Asmara |
Selasa siang, 3 September 2013 sekitar pukul 11.30 wita, handpone penulis berdering. Dan setelah diangkat terdengar suara halo dari salah seorang warga yang tinggal di sebuah tempat terpencil di Dasan Gol Dusun Lenggorong Desa Sambik Elen Kecamatan Bayan yang mengaku bernama Amaq Imah.
Dalam obrolan yang berlangsung sekitar satu menit itu, Amaq Imah meminta penulis untuk datang ke tempatnya melakukan liputan. “Saya minta kehadiran bapak pada siang ini, karena ada pertemuan terkait dengan bantuan Rumah Tak Layak Huni (RTLH)”, pinta Amaq Imah.
Penulispun langsung mempersiapkan kamera dan sebuah lembaran disertai bullpen yang dimasukkan dalam tas dan bergegas menuju dusun yang dimaksud oleh si penelpon. Setelah mengendarai sepeda motor butut melalui jalan hotmix selama 15 menit, akhirnya sampai juga penulis disebuah pertigaan yang masuk ke Dusun Lenggorong.
Dari pertigaan ini, penulis menelusuri jalan yang aspalnya sudah mulai mengelupas dan berlubang, sehingga membutuhkan exstra hati-hati. “Jalannya baru diaspal beberapa tahun lalu pak, tapi karena pengaspalannya asal-asalan akhirnya cepat juga rusak”, kata salah seorang warga yang juga mengendarai sepeda motor.
Kendati demikian, berjalan menggunakan sepeda motor ke Dusun Lenggorong cukup menyenangkan, karena disamping kiri dan kanan jalan terdapat ratusan pohon mente yang sudah mulai berbuah yang menaungi perjalanan dari teriknya sinar matahari siang.
Ketika memasuki Dusun Lenggorong, terdapat beberapa warga yang sedang asyik ngobrol diatas berugak saka empat dan langsung memanggil penulis. Youk mampir dulu kita sama-sama minum kopi dan makan pisang”, tawar Zaki yang punya berugak.
Tentu saja tawaran itu penulis sambut baik, karena mengingat panas matahari cukup terik siang itu, maklum musim kemarau. Terdengar dari obrolah mereka terkait dengan bantuan RTLH yang dinilai kualitas pasir yang dibawa oleh supplier cukup rendah.
“Tuh pak diambil poto pasirnya, masak dua dam truk tumpukannya segitu kayak satu dam, dan harganya juga tidak sesuai sampai Rp. 265 ribu, padahal kalau kita beli paling tinggi harganya Rp. 150 ribu”, kata Eman yang ikut dalam obrolan tersebut.
Selang beberapa lama setelah menghirup seteguk kopi hitam, Zaki pun mengajak penulis menuju sebuah rumah yang berdinding bedeg dan beratap terpal rusak. Dari jauh tampak bangunan tersebut (maaf) seperti bangunan kandang ayam atau itik. Karena selain sempit juga atapnya terbuatdari terpal bekas.
Setelah mendekat, alangkah terkejutnya hati ini, ternyata rumah yang beratap terpal itu ada penghuninya, yaitu Asmara bersama istrinya Rida Sujana dengan seorang anaknya. “Inilah kondisi rumah kami pak, kalau hujan turun tidak ada tempat berteduh karena semuanya bocor, dan bangunan inipun dibantu oleh warga”, kata Asmara sambil mempersilahkan penulis duduk disebuah amben reot yang terbuat dari bambu.
Apakah anda tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah? Mendengar pertanyaan tersebut Asmara sempat terdiam sambil menatap keatas dengan tatapan yang kosong. “Ya pak, baru sekarang ini saya dapat bantuan bangunan rumah tak layak huni, yang hanya dibantu bahan bangunannya saja, sementara yang saya pikirkan darimana ongkos tukangnya”, jawabnya dengan bahasa Sasak.
Asmara yang bekerja sebagai buruh tani ini mengaku, rumah yang beratap terpal robek ini bangunannya dibantu oleh warga setempat. “Bagaimana kami mau bangun rumah, untuk menutupi kehidupan sehari-hari saja harus hutang kepada tetangga”, katanya sedih.
Hal ini juga diakui oleh Zaki, dimana Asmara bersama keluarganya benar-benar miskin. “Dia memang mendapat bantuan bahan bangunan rumah dari Kemenpera, tapi kalau pendiriannya tidak dibantu warga, maka bahan bangunan itu akan menjadi sia-sia. Karenanya, butuh perhatian dari semua pihak terutama yang mengelola bantuan RTLH ”, harap Zaki.
Bila dibandingkan dengan kondisi kehidupan masyarakat dengan pidato dari pejabat KLU yang mengaku bahwa angka kemiskinan menurun 7 persen dari 43,14 persen di KLU, tentu cukup meragukan. Selama ini dimana-mana para pejabat daerah ini dengan bangga mengaku bahwa kemiskinan di KLU sudah mampu diturunkan. Namun disisi lain ternyata masih banyak ditemukan warga KLU yang hidupnya serba kekurangan yang butuh uluran tangan.
Buktinya Asmara, satu diantara ribuan masyarakat KLU yang harus tinggal dirumah beratap terpal. Memang kini Asmara mendapat bantuan bahan bangunan rumah, tapi untuk biaya pembangunannya tentu butuh uluran tangan tetangga dan pemerintah. Bantuan sebesar Rp. 7,5 juta tersebut tentu belum cukup untuk membangun sebuah rumah permanen. Sementara ongkos tukangnya dibebankan kepada sipenerima bantuan.
Dalam obrolan yang berlangsung sekitar satu menit itu, Amaq Imah meminta penulis untuk datang ke tempatnya melakukan liputan. “Saya minta kehadiran bapak pada siang ini, karena ada pertemuan terkait dengan bantuan Rumah Tak Layak Huni (RTLH)”, pinta Amaq Imah.
Penulispun langsung mempersiapkan kamera dan sebuah lembaran disertai bullpen yang dimasukkan dalam tas dan bergegas menuju dusun yang dimaksud oleh si penelpon. Setelah mengendarai sepeda motor butut melalui jalan hotmix selama 15 menit, akhirnya sampai juga penulis disebuah pertigaan yang masuk ke Dusun Lenggorong.
Dari pertigaan ini, penulis menelusuri jalan yang aspalnya sudah mulai mengelupas dan berlubang, sehingga membutuhkan exstra hati-hati. “Jalannya baru diaspal beberapa tahun lalu pak, tapi karena pengaspalannya asal-asalan akhirnya cepat juga rusak”, kata salah seorang warga yang juga mengendarai sepeda motor.
Kendati demikian, berjalan menggunakan sepeda motor ke Dusun Lenggorong cukup menyenangkan, karena disamping kiri dan kanan jalan terdapat ratusan pohon mente yang sudah mulai berbuah yang menaungi perjalanan dari teriknya sinar matahari siang.
Ketika memasuki Dusun Lenggorong, terdapat beberapa warga yang sedang asyik ngobrol diatas berugak saka empat dan langsung memanggil penulis. Youk mampir dulu kita sama-sama minum kopi dan makan pisang”, tawar Zaki yang punya berugak.
Tentu saja tawaran itu penulis sambut baik, karena mengingat panas matahari cukup terik siang itu, maklum musim kemarau. Terdengar dari obrolah mereka terkait dengan bantuan RTLH yang dinilai kualitas pasir yang dibawa oleh supplier cukup rendah.
“Tuh pak diambil poto pasirnya, masak dua dam truk tumpukannya segitu kayak satu dam, dan harganya juga tidak sesuai sampai Rp. 265 ribu, padahal kalau kita beli paling tinggi harganya Rp. 150 ribu”, kata Eman yang ikut dalam obrolan tersebut.
Selang beberapa lama setelah menghirup seteguk kopi hitam, Zaki pun mengajak penulis menuju sebuah rumah yang berdinding bedeg dan beratap terpal rusak. Dari jauh tampak bangunan tersebut (maaf) seperti bangunan kandang ayam atau itik. Karena selain sempit juga atapnya terbuatdari terpal bekas.
Setelah mendekat, alangkah terkejutnya hati ini, ternyata rumah yang beratap terpal itu ada penghuninya, yaitu Asmara bersama istrinya Rida Sujana dengan seorang anaknya. “Inilah kondisi rumah kami pak, kalau hujan turun tidak ada tempat berteduh karena semuanya bocor, dan bangunan inipun dibantu oleh warga”, kata Asmara sambil mempersilahkan penulis duduk disebuah amben reot yang terbuat dari bambu.
Apakah anda tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah? Mendengar pertanyaan tersebut Asmara sempat terdiam sambil menatap keatas dengan tatapan yang kosong. “Ya pak, baru sekarang ini saya dapat bantuan bangunan rumah tak layak huni, yang hanya dibantu bahan bangunannya saja, sementara yang saya pikirkan darimana ongkos tukangnya”, jawabnya dengan bahasa Sasak.
Asmara yang bekerja sebagai buruh tani ini mengaku, rumah yang beratap terpal robek ini bangunannya dibantu oleh warga setempat. “Bagaimana kami mau bangun rumah, untuk menutupi kehidupan sehari-hari saja harus hutang kepada tetangga”, katanya sedih.
Hal ini juga diakui oleh Zaki, dimana Asmara bersama keluarganya benar-benar miskin. “Dia memang mendapat bantuan bahan bangunan rumah dari Kemenpera, tapi kalau pendiriannya tidak dibantu warga, maka bahan bangunan itu akan menjadi sia-sia. Karenanya, butuh perhatian dari semua pihak terutama yang mengelola bantuan RTLH ”, harap Zaki.
Bila dibandingkan dengan kondisi kehidupan masyarakat dengan pidato dari pejabat KLU yang mengaku bahwa angka kemiskinan menurun 7 persen dari 43,14 persen di KLU, tentu cukup meragukan. Selama ini dimana-mana para pejabat daerah ini dengan bangga mengaku bahwa kemiskinan di KLU sudah mampu diturunkan. Namun disisi lain ternyata masih banyak ditemukan warga KLU yang hidupnya serba kekurangan yang butuh uluran tangan.
Buktinya Asmara, satu diantara ribuan masyarakat KLU yang harus tinggal dirumah beratap terpal. Memang kini Asmara mendapat bantuan bahan bangunan rumah, tapi untuk biaya pembangunannya tentu butuh uluran tangan tetangga dan pemerintah. Bantuan sebesar Rp. 7,5 juta tersebut tentu belum cukup untuk membangun sebuah rumah permanen. Sementara ongkos tukangnya dibebankan kepada sipenerima bantuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar