Lombok-Primadona:Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR) yang dikelola oleh Rinjani Track Manajemen Board (RTMB) atau Badan Pembina Treking Rinjani perlu dilakukan regulasi atau menyerahkan pengelolaannya ke masing-masing Pemerintah Daerah (Pemda) yaitu Lombok Timur dan KLU.
Hal tersebut dikemukakan oleh salah seorang mantan petugas Rinjani Track Center (RTC) Desa Senaru Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara, yang enggan dikorankan namanya. Karena menurutnya pengelolaan TNGR dulunya pernah menjalin kerjasama dengan pemerintah Selandia Baru yang berkaitan dengan eko wisata, bahkan pernah mendapat penghargaan internasional sampai dua kali. “Penghargaan tersebut diberikan karena dinilai para stalk colder dan semua pihak berhasil mengelola TNGR”, katanya.
Namun dalam perjalanannya, dari pemerintah New Zailand yang mendanai tidak jadi menjadi bapak angkat dalam pengelolaan eko wisata TNGR, dan diharapkan yang melanjutkan pengeloaannya adalah dari RTMB atau BPTR. “Tapi pengelolaan yang dilakukan oleh RTMB ini tidak serta merta diterima oleh para stalk colder termasuk Pemda KLU”, tambah tokoh muda Bayan ini.
Alasannya, karena RTMB dinilai tidak bisa mengakomodir kepentingan dan kebutuhan pemerintah kabupaten dalam regulasi. Seharusnya pemerintah kabupaten Lotim maupun KLU diberikan mengelola TNGR, karena ini berkaitan erat dengan otonomi daerah sehingga setiap keputusan yang dibuat berlandaskan Peraturan Daerah (Perda) setempat, bukan berlandaskan keputusan sepihak. “Jika setiap Pemda tidak dilibatkan dalam pengelolaannya, tentu akan membawa dampak kedepan. Buktinya harga tiket masuk ke TNGR saja sudah mulai turun sampai Rp. 20.000 per orang, padahal dulunya harga tiket Rp. 150.000,- per orangnya”, tutur aktivis muda ini.
“Padahal beban dari harga tiket Rp. 150.000,- untuk melindungi kawasan TNGR, lalu siapa yang melindungi kawasan wisata ini kalau dengan harga Rp. 20.000 ? tanya seorang warga yang juga enggan dipublikasikan namanya.
Menurut warga ini, RTMB membuat aturan secara prematur, sehingga banyak orang yang merasa tidak terlibat didalam pengelolaan TNGR. “Jadi sebaiknya barangkali perlu dipisah antara kepentingan bisnis seperti dalam pengelolaan pemberdayaan masyarakat dengan pengelola penjualan tiket”, pintanya.
“Kalau memang pengelolaan tiket TNGR ini mau diserahkan ke Pemda, tentu nanti akan menjadi tanggungjawab Pemda setempat. Sebenarnya solusi dari persoalan ini masih banyak, hanya saja komunikasi antara RTMB dengan pemerintah setempat yang masih kurang”, kata Ing, salah seorang warga Desa Senaru.
Rata-rata pengunjung per tahun ke TNGR yang masuk melalui pintu Senaru sekitar 2000 orang, sementara dari pintu Sembalun-Lombok Timur berkisar 3000 pengunjung. Dan jika dana tiket masuk sebesar Rp. 150.000,- Sedangkan paket trekking yang ditawarkan terutama ke wisatawan mancanegara rata-rata Rp. 1.2 juta per orang. Dan jika dana yang masuk ini tidak dikelola dengan baik, lebih-lebih dengan turunnya harga tiket masuk ini akan berdampak terhadap kebersihan lingkungan. Dan siapa yang bertanggungjawab terhadap dampak lingkungan ini apakah RTMB, TNGR atau Pemda. “Hal ini juga akan berdampak kepada para wisatawan yang mendaki, misalnya dia mendapat kecelakaan atau jatuh siapa yang akan bertanggungjawab, dan hingga saat ini belum jelas”, tambah Ing.
Sementara dampak dari sisi ekonominya, lanjut Ing ini sudah jelas akan menurunkan imej kepada para pengunjung, jika melihat sampah berserakan dimana-mana atau perampokan dan lain sebagainya, tentu akan bisa menurunkan jumlah pengunjung ke TNGR. “Jadi sebaiknya pengelolaan tiket ini diserahkan ke Pemda yang nantinya akan diatur ke dalam Perda. Selain itu dalam hal ini juga ada kepentingan desa, jadi bisa dimasukkan ke dalam Peraturan Desa (Perdes) selain yang diatur oleh negara tentang pendapatan di luar pajak. Dan bila seperti itu maka aturan dan retribusinya akan menjadi jelas”, pungkas Ing.
Hal tersebut dikemukakan oleh salah seorang mantan petugas Rinjani Track Center (RTC) Desa Senaru Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara, yang enggan dikorankan namanya. Karena menurutnya pengelolaan TNGR dulunya pernah menjalin kerjasama dengan pemerintah Selandia Baru yang berkaitan dengan eko wisata, bahkan pernah mendapat penghargaan internasional sampai dua kali. “Penghargaan tersebut diberikan karena dinilai para stalk colder dan semua pihak berhasil mengelola TNGR”, katanya.
Namun dalam perjalanannya, dari pemerintah New Zailand yang mendanai tidak jadi menjadi bapak angkat dalam pengelolaan eko wisata TNGR, dan diharapkan yang melanjutkan pengeloaannya adalah dari RTMB atau BPTR. “Tapi pengelolaan yang dilakukan oleh RTMB ini tidak serta merta diterima oleh para stalk colder termasuk Pemda KLU”, tambah tokoh muda Bayan ini.
Alasannya, karena RTMB dinilai tidak bisa mengakomodir kepentingan dan kebutuhan pemerintah kabupaten dalam regulasi. Seharusnya pemerintah kabupaten Lotim maupun KLU diberikan mengelola TNGR, karena ini berkaitan erat dengan otonomi daerah sehingga setiap keputusan yang dibuat berlandaskan Peraturan Daerah (Perda) setempat, bukan berlandaskan keputusan sepihak. “Jika setiap Pemda tidak dilibatkan dalam pengelolaannya, tentu akan membawa dampak kedepan. Buktinya harga tiket masuk ke TNGR saja sudah mulai turun sampai Rp. 20.000 per orang, padahal dulunya harga tiket Rp. 150.000,- per orangnya”, tutur aktivis muda ini.
“Padahal beban dari harga tiket Rp. 150.000,- untuk melindungi kawasan TNGR, lalu siapa yang melindungi kawasan wisata ini kalau dengan harga Rp. 20.000 ? tanya seorang warga yang juga enggan dipublikasikan namanya.
Menurut warga ini, RTMB membuat aturan secara prematur, sehingga banyak orang yang merasa tidak terlibat didalam pengelolaan TNGR. “Jadi sebaiknya barangkali perlu dipisah antara kepentingan bisnis seperti dalam pengelolaan pemberdayaan masyarakat dengan pengelola penjualan tiket”, pintanya.
“Kalau memang pengelolaan tiket TNGR ini mau diserahkan ke Pemda, tentu nanti akan menjadi tanggungjawab Pemda setempat. Sebenarnya solusi dari persoalan ini masih banyak, hanya saja komunikasi antara RTMB dengan pemerintah setempat yang masih kurang”, kata Ing, salah seorang warga Desa Senaru.
Rata-rata pengunjung per tahun ke TNGR yang masuk melalui pintu Senaru sekitar 2000 orang, sementara dari pintu Sembalun-Lombok Timur berkisar 3000 pengunjung. Dan jika dana tiket masuk sebesar Rp. 150.000,- Sedangkan paket trekking yang ditawarkan terutama ke wisatawan mancanegara rata-rata Rp. 1.2 juta per orang. Dan jika dana yang masuk ini tidak dikelola dengan baik, lebih-lebih dengan turunnya harga tiket masuk ini akan berdampak terhadap kebersihan lingkungan. Dan siapa yang bertanggungjawab terhadap dampak lingkungan ini apakah RTMB, TNGR atau Pemda. “Hal ini juga akan berdampak kepada para wisatawan yang mendaki, misalnya dia mendapat kecelakaan atau jatuh siapa yang akan bertanggungjawab, dan hingga saat ini belum jelas”, tambah Ing.
Sementara dampak dari sisi ekonominya, lanjut Ing ini sudah jelas akan menurunkan imej kepada para pengunjung, jika melihat sampah berserakan dimana-mana atau perampokan dan lain sebagainya, tentu akan bisa menurunkan jumlah pengunjung ke TNGR. “Jadi sebaiknya pengelolaan tiket ini diserahkan ke Pemda yang nantinya akan diatur ke dalam Perda. Selain itu dalam hal ini juga ada kepentingan desa, jadi bisa dimasukkan ke dalam Peraturan Desa (Perdes) selain yang diatur oleh negara tentang pendapatan di luar pajak. Dan bila seperti itu maka aturan dan retribusinya akan menjadi jelas”, pungkas Ing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar