Jumat, 07 Mei 2010

Empat Tahun Bencana Porong

KAPAN kita bisa menulis bab terakhir rentetan kisah bencana lumpur Lapindo? Jawabannya mungkin tidak akan pernah ada. Sebab, memang tidak akan pernah bisa.

Pada beberapa prahara atau musibah, biasanya ada ending yang bisa kita simpulkan. Namun, pada bencana yang bulan ini genap memasuki tahun keempat tersebut, tanda-tanda kapan episode penutup itu belum kunjung tiba. Yang terjadi justru nestapa, masalah, nestapa lagi, masalah, nestapa, dan masalah lagi. Begitu silih berganti. Satu masalah ditangani, kemudian timbul masalah lain.

Kasus Lapindo bermula dari dugaan malapraktik dalam pengeboran di sumur migas milik Grup Bakrie di Banjar Panji. Mulanya, bencana itu membuat beberapa rumah, sawah, dan pabrik di kawasan Porong, Kabupaten Sidoarjo, tenggelam dalam kubangan lumpur panas. Setelah itu, merembet ke seluruh areal desa, pasar, perumahan, bahkan menutup akses tol Surabaya-Gempol.
Pelajaran pertama yang kita petik dalam kasus lumpur Lapindo, negara sebaiknya sejak awal siap turun tangan jika ada musibah aktivitas migas. Sebab, dalam banyak kasus man-made natural disaster semacam itu, khususnya dalam aktivitas migas, sulit diperkirakan betapa dahsyatnya murka alam.

Pada awal-awal setelah terjadinya musibah pada pengujung Mei 2006, negara berpangku tangan karena yakin bahwa PT Lapindo Brantas, operator blok migas Brantas itu, (dengan bantuan mitra-mitra yang disewanya) bisa menghentikan semburan lumpur dan menyelesaikan bencana tersebut.

Belakangan baru disadari skala dan daya rusak bencana itu sedemikian dahsyat. Sekian kali lipat dari yang diperkirakan. Demikian pula dampaknya pada perekonomian di Jatim, khususnya arus barang dan jasa. Yang juga tak bisa dihitung adalah penderitaan dan kerugian yang dialami masyarakat (terutama di sekitar kawasan bencana).
Kelurga Bakrie sejak awal juga siap menyisihkan triliunan rupiah dari sebagian kekayaan mereka untuk membayar “ongkos” bencana tersebut. Namun, kalau dihitung dengan yang dana yang sudah dikeluarkan oleh negara hingga sekarang, dana itu sudah naik berlipat-lipat.
Bencana memang kadang berlari lebih kencang jika dibandingkan dengan kesigapan serta kemampuan korporasi dan negara. Namun, itu tak boleh membuat kita berpangku tangan, apalagi berputus asa.

Salah satu tugas besar yang mendesak saat ini adalah menangani perbaikan infrastruktur. Sebab, Jalan Raya Porong sekarang sudah tak layak lagi. Sayangnya, proyek jalan arteri dan tol hingga saat ini terkesan masih terkatung-katung.

Dalam kasus “salah hitung” tersebut, kita tidak sendiri. Pemerintah Amerika, misalnya, juga dinilai terlambat dalam mengerahkan sumber daya negara ketika sebuah anjungan kilang minyak milik BP (perusahaan raksasa energi asal Inggris) meledak di perairan Teluk Meksiko. Ledakan itu mengakibatkan ribuan barel minyak tumpah ke laut.

Awalnya, pemerintah yakin dengan reputasi BP untuk bisa menyetop sendiri sumber rembesan minyak itu. Ternyata tidak. Luberan tersebut terus meluas dan mengakibatkan kerusakan lingkungan yang hebat seperti yang kita lihat dalam beberapa hari ini.

Bencana memang kadang berlari lebih kencang jika dibandingkan dengan kesigapan serta kemampuan korporasi dan negara. Namun, itu tak boleh membuat kita berpangku tangan, apalagi berputus asa. Salah satu tugas besar yang mendesak saat ini adalah menangani perbaikan infrastruktur. Sebab, Jalan Raya Porong sekarang sudah tak layak lagi. Sayangnya, proyek jalan arteri dan tol hingga saat ini terkesan masih terkatung-katung.

Memang kita mungkin tidak akan pernah tahu bagaimana skenario akhir dari bencana tersebut. Sebab, itu memang rahasia Tuhan. Tapi, kita tidak boleh berhenti berikhtiar dan menyelesaikan PR yang sudah ada di depan mata. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar