Selasa, 01 November 2011

Pemda dan Dewan KLU Lamban Mengambil Sikap Atas PDAM

Lombok Utara — Pemerintah Daerah Kabupaten Lombok Utara (KLU) dan DPRD dinilai lamban bersikap atas PDAM Menang-Mataram. Selama tiga tahun berdiri, KLU belum memiliki posisi tawar dalam kepemilikan saham di perusahaan plat merah tersebut. Padahal seluruh sumber air PDAM diambil dari mata air di wilayah KLU.

‘’Pemerintahnya dan DPRD teleat (lamban) mengambil kebijakan,’’ kritik aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kamardi.

Ketika tarif PDAM naik, Pemerintah dan DPRD KLU dinilai Kamardi tidak memberikan pembelaan pada masyarakat. Pemerintah dan DPRD terkesan mengiyakan saja. Padahal masyarakat yang menjadi pelanggan mengeluhkan tentang kenaikan tarif itu. ‘’PDAM ini enak, menyedot air dari KLU dan membisniskannya di KLU. Sementara pemerintah KLU tidak dapat apa-apa,’’ katanya.

Lontaran yang disampaikan pemerintah tentang pembentukan tim pengkaji untuk persoalan PDAM dinilai Kamardi sekadar ucapan saja. Sampai tiga tahun berdiri belum ada solusi dari pemerintah terkait PDAM. Berapa persen saham yang dimiliki KLU, kapan PDAM KLU akan berdiri sendiri, serta persoalan kualitas pelayanan di KLU.

‘’Kita hanya jadi penonton di daerah kita sendiri,’’ kata mantan Kepala Desa Bentek ini.
Dikatakan, PDAM sebagai sebuah perusahaan milik pemerintah tidak ada bedanya dengan perusahaan swasta yang menjual air. Dengan label perusahaan milik daerah, PDAM bebas mengeskploitasi sumber mata air di hutan, bahkan ada yang di kawasan hutan adat. Lalu menyalurkan dengan pipa-pipa yang juga banyak dari program pemerintah. Melalui pipa-pipa itulah kemudian air dijual.

Kamardi menuturkan, awalnya PDAM di KLU mengambil air di sungai Segara. Mereka menyedot air sungai itu lalu menampung dan mengolahnya di bak penampungan di Pekatan. Namun belakangan mengambil langsung dari mata air Jong Pelangka di Dusun Selelos, Desa Bentek.

Parahnya, pipa besar yang mengambil air dari kawasan Bentek itu tidak mengalir ke Bentek. Pipa itu menyeberang sungai lalu masuk ke bak penampungan di Pekatan Desa Jenggala, Kecamatan Tanjung. Air itu kemudian dialirkan ke Jenggala dan sekitarnya, barulah pipa itu kemudian naik ke Bentek. ‘’Jadi aneh, airnya diedarkan dulu ke tempat lain baru naik ke tempat asalnya. Itulah yang membuat air di Bentek sering macet, tidak kuat naik,’’ katanya.

Menurut Kamardi, mestinya masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan mata air dibebaskan pembayaran. Atau pun kalau terpaksa harus membayar dengan tarif yang berbeda. Menyamakan dengan tarif di Kota Mataram adalah sebuah kekeliruan, tidak memperhatikan aspek ekonomi masyarakat dan peran masyarakat dalam perlindungan mata air. ‘’Dulu PDAM janji buatkan 9 titik keran umum, tapi sampai sekarang belum ada realisasi. Pemerintah desa dan masyarakat bisa menuntut hutang mereka itu,’’ katanya.

Dikatakan Kamardi, jika Pemda dan DPRD KLU serius mau mensejahterakan kebutuhan air masyarakat, mengambil alih PDAM menjadi salah satu cara. Selama ini kerap terdengar masyarakat KLU yang krisis air bersih lantaran pipa mereka tidak disambung dengan jaringan PDAM. ‘’Di Kecamatan Tanjung sendiri banyak masyarakat yang krisis air bersih,’’ katanya.
Alasan yang dilontarkan pemerintah yang belum siap lantaran butuh modal besar dan jumlah pelanggan yang masih kecil dinilai Kamardi kurang tepat. Pemerintah harus mengambil alih seluruh aset PDAM. Dalam amanat UU pembentukan KLU, aset Lombok Barat yang ada di KLU menjadi milik KLU dan paling lambat diserahkan dalam waktu 3 tahun. 

Jika alasan jumlah pelanggan masih kurang, menurut Kamardi justru dengan pengambilalihan PDAM oleh Pemda KLU akan meningkatkan jumlah pelanggan. Pemerintah bisa mengelola pipa-pipa besar yang selama ini dikelola melaui PAM Desa.‘’Patut dipertanyakan keseriusan pemerintah dan DPRD terkait persoalan PDAM ini,’’ katanya.

Sementara itu Kepala Desa Karang Bajo, Kecamatan Bayan, Kertamalip, mengatakan, kenaikan tarif PDAM dinilai tidak wajar bagi masyarakat setempat. Menurutnya, sebagai daerah mata air yang disedot harus ada pemberlakukan tarif yang berbeda. ‘’Ini kan hutan dan mata airnya masyarakat yang jaga, kok menjualnya mahal,’’ katanya.

Dikatakan, seluruh desa yang ada di Kecamatan Bayan yang menjadi  pelanggan PDAM mengeluhkan kenaikan tarif ini. Sebagai perwakilan masyarakat desa Karang Bajo, Kertamalip berharap Pemda dan DPRD KLU bisa memperjuangkan agar tarif air diturunkan. ‘’Kalau bisa kita sendiri yang miliki PDAM itu,’’ katanya.

Bukankah ada jasa lingkungan yang diberikan pada masyarakat sekitar mata air ?
‘’Ya pernah saya dengar itu, tapi apakah dana itu sampai di pawang Bangket Bayan (nama mata air tempat PDAM menyedot, Red) atau tidak saya tidak tahu,’’ katanya. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar