Rabu, 01 Desember 2010

Kendala Warga Labuan Carik Memperjuangkan Haknya

Lombok Utara - Warga Labuan Carik Desa Anyar Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara, yang terdiri dari 27 kepala keluarga mengalami berbagai kendala dalam memperjuangkan hak ganti rugi atas lahan yang ditempatinya.

Pada awalnya masyarakat setempat enggan menjual pekarangan dan rumahnya, karena sudah pulahan tahun para nelayan bertempat tinggal di Labuan Carik, yaitu sebuah Labuan yang memiliki mitos sejarah tersendiri, yang konon tempat berlabuhnya para wali Songo sebagai penyebar Islam yang datang dari Pulau Jawa di Bayan. Bahkan ditempat ini terdapat sebuah masjid yang usianya sudah ratusan tahun, yang merupakan masjid pertama ditempati sholat jum’at. Dan masjid tersebut didirikan oleh para pendatang dari Makasar.

Keengganan warga menjual pekarangan dan rumahnya, luntur ketika dikabarkan bahwa ditempat tersebut akan dibangun sebuah pelabuhan barang di Lombok Utara. Wargapun berpikir tentang kehidupan masa depan anak-anak cucunya, dengan harapan adanya pelabuhan ini dapat meningkatkan perekonomian masyarakat Bayan khususnya dan Lombok Utara umumnya.

Namun terkait dengan ganti rugi dan relokasi, ternyata warga setempat harus berjuang memperebutkan haknya. “Saya beberapa kali dipanggil oleh pemerintah Lombok Barat untuk menandatangani surat ganti rugi, namun selalu saya tolak, karena tidak sesuai dengan harga lahan dan rumah, sehgingga saya seringkali dikatakan bodoh, baik oleh mantan camat Bayan yang kala itu Drs. Faisol maupun oleh beberapa kepala dinas yang ada di Lombok Barat”, tutur Ali, ketua RT, Labuan Carik yang didamping Bapak Bentol, ketika ditemui dikediamannya kemarin.

Pada saat pengukuran yang dilakukan oleh tim indevenden, semua tanaman yang ada di pekarangan kecuali pisang akan dibayar. Namun ketika warga menerima uang ganti rugi, ternyata tidak dibayar oleh pemerintah. Sementara yang tercamtum dalam surat keterangan tanpa kop yang diberikan oleh mantan camat Bayan, yang dibayar hanya pekarangan, rumah, listrik dan sumur.

Salah satu data tanpa kop dan tanda tangan yang diberikan oleh Drs. Faisol, milik Ramadan (25) tertulis di bagian IIa yaitu perhitungan harga taksiran seperti klasifikasi bangunan tercantum, jenis bangunan gedung tidak bertingkat, type/luas bangunan 24 m2, lokasi di Labuhan Carik dan harga standar per m2 tertulis, Rp. 1.164.240.240,00. Sementara pada poin 2 tentang prosentase penyusutan, yaitu jumlah penyusutan, 25X5% = 125 %. Nilai sisa bangunan: (100% - 125 %) = -25% (Sisa 20%). Pada poin 3, harga satuan per m2 sebelum penyusutan sama dengan 24 X Rp. 1.164.240 X 100 % = Rp. 27.941.848. Harga satuan per m2 setelah penyusutan yaitu 20% X Rp. 1.164.240 = Rp. 232.848. Sedangkan harga taksiran bangunan setelah penyusutan (nilai bangunan) yaitu Rp. 232.848 X 24 = Rp. 5.588.352.

Angka-angka seperti inilah yang diberikan kepada masyarakat, yang sudah barang tentu tidak dimengerti apa artinya. “Yang jelas tanah kami dibayar dengan harga Rp. 3,5 juta per are, sementara kami harus beli ditempat relokasi sekarang dengan harga Rp. 3 juta per are, jadi persis yang tersisa hanya Rp. 500 ribu, dan yang meminta kami membeli adalah mantan camat Bayan (Drs. Faisol-red) kata Ali dan Bentol.

Di bagian b dalam lembaran harga tersebut terdapat, perhitungan harga taksiran sumur, dan c. perhitungan harga taksiran lantai sumur/WC. “Yang kami herankan dalam tulisan tersebut terdapat pemasangan instalasi listrik yang nilainya Rp. 1.975.000,- padahal banyak diantara kami yang memiliki KWH tersendiri. Kalau biaya pemindahan barangkali wajar tapi kalau pemasangan instalasi baru, tentu akan menimbulkan tanda tanya. Lalu KWH yang kami miliki mau dibawa kemana?”, kata Ali dengan tanda tanya.

Hal ini pernah ditanyakan oleh Ali ke Pak Faisol, terutama masalaha penerangan. Namun tidak mendapat jawaban yang memuaskan. “Listrik tidak akan bisa dipasangkan, karena semuanya sudah kami ganti rugi, apakah bapak tidak bisa baca?” kata Ali menirukan jawaban Bapak Faisol.

Namun ketika melakukan hearing dengan DPRD KLU beberapa bulan lalu, beberapa dewan menyerankan, bahwa semua usul dari masyarakat, seperti listrik dan sumur akan diusahakan, yang penting sudah ngomplek rumahnya. “Tapi bagaimana mau bangun rumah, kalau tanahnya saja belum diratakan dan diukur ulang”, tegas Ali lagi.
Dan sebagai catatan, kata Ali dan Bentol, warga siap bangun rumah kapanpun, yang penting sudah diratakan dan diukur ulang serta ada air dan listrik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar