, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabe, kapuk dan pakaian. Barang dagangan ini diambil dari mitra usahanya untuk dibawa keliling, mulai dari labuhan Lombok, Sambelia, Belanting, Obel-Obel, Bayan, Santong, Panggung, Sidutan hingga ke Sembalun.
Barang dagangannya kerap kali ditukar dengan hasil-hasil bumi para petani. Kegiatan berdakwah sambil berdagang terus dilakukan, sehingga di beberapa tempat didirikan musalla, masjid atau madrasah, sebagai tempat membina umat.
H. Lalu Akar, mantan pengurus Yayasan Maraqitta’limat mengatakan, bahwa sekitar tahun 1941, beliau sudah mulai masuk ke Dayan Gunung atau sekarang sudah menjadi sebuah kabupaten baru yaitu Lombok Utara.
Kedatangan beliu pertama kali di Bayan, disambut oleh Endi Abdul Gani, salah seorang keturunan Bugis-Makasar yang tinggal di Desa Sukadana Kecamatan Bayan. Konon pertemuan beliau dengan Endi Abdul Gani tanpa disengaja ketika sedang berdagang di Dusun Panggung Desa Selengen.
Kebetulan pada saat itu, TGH.M. Zainuddin Arsyad menjual garam, sementara Endi Abdul Gani sebagai pembeli. Di saat terjada tawar menawar harga garam, Endi Abdul Gani mengaku heran, karena sang si penjual (TGH.M. Zainuddin Arsyad-pen) bukan menawarkan dengan harga tinggi, namun malah sebaliknya.
Karena kejadian tersebut, pembicaraan antara pedagang dan pembeli inipun berlanjut dan saling memperkenalkan diri. Endi Abdul Gani pun mengajak beliu ke rumahnya di Gubug Bangsal-Telaga Begek Desa Sukadana.
Sikap sopan dan rendah hati, bertutur bijaksana dan bertingkah santun. Inilah ditunjukkan ketika bertamu di rumah Endi Abdul Gani, membuat sang pemilik rumah semakin kagum, dan persahabatan mereka berduapun berlanjut. Demikian juga dengan hubungan kegiatan jual beli terus terjalin. Bak gayung bersambut, dari rumah sahabatnya inilah, beliau mulai lakukan dakwah Islam, yang lambat laun terus mengalami kemajuan.
Dan bila waktu sholat tiba, tidak lupa, beliau mengajak sahabatnya untuk menunaikan sholat secara berjama’ah, disebuah masjid kecil dan sederhana, yaitu masjid Panji Islam, yang dibangun orang Endi Abdurrahman yang berasal dari Pulau Sumbawa.
Berdakwah Dari Rumah ke Rumah
Persahabatan yang terjalin antara kedua hamba Allah (TGH.M. Zainuddin Arsyad dan Endi Abdul Gani-pen) semakin hari semakin erat. Dan setiap kali beliu datang, selalu diminta untuk memberikan sekedar ceramah agama. Namun demikian, sang sahabat Endi Abdul Gani, sedikitpun tidak tau, bahwa yang sering datang bertamu ke rumahnya adalah salah seorang ulama Sufi yang telah lama menempa ilmu di negeri Makkah Al-Mukarromah.
Setelah masing-masing menceritakan sejarah hidupnya, barulah Endi Abdul Gani, yang ketika itu sebagai kepala kampong (matua) menyadari bahwa, sahabatnya itu adalah orang yang memiliki ilmu agama yang mumpuni, dan patut sebagai tempat belajar memperdalam ilmu agama Islam.
Tidak heran, bila kedatangan sang shabat karibnya yang tiada lain adalah TGH. M. Zainuddin Arsyad selalu ditunggu-tunggu oleh Endi Abdul Gani bersama jama’ah lainnya. Kedatangan beliau tidak pernah disia-siakan. Endi Abdul Ganipun menyarankan kepada TGH. M. Zainuddin Arsyad, untuk sementara kegiatan dakwah dilakukan dari rumah ke rumah, atau menghindario berdakwah di tempat umum seperti masjid ataupun musalla.
Saran ini dikemukakan bukan tanpa alasan, namun karena mengingat kondisi masyarakat pada saat itu masih memliki keyakinan yang kuat khususnya tentang adat-istiadat Wetu Telu. Saran dan masukan dari sahabatnya inipun diterima.
Dalam menjalankan dakwahnya, Endi Abdul Gani selalu membantu beliau untuk mendatangi warga sambil membawa dagangannya. Bahkan, TGH.M. Zainuddin seringkali menginap di sebuah kampung Bugis di Labuhan Carik Desa Anyar. Dan ditempat terdapat sebuah Sekolah Rakyat (SR).
Labuhan carik tempat beliu bermukim, memiliki sejarah tersendiri, yang konon pada saat penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para Wali Songo, ditempat inilah berlabuhnya kapal mereka.
Sementara kegiatan dakwah di wilayah Panggung Desa Selengen dan sekitarnya dilakukan secara terus menerus, sehingga didirikanlah sebuah musalla pertama di dusun tersebut, sebagai tempat untuk mengumpulkan jama’ah yang mau belajar ilmu agama.
Lalu Hasan BA, salah seorang mantan camat Bayan menuturkan, kegiatan dakwah Islam yang dilakukan oleh TGH. M. Zainuddin Arsyad, khususnya di Dayan Gunung, pada masa kedistrikan Raden Kertapati.
Melihat dakwah Islam semakin berkembang di Bayan, membuat sebagian masyarakat menaruh rasa dendam, bahkan mengalami tekanan dari masyarakat sekitar. Ini terjadi, karena sebagian masyarakat menilai, dengan berkembangnya dakwah Islam di Bayan, akan dapat merusak keyakinan terutama tentang adat-istiadat yang diwariskan dari nenek moyang mereka. Padahal pada faktanya, selama melakukan misi dakwah di Bayan, sedikitpun tidak pernah terdengar kabar, kalau dirinya menyinggung persoalan adat-istiadat.
Salah satu bentuk tekanan yang dilakukan oleh sebagian mereka adalah memutuskan hubungan jual-beli barang. Dan inilah salah satu cara menghentikan dakwahnya. Hal ini terjadi bukan saja terhadap dirinya, namun juga terhadap pengusaha yang berasal dan Mamben-Lombok Timur.
Tekanan seperti ini tidak berlangsung lama, karena pada akhirnya masyarakat setempat menyadari, bahwa TGH. M. Zainuddin Arsyad dalam berdakwah tidak pernah menyinggung masalah adat-istiadat yang berkembang di masyarakat.
Kegiatan dakwah yang dijalankan oleh Ulama Sufi yang memiliki enam orang putra ini, tampaknya membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Demikian juga dengan klegiatan yang dilakukan di Sembalun Lawang dan Bumbung, yang masyarakatnya tidak jauh berbeda dengan masyarakat di Bayan kala itu.
Di Sembalun, ketika beliau datang untuk berdakwah sangat jarang ditemukan masyarakatnya yang menjalankan ibadah sholat lima waktu. Kondisi ini tidak menyurutkan semangat perjuangannya dalam mendakwahkan ajaran Islam yang sempurna. Melalui pendekatan jual-beli barang, sang Tuan Guru muda ini sedikit demi sedikit memberikan pelajaran kepada setiap orang yang ditemuinya di Sembalun.
Awalnya, memang banyak menolak ketika diajak menunaikan sholat dengan berbagai alasan. Ada yang beralasan tidak memilki pakaian, dan ada juga yang memang benar-benar tidak mengetahui tata cara melaksanakan ibadah shalat.
Memberikan sesuatu kepada orang yang membutuhkan merupakan perbuatan amal yang sangat mulia. Inilah yang ditunjukkan oleh TGH. M. Zainuddin Arsyad. Bagi masyarakat yang beralasan tidak memiliki pakaian, diberikan secara cuma-cuma asalkan mereka mau mengerjakan sholat. Dan bagi mereka yang belum mengerti cara beribadah, beliau ajarkan dengan penuh lemah-lembut dan sabar, sampai orang tersebut bisa beribadah.
Perjalanan dakwah beliau ke berbagai pelosok wilayah terpencil, bukan berjalan mulus, namun penuh dengan tantangan, dari orang-orang yang memang tidak suka terhadap ajaran Islam yang kaffah. Bahkan ada juga yang melempari dan ingin membunuhnya.
Sekali melangkah kedepan, pantang untuk mundur ke belakang. Itulah mungkin salah satu tekad beliau dalam menyebarkan kebenaran yang datangnya dari Allah SWT. Tantangan dan rintangan dijadikan sebuah pelajaran berharga sekaligus menguatkan tekad dan semangat dalam mensyi’arkan Islam.
Berkat kegigihannya berdakwah, sehingga menghasilkan kader-kader yang mumpuni dibidangnya. Kegiatan dakwah ini dilakukan mulai dari Desa Mamben Lauq dan Mamben Daya, Sembalun, Sajang, Sambelia, Obel-Obel, Bayan sampai Bongor Lombok Barat serta desa-desa lainnya.
Menurut penuturan salah seorang jamaah Yayasan Maraqitta’limat Bayan, TGH.M.Zainuddin Arsyad adalah salah seorang ulama yang santun dan penyabar. Bahkan beliau sering memberikan pinjaman uang kepada msyarakat yang membutuhkan. Beliau tidak segan-segan membebaskan hutang kepada seseorang apabila orang tersebut mau menjalankan syariat islam sepenuhnya. Melihat akhlak beliau yang seperti itulah akhirnya banyak masyarakat berbondong-bondong m,enyatakan diri masuk ke dalam agama islam. Di mana beliau singgah melakukan misi dakwah, disitulah beliau mendirikan madrasah-madrasah sebagai tempat mengaji bagi masyarakat.
Merintis Pondok Pesantren Dan Yayasan Maraqitta’limat
Selain melakukan dakwah keliling, TGH. M. Zainuddin Arsyad juga merintis sebuah Majlis Ta’lim Darul Ulum. Majlis ta’lim inilah cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren (Ponpes) Yayasan Maraqitta’limat.
Di Majlis Ta’lim Darul Ulum, beliu mengajar santrinya berbagai disiplin ilmu agama. Kitab-kitab yang diajarkan antara lain, Ma’abadil Fiqih, Nahu Wadhih, Badrun Munir, Lughotul Arabiyah, Nahu Shoraf, Fathul Qarib, Tariqatul Islam, Tariqotul Hadiah, Ilmu Mantiq, Tafsir Al-Qur’an dan kitab-kitab lainnya.
Perkembangan Majlis Ta’lim yang dibinanya semakin hari terus mengalami kemajuan yang cukup signifikan, sehingga tempat belajarnya tidak mampu lagi menampung para santri yang berdatangan menuntut ilmu.
Melihat kondisi tersebut, beberapa tokoh masyarakat menyarankan agar mendirikan tempat belajar yang lebih luas dan layak. Untuk menampung para santri, pada tahun 1950, lokasi belajarnya dipindahkan ke sebuah musalla yang lebih luas yaitu musalla yang dibangun oleh Amak Sadar dan warga setempat, yang belakangan dikenal dengan Diniyah Islamiyah.
Adapun santri pertamanya antara lain, H. Abu Bakar, Amak Mukenah, Ustazd H. Farhan, H. Badarudin, H. Marzuki, H. Halil-Ladon, H. Rusli, Amaq Suarno, Amaq Husnah, Amaq Erah, Amaq Haderi, Amak As’ad, Inaq Wasifah dan lain-lain.
Para santri ini dibina untuk menjadi guru bagi genarasi berikutnya, sehingga tampil beberapa orang diantara mereka, disamping sebagai santri sekaligus bertindak sebagai pendidik.
Santri yang berhasil dididik pada tahap kedua, antara lain, H. Abdul Manan, Saleh Rihin, H. Ahyar )Mamben Daya) H. Arsyad (Lendang) dan beberapa santri lainnya. Disusul lagi dengan santri tahap III, yaitu, Amaq Saleh AM, Amaq Sa’adah, Amaq Hirpan, Amaq Sulhan, Siderah, Hurnaen, H. Maksum, dan H. Yasin.
Semakin banyaknya masyarakat yang mengaji kepada beliau, akhirnya pada tahun 1952 TGH.M.Zainuddin Arsyad bersama rekan-rekannya mendirikan sebuah pondok pesantren yang diberinama Pondok Pesantren Maraqitta’limat. Maraqitta’limat memiliki arti tangga pendidikan. Pondok Pesantren Maraqitta’limat berlokasi di desa Mamben Lauk, Kecamatan Wanasaba, Lombok timur, NTB yang pada akhirnya ponpes ini memiliki beberapa cabang yang tersebar di seluruh wilayah pulau Lombok bahkan luar dari pulau Lombok seperti Sumbawa, Makassar, dan Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1964, TGH.M.Zainuddin Arsyad membentuk sebuah yayasan yang diberinama juga Yayasan Maraqitta’limat. TGH.M. Zainuddin Arsyad bertindak selaku ketua umum yayasan dan sekretarisnya adalah ust.H.Abdul Mannan. Yayasan Maraqitta’limat bergerak di bidang pendidikan, sosial dan dakwah.
Kegigihan beliau dalam melakukan pengkaderan patut menjadi contoh bagi generasi mendatang. Beliau tidak pernah mengenal lelah demi meraih cita-cita, yakni membumikan ajaran Islam yang satu-satunya di ridlai Allah SWT.
Kepedulian beliau dalam pendidikan umat, di samping melalui majlis ta’lim, juga melalui lembaga pendidikan formal dibawah naungan Yayasan Maraqitta’limat. Dari majlis ta’lim dan lembaga pendidikan inilah beliu bertujuan membentuk kepribadian manusia yang bertanggung jawab untuk membangun nusa, bangsa dan agama yang berpedoman pada Kitabullan dan Sunnah Rasulullah.
Kaitannya dengan menuntul ilmu, beliau menuangkan dalam pemikiran filosofisnya dengan mengutip penggalan ayat suci Al-Qur’an, yang sekaligus sebagai motto dalam mengembangkan lembaga pendidikan, yaitu kalimat : “Subhanalladzi ‘Allama Bil Qolam, ‘Allamal Inssana Malam Ya’lam” .
Proses Pendirian
Proses Pendirian pondok pesantren dan yayasan Maraqitta’limat, memang mengalami perjalanan yang cukup panjang. Dimana proses ini diawali dengan dakwah berkeliling, berdagang serta membangun Madrasah Diniyah Islamiyah. Gagasan pendirian lembaga pendidikan inipun mendapat respon positif dari jama’ah.
Sekitar tahun 1951, beliau melakukan musyawarah dengan para tokoh dan santrinya yang dihadiri langsung oleh ayahanda TGH. M. Arsyad. Beberapa tokoh yang hadir antara lain, HM. Amin, TGH. Mustaqim, Papuk Hayat, H. Halidi, HM. Hamid, H. Baharudin, Guru Nurminah, A. Munaqif, H. Mahmudin dan H. Ridwan.
Musyawarah pertama ini dilanjutkan dengan pertemuan kedua dengan mengundang “Keliang Kampung” atau kepala dusun, seperti H. Mustafa, H. Mukhtar, Anhar, Guru Badar, A. Manan, A. Muhriah, A. Saknah, HM Saleh, A. Kalsum, A. Nasrun, A. Sakrah, A. Erah, A. Saenah dan beberapa tokoh lainnya.
Beberapa saksi yang masih hidup menyebutkan, musyawarah ketika itu sedikit berjalan alot, terutama ketika menentukan sebuah nama lembaga pendidikan. Sebagian perserta mengusulakan nama “Darul Ulum” dan sebagiannya lagi “Maraqitta’limat”.
Sebagian peserta berpendapat, bila lembaga pendidikan diberinama Darul Ulum, itu berarti kita mengambil nama dari sebuah lembaga pendidikan yang terkenal di tanah suci Makkah. Jadi yang paling pas adalah nama Maraqitta’limat. Dan nama inipun disetujui oleh semua peserta musyawarah.
Setelah nama mendapat kesepakatan peserta, kemudian dilanjutkan dengan pendirian Madrasah Ibtidayah pertama yang pembangunannya murni dari swadaya masyarakat. Dalam perjalanan politik Indonesia ketika itu, para pejuang dan pendiri Madrasah ini berhaluan kepada Partai Majlis Syuro Indonesia (Masyumi) yang diketuai KH. Agus Alwi dan Umar Semeq.
Setelah lembaga pendidikan ini berjalan, pada tahun 1959, perjuangan inipun dilanjutkan dengan penyusunan Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD-ART). Dan pada tahun 1960, pihak pengurus Madrasah melakukan kerjasama dengan pimpinan Muhammadiyah di Masbagek-Lombok Timur, terutama dalam hal pembuatan Akte Notaris yayasan Maraqitta’limat. Dan pada tahun itu, yang menjadi Gubernur NTB adalah Wadita Kusuma, sementara yang menjabat sebagai bupati Lombok Timur Lalu Wildan. Pada tanggal 30 Juni 1964, yayasan Maraqitta’limat pun diresmikan. Hadir dalam peresmian tersebut adalah beberapa tokoh Masyumi dari pusat, seperti KH. Muhammad Hafiz, ormas Islam se Pulau Lombok dan beberapa pejabat pemerintah lainnya.
Dalam melakukan perencaan pembangunan, TGH. M. Zainuddin Arsyad selalu melakukan musyawarah dengan semua pihak, entah itu pengusaha, para tokoh agama, maupun masyarakat.
Menurut beberapa tokoh Maraqitta’limat, dalam melakukan musyawarah beliu menggunakan tiga tahapan. Pertama kali beliau mengundang para pengusaha. Setelah itu baru dikumpulkan para tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemuda termasuk pengurus ranting. Kemudian memasuki tahapan ketiga yaitu mengundang para guru. Dengan cara yang demikian, mereka dapat mengemukakan pendapat masing-masing, yang selanjutnya disimpulkan menjadi sebuah rencana yang akan dijalankan oleh semua pihak, sekaligus menyusun panitia pembangunan.
Peran antara pengusaha, tokoh masayarakat, agama dan pemuda serta para guru tentu berbeda. Para pengusaha mengumpulkan biaya pembangunan sarana dan prasarana lembaga pendidikan, sementara para tokoh bertugas mensosialisasikan hasil kesepakatan. Sedangkan para guru berperan untuk mendidik siswa di lembaga pendidikan yang akan didirikan atau dibangun.
Beberapa murid dan sahabatnya pernah menuturkan, bahwa ketika membangunan gedung Madrasah Ibtidaiyah yang pertama di Desa Mamben Lauq Kabupaten Lombok Timur, TGH. M. Zainuddin Arsyad kerap kali menerima kata-kata yang kurang berkenan dihati, yang dilontarkan oleh sebagian masyarakat yang kurang paham akan pentingnya arti sebuah lembaga pendidikan. Bahkan, ketika beliau bersama jama’ah melakukan kegiatan gotong royong, ia dilempar dengan batu dan kotoran.
Namun semua kejadian itu, ia hadapi dengan penuh kesabaran dan menyarankan kepada jama’ah untuk tidak melakukan lemparan balasan. Karena orang yang melakukan hal tersebut dinilai buta walaupun pada mata zhahirnya melihat. Artinya masih buta mata hatinya karena belum mendapat hidayah dari Allah SWT.
Yayasan Maraqitta’limat yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan dan sosial kemasyarakatan, terus mengalami kemajuan. Di bidang dakwah misalnya, beliau telah berhasil melakukan pengkaderesasian untuk melanjutkan perjuangannya. Tidak kurang 116 majlis ta’lim didirikan di seluruh Pulau Lombok. Demikian juga dengan lembaga pendidikan dan sosial kemasyarkatan terus megalami kemajuan yang cukup signifikan.
Berpulang Ke Rahmatullah
Di tengah perkembangan Yayasan Pondok Pesantren Maraqitta’limat yang begitu pesat, TGH.M.Zainuddin Arsyad berpulang ke rahmatullah pada tanggal 4 Februari 1991, beliau meninggalkan seorang istri dan 6 orang putra. Sebelum meninggal, beliau menunjuk putra beliau yang ketiga, TGH.Hazmi Hamzar sebagai pengganti beliau.
Muktamar Yayasan Maraqitta’limat mengukuhkan TGH.Hazmi Hamzar sebagai pucuk pimpinan Yayasan pondok Pesantren Maraqitta’limat. Sampai sampai saat ini Yayasan Pondok Pesantren Maraqitta’limat memiliki 19 Madrasah Ibtidaiyah, 3 SD Islam, 17 Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, 2 buah SMU, dan beberapa buah SMK serta 2 buah perguruan tinggi yaitu STIKES dan STKIP Hamzar.
Selain mengelola bidang pendidikan, Maraqitta’limat juga bergerak di bidang dakwah dan social yang ditandai dengan ratusan majelis ta’lim dan berdirinya beberapa pantai Asuhan yang tersebar di berbagai wilayah di provinsi Nusa Tenggara Barat bahkan di luar provinsi NTB seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur.
Di bidang ekonomi, Yayasan Maraqitta’limat memiliki Koperasi Pondok Pesantren Putra Hamzar yang di ketuai oleh H. Mashal, SH.MM (putra TGH.M.Zainuddin Arsyad yang ke-5). Di usia yang ke – 58 Yayasan Maraqitta’limat memiliki berbagai macam program yang harus tuntas di tahun 2010 diantaranya program satu rumah satu sarjana yang mendapat respon positif dari Menteri Agama RI, pendirian Radio Ummat Al-Hamzar, pembentukan Pusat Bimbingan konseling dan sejumlah program lainnya.
TGH.M. Arsyad, selain sebagai seorang tokoh agama, juga pada waktu itu sangat gigih menentang penjajahan Jepang di Indonesia. Sehingga beliau bersama santrinya memimpin langsung penyerangan ke markas Jepang yang terletak di Wanasaba-Lombok Timur, yang menyebabkan salah seorang santrinya gugur di medan pertempuran.
Seperti kebanyakan anak lainnya, beliau tumbuh dan berkembang secara wajar. Dari masa kanak-kanak, Zainuddin kecil dalam pergaulannya sehari-hari selalu mencerminkan sifat-sifat terpuji, hormat terhadap orang yang tua, dan sopan kepada sesama. Tidak heran, ketika masa kecilnya banyak orang yang sayang pada dirinya.
Karena mendapat pendidikan agama sejak dini, membuat sifat dan sikap kepemimpinannya sudah mulai nampak terutama dalam pergaulannya sehari-hari, sesuai dengan ajaran agama Islam yang diyakini kebenarannya.
Ketika usia Zainuddin menginjak empat tahun, beliau diasuh oleh Amak Ismail dan Inaq Isah yang sekaligus sebagai orang tua angkatnya. Karena pada saat itu, kedua pasangan ini belum dikaruniai seorang anak. Kendati demikian, Zainuddin kecil sudah dianggap sebagai anaknya sendiri.
Berada di buaian dan belaian kasih sayang orang tua angkat, tidak serta merta beliau di lepas begitu saja oleh TGH.M. Arsyad. Dengan penuh rasa kasih sayang, beliau dididik dengan ajaran agama. Sehingga orang tua beliau memiliki peran ganda, yaitu disatu sisi sebagai orang tua, dan disisi lain sebagai sosok guru yang sangat dihormati.
Mendapat pendidikan dari sang ayah yang cukup disiplin, membuat sosok Zainuddin kecil cukup cerdas, jujur, rendah hati baik budi pekertinya dan semakin nampak jiwa kepemimpinannya, walaupun diusia yang masih belia.
Menuntut Ilmu ke Negeri Makkah
TGH. M. Arsyad sendiri memiliki beberapa orang putra dan putrid. Salah satu diantaranya adalah Muhammad Zainuddin, yang ketika menginjak usia 6 tahun, atau sekitar tahun 1920, sang ayah dan bunda memutuskan untuk mengirim anaknya ke Makkah Al-Mukarromah untuk menimba ilmu agama. Keberangkatan beliu menuju Makkah didampingi oleh ayahanda TGH. M. Arsyad. Konon, beliau sempat digendong oleh orang tuanya ketika berangkat meninggalkan rumahnya menuju Makkah Al-Mukkaromah.
Di usia 6 tahun dan tinggal bersama orang-orang yang belum begitu dikenalnya, hidup jauh dari kampung halaman, sanak dan saudara, merupakan sebuah pengalaman yang cukup berharga. Pada masa usia belia seperti itu, sebenarnya masih membutuhkan bimbingan dan dampingan dari orang tua. Namun berbeda dengan Zainuddin, masa-masa senangnya bermain harus berpisah sementara dengan semua orang yang dicintainya.
Setelah Sampai di kota suci, TGH.M. Arsyad, langsung mencari sebuah pemondokan untuk anak kesayangannya. Dan Zainuddin kecil dipondokkan di rumah salah seorang Syeikh Ali Mukminah dan menuntut ilmu di Madrasah Darul Ulum.
Apa yang dilakukan oleh Muhammad Zainuddin selama di Makkah Al-Mukarromah? Ternyata tidak banyak yang mengetahui. Karena selama hidupnya, ia tak pernah menceritakan kepada siapapun apa saja yang dilakukan ketika berada di tanah suci Makkah, karena takut kalau ia menceritakan hal tersebut akan menjadi kesombongannya.
Namun kalau dilihat dari peuturan dari beberapa sumber terpercaya, ketika beliau di Makkah tidak diragukan lagi, bahwa M. Zainuddin merupakan orang yang cerdas. Bahkan dalam usia 15 tahun ia mampu menghafal Al-qur’an 30 juz.
Tidak ada waktu yang digunakan oleh beliau kecuali belajar dan belajar. M. Zainuddin adalah alumnus Madrasah Darul Ulum Makkah Al-Mukkarromah yang mendapatkan predikat ‘Mumtaz’ dari para masyaikhnya.
Pada waktu itu, Darul Ulum merupakan madrasah yang banyak diminati oleh orang Indonesia. Dianatara masyaikhnya tyeng terkenal adalah Syeikh Muhammad Basuni Asy-Syafi’i, yang masih keturunan silsilah dari Imam Syafi’i dan Syeikh Muhammad Yasin Padang. Syeikh Muhammad Yasin Padang adalah guru sekaligus teman bagi M. Zainuddin.
Darul Ulum terletak di sebuah perkampungan yang diberi nama Jarwal, lebih kurang 1 kilometer dari Masjidl Haram. Namun kini Darul Ulum sudah tidak bisa didapatkan lagi karena diambil alih oleh Pemerintah Arab Saudi.
Dimimpikan Ibu Angkat
Setelah tinggal beberapa lama di kota Makkah Al-Mukarromah, Zainuddin tentu sewaktu-waktu merindukan kampung halamanya. Demikian juga dengan sang ibu angkat beliau. Bahkan suatu malam, Inaq Ismail yang mengasuhnya sejak kecil memimpikan Zainuddin yang sedang menimba ilmu di kota suci, sedang ayik bermain layang-layang. Namun tiba-tiba benang layangan yang dipegangnya putus. Dan layang-layang itupun terbang sangat tinggi.
Mimpi yang sama dialami oleh sang ibu angkatnya ini berulang sampai tiga kali. Dan muncullah rasa kasih sayang sekaligus kekhwatiran terhadap anak yang diasuhnya sejak kecil. Perasaan tidak tenang, hatipun melayang memikirkan apa tabir dari mimpinya itu. Mungkinkah itu hanya sebuah mimpi belaka atau memang ada tabir dibalik mimpi yang terjadi berulang kali itu.
Karena merasa cemas dan tidak tahan, akhirnya mimpi itupun diceritakan kepada sang suaminya Amak Ismail. Dan tentu saja sang ayah angkatpun tidak mampu mentakwilkan mimpi sang istri, sehingga apa yang menggangu pemikirannya saat itu diceritakan langsung kepada ayah Zainuddin yaitu TGHM. Arsyad.
Mendengar cerita mimpi dari ibu angkatnya ini, TGHM. Arsyad membuat sepucuk surat untuk dikirim kepada anak belahan jiwanya di Makkah Al-Mukarromah, yang isinya menanyakan tentang kabar berita di Makkah.
Selang beberapa minggu, surat balasanpun dikirim oleh Zainuddin kepada keluarga di Mamben Lauq. Dalam surat balasannya beliau menceritakan, bahwa baru saja dirinya mengalami sebuah musibah, yaitu jatuh dari sebuah tangga bangunan dari lantai atas. Namun kejadian yang menimpa, tidak sampai dirinya mengalami luka parah, kecuali beberapa bagian anggota tubuhnya yang masih merasa sakit.
Musibah yang menimpa diri Zainuddin, ternyata tidak mengendurkan semangat dan tekadnya untuk terus belajar dan mendalami ilmu agama, hingga tanpa terasa beliau sudah tinggal di Makkah selama 20 tahun, dan menunaikan ibadah haji, sehingga nama beliau dikenal dengan Ustadz H. Muhammad Zainuddin Arsyad.
Kembali Ke Kampung Halaman
Sekitar tahun 1938, dimana ketika itu bangsa Indonesia masih dijajah oleh Belanda, Ustadz HM. Zainuddin Arsyad, memutuskan untuk kembali ke kampung halamannya di Desa Mamben Lauq, setelah bermukim selama kurang lebih 20 tahun di kota Makkah.
Usia beliau ketika itu masih terbilang remaja yaitu 26 tahun. Selama ustadz muda ini berada di tanah suci, disamping memperdalam ilmu agama Islam, juga memperdalam ilmu bahasa Arab atau Nahu Sharaf, lebih-lebih bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi sehari hari adalah bahasa Arab. Selain itu, beliau juga belajar ilmu tafsir, tashawwuf, tauhid, fiqih dan ilmu-ilmu lainnya.
Dengan penguasaan bahasa Arab serta lamanya bermukim di Makkah, membuat sosok ustadz muda atau ini melupakan bahasa asal kelahirannya. Tidak heran, ketika beliau baru pulang dari Makkah, bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi dengan keluarga dan tetangga adalah Bahasa Arab.
Al-marhum TGH. Abdul Manan, pernah menuturkan, sepulang H.M. Zainuddin Arsyad dari Makkah, bahasa komunikasi yang digunakan adalah bahasa Arab, baik terhadap teman maupun terhadap para tamu yang berkunjung ke rumahnya.
Melihat bahasa komunikasi yang demikian, membuat keluarganya waktu itu, sedikit agak bingung, karena sebagian teman dan sahabatnya tidak mengerti apa yang diungkapkan oleh beliau. Dan hal inilah yang menimbulkan sedikit miskomunikasi. Dan konon kebiasaan menggunakan bahasa Arab dalam berkomunikasi sehari hari berlangsung hingga berbulan-bulan.
Akibatnya, muncul asumsi sebagian orang saat itu, yang menganggap Tuan Guru Bajang ini sengaja menggunakan bahasa Arab. Dan tidak sedikit juga yang mencemohkan bahkan mengejek beliau. Namun semua itu ditemia dengan penuh lapang dada dan kesabaran. Sebab bagi dirinya, hal itu bukan unsur kesengajaan, namun karena bahasa sehari-hari, ketika beliu bermukim di tanah suci.
Setelah hampir satu tahun menetap di Desa Mamben, akhirnya bahasa daerahpun mulai digunakan sedikit demi sedikit, sehingga lambat laun menjadi lancar.
Membantu Orang Tua Berdakwah
Tuan Guru H.M.Zainuddin Arsyad merupakan alumunus Madrasah Darul Ulum, Makkah Al-Mukarromah yang mendapatkan predikat Mumtaz dari para masyayikhnya. Pada waktu itu, Darul Ulum merupakan madrasah yang banyak diminati oleh orang Indonesia, diantara masyayikhnya yang terkenal adalah Syekh Muhammad Yasin Padang. Syekh Yasin Padang adalah guru sekaligus teman bagi M.Zainuddin. Darul Ulum terletak di sebuah perkampungan yang diberinama Jarwal kurang lebih 1 km dari Masjidil Harom. Namun, kini Darul Ulum sudah tidak bisa didapatkan lagi karena diambil alih oleh pemerintah Arab Saudi.
]Pada tahun 1930, TGH.M.Zainuddin Arsyad memutuskan kembali ke tanah air tempat kelahirannya guna mengajarkan masyarakat yang bodoh terhadap agama pada waktu. Menurut sesepuh masyarakat desa Mamben Lauk, ketika kembali ke tanah air beliau sama sekali tidak bisa berbahasa Sasak ataupun Indonesia, beliau hanya menggunakan bahasa Arab. Namun karena kecerdasannya, tidak dalam waktu yang lama beliau sudah fasih bahasa sasak dan Indonesia.
Saat kembali ke tanah air, TGH.M.Zainuddin Arsyad sangat prihatin melihat kondisi masyarakat pulau Lombok yang pada waktu itu masih banyak yang tidak paham dengan agama Islam, Sehingga beliau membentuk sebuah pengajian kecil-kecilan di rumah beliau.
Melihat kesibukan orang tuanya, TGH.M.Arsyad sibuk dalam melakukan dakwah Islam di tengah-tengah masyarakat, maka terbetiklah niat sucinya untuk membantu sang orang tua tercinta dalam menjalankan misi dakwah. Misinya ini diawali dengan mendirikan sebuah tempat pengajian atau majlis ta’lim. Di tempat inilah, Ustadz H.M. Zainuddin Arsyad mulai mengajar membaca Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama, seperti fiqih, bahasa Arab, Tauhid, Tafsir dan lain-lainnya.
Melihat kegigihan putranya dalam mensyi’arkan Islam, TGHM. Arsyad tentu sangat bersyukur kehadhirat Allah SWT. Bahkan tuan guru muda ini sering mengganti sang orang tua untuk memberikan ceramah-ceramah agama kepada jama’ahnya. Biasanya saat itu, khususnya masyarakat Desa Mamben Lauq, sering mengundang penceramah atau tuan guru dari Masbagik.
Namun setelah pulang dari tanah suci, beliau rutin mengisi ceramah agama di Mamben Lauq dan sekitarnya, sampai beliau diberi gelar oleh jama’ah adalah Tuan Guru Bajang. Hal ini didasari oleh penilaian jama’ah, karena beliau dipandang memiliki kecakapan ilmu khususnya di bidang Agama Islam.
Gelar Tuan Guru, khususnya di Lombok, merupakan sebuah gelar yang diberikan oleh masyarakat, bukan karena pendidikannya yang tinggi, namun karena dinilai telah banyak menguasai ilmu-ilmu agama Islam. Dan gelar inipun tidak diberikan pada sembarangan orang.
Menyebarkan Syi’ar Islam
Setelah kembali ke tanah air, TGH. M. Zainuddin Arsyad merasa prihatin melihat kondisi masyarakatar Pulau Lombok yang masih banyak belum memahami dengan baik agama Islam. Sehingga dia membentuk sebuah pengajian kecil-kecilan di rumahnya.
Namun dia juga melihat kondisi masyarakat yang ada di pesisir pantai, yang masih banyak belum memehami ajaran Islam yang sebenarnya. Untuk itu, dia memutuskan untuk melakukan misi dakwah ke daerah-daerah pesisir pantai Pulau Lombok, terutama bagi penduduk yang dianggap terisolir dan jauh dari dakwah Islam, bila dibandingkan dengan wilayah perkotaan.
Salah satu jasa besar yang ditinggalkan bagi jama’ah adalah, keberhasilan beliau mendirikan sebuah organisasi keagamaan, yang kemudian dikenal dengan nama Yayasan Pondok Pesantren Maraqitta’limat, yang berarti tangga pendidikan.
Hal ini diperkuat oleh putra beliau, TGH. Hazmi Hamzar, bahwa kegiatan dakwah yang dilakukan dengan menggunakan metode pendekatan kepada masyarakat pesisir mulai dari ujung timur (Kabupaten Lombok Timur-red) hingga ke pesisir utara Pulau Lombok, seperti Bayan, Panggung hingga Sidutan, Kabupaten Lombok Utara.
Dari pesisir wilayah Utara, beliau melanjutkan misi dakwahnya ke Selatan, tepatnya di Bongor Kabupaten Lombok Barat.
Beberapa tokoh masyarakat menuturkan, disamping beliau menggunakan metode pendekatan, juga misinya ini diiringi dengan berdagang keliling, menelusuri pinggir pantai di Pulau Lombok. Selain itu strategi yang dikembangkan adalah menghargai adat dan kebiasaan masyarakat setempat. Artinya tidak serta merta menghapus atau melarang adat dan kebiasaan masyarakat, kendati dinilai bertentangan dengan ajaran Islam.
Kebiasaan masyarakat yang dimaksud adalah meminum-minuman keras, seperti tuak, Berem atau sejenisnya. Kebiasaan lainnya yang dilakukan oleh masyarakat adalah membunyikan gamelan, walaupun waktu sholat tiba.
Beliu maklum, bahwa tempatnya berdakwah adalah orang-orang yang masih buta dalam ajaran agama Islam. Begitu juga dengan adat-istiadat yang masih kuat dipegang teguh oleh masyarakat seperti Wetu Telu di Bayan.
Dalam perjalanannya, beliau selalu melakukan silaturrahmi kepada para tokoh, baik tokoh adat yang dituakan oleh masyarakat setempat, maupun tokoh-tokoh agama. Beliau pertama-tama mengajarkan tentang keimanan kepada Allah SWT. Barulah setelah itu jama’ahnya diajarkan cara-cara beribadah.
Jujur, sopan dan santun serta dengan penuh kesabaran, berusaha memberikan pemahaman terhadap para santrinya. Pelan namun pasti, berkat kegigihannya dalam menjalankan misi dakwah ini, lambat laun banyak masyarakat yang sadar akan dirinya, bahwa bahwa kehidupan yang jauh lebih kekal dan abadai adalah kehidupan akhirat.
Satu contoh misalnya, beliau memperbolehkan masyarakat membunyikan alat-alat musik tradisional seperti gamelan. Namun beliu menyarankan, ketika tiba waktu sholat, bunyi-bnyian tersebut dihentikan, dan berkumpul menunaikan sholat secara berjama’ah.
Cara seperti ini, tidak jauh berbeda dengan misi dakwah yang dilakukan oleh para Wali Songo di Pulau Jawa.
Berniaga
Bila ditelusuri lebih jauh tentang pola kehidupan TGH.M. Zainuddin Arsyad, tentu kita akan berdecak kagum. Sederhana dan bersahaja, demikianlah yang tampak pada sosok Tuan Guru Sufi ini. Kesederhanaan itu dapat dilihat dalam menjalankan misi dakwahnya. Di satu sisi, beliau adalah da’I, tapi disisi lain, beliau adalah seorang pedagang keliling dari satu kampung ke kampung lainnya.
H. Hasan Nasrin, salah seorang tokoh Maraqitta’limat Kecamatan Bayan menuturkan, berdagang yang dilakukan oleh TGH.M.Zainuddin Arsyad, bukan sebagai tujuan utama, namun itu merupakan sebuah alat untuk berda’wah di tengah-tengah masyarakat.
Dagangan yang dibawa setiap kali menjalankan misi dakwahnya adalah, garam, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabe, kapuk dan pakaian. Barang dagangan ini diambil dari mitra usahanya untuk dibawa keliling, mulai dari labuhan Lombok, Sambelia, Belanting, Obel-Obel, Bayan, Santong, Panggung, Sidutan hingga ke Sembalun.
Barang dagangannya kerap kali ditukar dengan hasil-hasil bumi para petani. Kegiatan berdakwah sambil berdagang terus dilakukan, sehingga di beberapa tempat didirikan musalla, masjid atau madrasah, sebagai tempat membina umat.
H. Lalu Akar, mantan pengurus Yayasan Maraqitta’limat mengatakan, bahwa sekitar tahun 1941, beliau sudah mulai masuk ke Dayan Gunung atau sekarang sudah menjadi sebuah kabupaten baru yaitu Lombok Utara.
Kedatangan beliu pertama kali di Bayan, disambut oleh Endi Abdul Gani, salah seorang keturunan Bugis-Makasar yang tinggal di Desa Sukadana Kecamatan Bayan. Konon pertemuan beliau dengan Endi Abdul Gani tanpa disengaja ketika sedang berdagang di Dusun Panggung Desa Selengen.
Kebetulan pada saat itu, TGH.M. Zainuddin Arsyad menjual garam, sementara Endi Abdul Gani sebagai pembeli. Di saat terjada tawar menawar harga garam, Endi Abdul Gani mengaku heran, karena sang si penjual (TGH.M. Zainuddin Arsyad-pen) bukan menawarkan dengan harga tinggi, namun malah sebaliknya.
Karena kejadian tersebut, pembicaraan antara pedagang dan pembeli inipun berlanjut dan saling memperkenalkan diri. Endi Abdul Gani pun mengajak beliu ke rumahnya di Gubug Bangsal-Telaga Begek Desa Sukadana.
Sikap sopan dan rendah hati, bertutur bijaksana dan bertingkah santun. Inilah ditunjukkan ketika bertamu di rumah Endi Abdul Gani, membuat sang pemilik rumah semakin kagum, dan persahabatan mereka berduapun berlanjut. Demikian juga dengan hubungan kegiatan jual beli terus terjalin. Bak gayung bersambut, dari rumah sahabatnya inilah, beliau mulai lakukan dakwah Islam, yang lambat laun terus mengalami kemajuan.
Dan bila waktu sholat tiba, tidak lupa, beliau mengajak sahabatnya untuk menunaikan sholat secara berjama’ah, disebuah masjid kecil dan sederhana, yaitu masjid Panji Islam, yang dibangun orang Endi Abdurrahman yang berasal dari Pulau Sumbawa.
Berdakwah Dari Rumah ke Rumah
Persahabatan yang terjalin antara kedua hamba Allah (TGH.M. Zainuddin Arsyad dan Endi Abdul Gani-pen) semakin hari semakin erat. Dan setiap kali beliu datang, selalu diminta untuk memberikan sekedar ceramah agama. Namun demikian, sang sahabat Endi Abdul Gani, sedikitpun tidak tau, bahwa yang sering datang bertamu ke rumahnya adalah salah seorang ulama Sufi yang telah lama menempa ilmu di negeri Makkah Al-Mukarromah.
Setelah masing-masing menceritakan sejarah hidupnya, barulah Endi Abdul Gani, yang ketika itu sebagai kepala kampong (matua) menyadari bahwa, sahabatnya itu adalah orang yang memiliki ilmu agama yang mumpuni, dan patut sebagai tempat belajar memperdalam ilmu agama Islam.
Tidak heran, bila kedatangan sang shabat karibnya yang tiada lain adalah TGH. M. Zainuddin Arsyad selalu ditunggu-tunggu oleh Endi Abdul Gani bersama jama’ah lainnya. Kedatangan beliau tidak pernah disia-siakan. Endi Abdul Ganipun menyarankan kepada TGH. M. Zainuddin Arsyad, untuk sementara kegiatan dakwah dilakukan dari rumah ke rumah, atau menghindario berdakwah di tempat umum seperti masjid ataupun musalla.
Saran ini dikemukakan bukan tanpa alasan, namun karena mengingat kondisi masyarakat pada saat itu masih memliki keyakinan yang kuat khususnya tentang adat-istiadat Wetu Telu. Saran dan masukan dari sahabatnya inipun diterima.
Dalam menjalankan dakwahnya, Endi Abdul Gani selalu membantu beliau untuk mendatangi warga sambil membawa dagangannya. Bahkan, TGH.M. Zainuddin seringkali menginap di sebuah kampung Bugis di Labuhan Carik Desa Anyar. Dan ditempat terdapat sebuah Sekolah Rakyat (SR).
Labuhan carik tempat beliu bermukim, memiliki sejarah tersendiri, yang konon pada saat penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para Wali Songo, ditempat inilah berlabuhnya kapal mereka.
Sementara kegiatan dakwah di wilayah Panggung Desa Selengen dan sekitarnya dilakukan secara terus menerus, sehingga didirikanlah sebuah musalla pertama di dusun tersebut, sebagai tempat untuk mengumpulkan jama’ah yang mau belajar ilmu agama.
Lalu Hasan BA, salah seorang mantan camat Bayan menuturkan, kegiatan dakwah Islam yang dilakukan oleh TGH. M. Zainuddin Arsyad, khususnya di Dayan Gunung, pada masa kedistrikan Raden Kertapati.
Melihat dakwah Islam semakin berkembang di Bayan, membuat sebagian masyarakat menaruh rasa dendam, bahkan mengalami tekanan dari masyarakat sekitar. Ini terjadi, karena sebagian masyarakat menilai, dengan berkembangnya dakwah Islam di Bayan, akan dapat merusak keyakinan terutama tentang adat-istiadat yang diwariskan dari nenek moyang mereka. Padahal pada faktanya, selama melakukan misi dakwah di Bayan, sedikitpun tidak pernah terdengar kabar, kalau dirinya menyinggung persoalan adat-istiadat.
Salah satu bentuk tekanan yang dilakukan oleh sebagian mereka adalah memutuskan hubungan jual-beli barang. Dan inilah salah satu cara menghentikan dakwahnya. Hal ini terjadi bukan saja terhadap dirinya, namun juga terhadap pengusaha yang berasal dan Mamben-Lombok Timur.
Tekanan seperti ini tidak berlangsung lama, karena pada akhirnya masyarakat setempat menyadari, bahwa TGH. M. Zainuddin Arsyad dalam berdakwah tidak pernah menyinggung masalah adat-istiadat yang berkembang di masyarakat.
Kegiatan dakwah yang dijalankan oleh Ulama Sufi yang memiliki enam orang putra ini, tampaknya membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Demikian juga dengan klegiatan yang dilakukan di Sembalun Lawang dan Bumbung, yang masyarakatnya tidak jauh berbeda dengan masyarakat di Bayan kala itu.
Di Sembalun, ketika beliau datang untuk berdakwah sangat jarang ditemukan masyarakatnya yang menjalankan ibadah sholat lima waktu. Kondisi ini tidak menyurutkan semangat perjuangannya dalam mendakwahkan ajaran Islam yang sempurna. Melalui pendekatan jual-beli barang, sang Tuan Guru muda ini sedikit demi sedikit memberikan pelajaran kepada setiap orang yang ditemuinya di Sembalun.
Awalnya, memang banyak menolak ketika diajak menunaikan sholat dengan berbagai alasan. Ada yang beralasan tidak memilki pakaian, dan ada juga yang memang benar-benar tidak mengetahui tata cara melaksanakan ibadah shalat.
Memberikan sesuatu kepada orang yang membutuhkan merupakan perbuatan amal yang sangat mulia. Inilah yang ditunjukkan oleh TGH. M. Zainuddin Arsyad. Bagi masyarakat yang beralasan tidak memiliki pakaian, diberikan secara cuma-cuma asalkan mereka mau mengerjakan sholat. Dan bagi mereka yang belum mengerti cara beribadah, beliau ajarkan dengan penuh lemah-lembut dan sabar, sampai orang tersebut bisa beribadah.
Perjalanan dakwah beliau ke berbagai pelosok wilayah terpencil, bukan berjalan mulus, namun penuh dengan tantangan, dari orang-orang yang memang tidak suka terhadap ajaran Islam yang kaffah. Bahkan ada juga yang melempari dan ingin membunuhnya.
Sekali melangkah kedepan, pantang untuk mundur ke belakang. Itulah mungkin salah satu tekad beliau dalam menyebarkan kebenaran yang datangnya dari Allah SWT. Tantangan dan rintangan dijadikan sebuah pelajaran berharga sekaligus menguatkan tekad dan semangat dalam mensyi’arkan Islam.
Berkat kegigihannya berdakwah, sehingga menghasilkan kader-kader yang mumpuni dibidangnya. Kegiatan dakwah ini dilakukan mulai dari Desa Mamben Lauq dan Mamben Daya, Sembalun, Sajang, Sambelia, Obel-Obel, Bayan sampai Bongor Lombok Barat serta desa-desa lainnya.
Menurut penuturan salah seorang jamaah Yayasan Maraqitta’limat Bayan, TGH.M.Zainuddin Arsyad adalah salah seorang ulama yang santun dan penyabar. Bahkan beliau sering memberikan pinjaman uang kepada msyarakat yang membutuhkan. Beliau tidak segan-segan membebaskan hutang kepada seseorang apabila orang tersebut mau menjalankan syariat islam sepenuhnya. Melihat akhlak beliau yang seperti itulah akhirnya banyak masyarakat berbondong-bondong m,enyatakan diri masuk ke dalam agama islam. Di mana beliau singgah melakukan misi dakwah, disitulah beliau mendirikan madrasah-madrasah sebagai tempat mengaji bagi masyarakat.
Merintis Pondok Pesantren Dan Yayasan Maraqitta’limat
Selain melakukan dakwah keliling, TGH. M. Zainuddin Arsyad juga merintis sebuah Majlis Ta’lim Darul Ulum. Majlis ta’lim inilah cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren (Ponpes) Yayasan Maraqitta’limat.
Di Majlis Ta’lim Darul Ulum, beliu mengajar santrinya berbagai disiplin ilmu agama. Kitab-kitab yang diajarkan antara lain, Ma’abadil Fiqih, Nahu Wadhih, Badrun Munir, Lughotul Arabiyah, Nahu Shoraf, Fathul Qarib, Tariqatul Islam, Tariqotul Hadiah, Ilmu Mantiq, Tafsir Al-Qur’an dan kitab-kitab lainnya.
Perkembangan Majlis Ta’lim yang dibinanya semakin hari terus mengalami kemajuan yang cukup signifikan, sehingga tempat belajarnya tidak mampu lagi menampung para santri yang berdatangan menuntut ilmu.
Melihat kondisi tersebut, beberapa tokoh masyarakat menyarankan agar mendirikan tempat belajar yang lebih luas dan layak. Untuk menampung para santri, pada tahun 1950, lokasi belajarnya dipindahkan ke sebuah musalla yang lebih luas yaitu musalla yang dibangun oleh Amak Sadar dan warga setempat, yang belakangan dikenal dengan Diniyah Islamiyah.
Adapun santri pertamanya antara lain, H. Abu Bakar, Amak Mukenah, Ustazd H. Farhan, H. Badarudin, H. Marzuki, H. Halil-Ladon, H. Rusli, Amaq Suarno, Amaq Husnah, Amaq Erah, Amaq Haderi, Amak As’ad, Inaq Wasifah dan lain-lain.
Para santri ini dibina untuk menjadi guru bagi genarasi berikutnya, sehingga tampil beberapa orang diantara mereka, disamping sebagai santri sekaligus bertindak sebagai pendidik.
Santri yang berhasil dididik pada tahap kedua, antara lain, H. Abdul Manan, Saleh Rihin, H. Ahyar )Mamben Daya) H. Arsyad (Lendang) dan beberapa santri lainnya. Disusul lagi dengan santri tahap III, yaitu, Amaq Saleh AM, Amaq Sa’adah, Amaq Hirpan, Amaq Sulhan, Siderah, Hurnaen, H. Maksum, dan H. Yasin.
Semakin banyaknya masyarakat yang mengaji kepada beliau, akhirnya pada tahun 1952 TGH.M.Zainuddin Arsyad bersama rekan-rekannya mendirikan sebuah pondok pesantren yang diberinama Pondok Pesantren Maraqitta’limat. Maraqitta’limat memiliki arti tangga pendidikan. Pondok Pesantren Maraqitta’limat berlokasi di desa Mamben Lauk, Kecamatan Wanasaba, Lombok timur, NTB yang pada akhirnya ponpes ini memiliki beberapa cabang yang tersebar di seluruh wilayah pulau Lombok bahkan luar dari pulau Lombok seperti Sumbawa, Makassar, dan Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1964, TGH.M.Zainuddin Arsyad membentuk sebuah yayasan yang diberinama juga Yayasan Maraqitta’limat. TGH.M. Zainuddin Arsyad bertindak selaku ketua umum yayasan dan sekretarisnya adalah ust.H.Abdul Mannan. Yayasan Maraqitta’limat bergerak di bidang pendidikan, sosial dan dakwah.
Kegigihan beliau dalam melakukan pengkaderan patut menjadi contoh bagi generasi mendatang. Beliau tidak pernah mengenal lelah demi meraih cita-cita, yakni membumikan ajaran Islam yang satu-satunya di ridlai Allah SWT.
Kepedulian beliau dalam pendidikan umat, di samping melalui majlis ta’lim, juga melalui lembaga pendidikan formal dibawah naungan Yayasan Maraqitta’limat. Dari majlis ta’lim dan lembaga pendidikan inilah beliu bertujuan membentuk kepribadian manusia yang bertanggung jawab untuk membangun nusa, bangsa dan agama yang berpedoman pada Kitabullan dan Sunnah Rasulullah.
Kaitannya dengan menuntul ilmu, beliau menuangkan dalam pemikiran filosofisnya dengan mengutip penggalan ayat suci Al-Qur’an, yang sekaligus sebagai motto dalam mengembangkan lembaga pendidikan, yaitu kalimat : “Subhanalladzi ‘Allama Bil Qolam, ‘Allamal Inssana Malam Ya’lam” .
Proses Pendirian
Proses Pendirian pondok pesantren dan yayasan Maraqitta’limat, memang mengalami perjalanan yang cukup panjang. Dimana proses ini diawali dengan dakwah berkeliling, berdagang serta membangun Madrasah Diniyah Islamiyah. Gagasan pendirian lembaga pendidikan inipun mendapat respon positif dari jama’ah.
Sekitar tahun 1951, beliau melakukan musyawarah dengan para tokoh dan santrinya yang dihadiri langsung oleh ayahanda TGH. M. Arsyad. Beberapa tokoh yang hadir antara lain, HM. Amin, TGH. Mustaqim, Papuk Hayat, H. Halidi, HM. Hamid, H. Baharudin, Guru Nurminah, A. Munaqif, H. Mahmudin dan H. Ridwan.
Musyawarah pertama ini dilanjutkan dengan pertemuan kedua dengan mengundang “Keliang Kampung” atau kepala dusun, seperti H. Mustafa, H. Mukhtar, Anhar, Guru Badar, A. Manan, A. Muhriah, A. Saknah, HM Saleh, A. Kalsum, A. Nasrun, A. Sakrah, A. Erah, A. Saenah dan beberapa tokoh lainnya.
Beberapa saksi yang masih hidup menyebutkan, musyawarah ketika itu sedikit berjalan alot, terutama ketika menentukan sebuah nama lembaga pendidikan. Sebagian perserta mengusulakan nama “Darul Ulum” dan sebagiannya lagi “Maraqitta’limat”.
Sebagian peserta berpendapat, bila lembaga pendidikan diberinama Darul Ulum, itu berarti kita mengambil nama dari sebuah lembaga pendidikan yang terkenal di tanah suci Makkah. Jadi yang paling pas adalah nama Maraqitta’limat. Dan nama inipun disetujui oleh semua peserta musyawarah.
Setelah nama mendapat kesepakatan peserta, kemudian dilanjutkan dengan pendirian Madrasah Ibtidayah pertama yang pembangunannya murni dari swadaya masyarakat. Dalam perjalanan politik Indonesia ketika itu, para pejuang dan pendiri Madrasah ini berhaluan kepada Partai Majlis Syuro Indonesia (Masyumi) yang diketuai KH. Agus Alwi dan Umar Semeq.
Setelah lembaga pendidikan ini berjalan, pada tahun 1959, perjuangan inipun dilanjutkan dengan penyusunan Anggaran Dasar dan Rumah Tangga (AD-ART). Dan pada tahun 1960, pihak pengurus Madrasah melakukan kerjasama dengan pimpinan Muhammadiyah di Masbagek-Lombok Timur, terutama dalam hal pembuatan Akte Notaris yayasan Maraqitta’limat. Dan pada tahun itu, yang menjadi Gubernur NTB adalah Wadita Kusuma, sementara yang menjabat sebagai bupati Lombok Timur Lalu Wildan. Pada tanggal 30 Juni 1964, yayasan Maraqitta’limat pun diresmikan. Hadir dalam peresmian tersebut adalah beberapa tokoh Masyumi dari pusat, seperti KH. Muhammad Hafiz, ormas Islam se Pulau Lombok dan beberapa pejabat pemerintah lainnya.
Dalam melakukan perencaan pembangunan, TGH. M. Zainuddin Arsyad selalu melakukan musyawarah dengan semua pihak, entah itu pengusaha, para tokoh agama, maupun masyarakat.
Menurut beberapa tokoh Maraqitta’limat, dalam melakukan musyawarah beliu menggunakan tiga tahapan. Pertama kali beliau mengundang para pengusaha. Setelah itu baru dikumpulkan para tokoh masyarakat, tokoh agama dan pemuda termasuk pengurus ranting. Kemudian memasuki tahapan ketiga yaitu mengundang para guru. Dengan cara yang demikian, mereka dapat mengemukakan pendapat masing-masing, yang selanjutnya disimpulkan menjadi sebuah rencana yang akan dijalankan oleh semua pihak, sekaligus menyusun panitia pembangunan.
Peran antara pengusaha, tokoh masayarakat, agama dan pemuda serta para guru tentu berbeda. Para pengusaha mengumpulkan biaya pembangunan sarana dan prasarana lembaga pendidikan, sementara para tokoh bertugas mensosialisasikan hasil kesepakatan. Sedangkan para guru berperan untuk mendidik siswa di lembaga pendidikan yang akan didirikan atau dibangun.
Beberapa murid dan sahabatnya pernah menuturkan, bahwa ketika membangunan gedung Madrasah Ibtidaiyah yang pertama di Desa Mamben Lauq Kabupaten Lombok Timur, TGH. M. Zainuddin Arsyad kerap kali menerima kata-kata yang kurang berkenan dihati, yang dilontarkan oleh sebagian masyarakat yang kurang paham akan pentingnya arti sebuah lembaga pendidikan. Bahkan, ketika beliau bersama jama’ah melakukan kegiatan gotong royong, ia dilempar dengan batu dan kotoran.
Namun semua kejadian itu, ia hadapi dengan penuh kesabaran dan menyarankan kepada jama’ah untuk tidak melakukan lemparan balasan. Karena orang yang melakukan hal tersebut dinilai buta walaupun pada mata zhahirnya melihat. Artinya masih buta mata hatinya karena belum mendapat hidayah dari Allah SWT.
Yayasan Maraqitta’limat yang bergerak di bidang dakwah, pendidikan dan sosial kemasyarakatan, terus mengalami kemajuan. Di bidang dakwah misalnya, beliau telah berhasil melakukan pengkaderesasian untuk melanjutkan perjuangannya. Tidak kurang 116 majlis ta’lim didirikan di seluruh Pulau Lombok. Demikian juga dengan lembaga pendidikan dan sosial kemasyarkatan terus megalami kemajuan yang cukup signifikan.
Berpulang Ke Rahmatullah
Di tengah perkembangan Yayasan Pondok Pesantren Maraqitta’limat yang begitu pesat, TGH.M.Zainuddin Arsyad berpulang ke rahmatullah pada tanggal 4 Februari 1991, beliau meninggalkan seorang istri dan 6 orang putra. Sebelum meninggal, beliau menunjuk putra beliau yang ketiga, TGH.Hazmi Hamzar sebagai pengganti beliau.
Muktamar Yayasan Maraqitta’limat mengukuhkan TGH.Hazmi Hamzar sebagai pucuk pimpinan Yayasan pondok Pesantren Maraqitta’limat. Sampai sampai saat ini Yayasan Pondok Pesantren Maraqitta’limat memiliki 19 Madrasah Ibtidaiyah, 3 SD Islam, 17 Madrasah Tsanawiyah, Madrasah Aliyah, 2 buah SMU, dan beberapa buah SMK serta 2 buah perguruan tinggi yaitu STIKES dan STKIP Hamzar.
Selain mengelola bidang pendidikan, Maraqitta’limat juga bergerak di bidang dakwah dan social yang ditandai dengan ratusan majelis ta’lim dan berdirinya beberapa pantai Asuhan yang tersebar di berbagai wilayah di provinsi Nusa Tenggara Barat bahkan di luar provinsi NTB seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur.
Di bidang ekonomi, Yayasan Maraqitta’limat memiliki Koperasi Pondok Pesantren Putra Hamzar yang di ketuai oleh H. Mashal, SH.MM (putra TGH.M.Zainuddin Arsyad yang ke-5). Di usia yang ke – 58 Yayasan Maraqitta’limat memiliki berbagai macam program yang harus tuntas di tahun 2010 diantaranya program satu rumah satu sarjana yang mendapat respon positif dari Menteri Agama RI, pendirian Radio Ummat Al-Hamzar, pembentukan Pusat Bimbingan konseling dan sejumlah program lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar