Senin, 31 Oktober 2011

Muliani Rindu Air Susu Ibu

[INI RUMAH LHO : Muliani digendong neneknya Papuq Sekiasip di dalam rumah yang menyatu dengan dapur. Dalam teori kesehatan, kondisi rumah seperti ini menjadi faktor penyebab ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Atas).] Persoalan gizi buruk bukan semata-mata persoalan kesehatan. Menyelesaikan satu faktor saja, katakanlah kecukupan gizi melalui program pemberian telur dan susu saja tidak cukup. Akar masalah gizi buruk itu : kemiskinan keluarga harus diselesaikan.

--------------------

Hujan membasahi gumi Tioq Tata Tunaq. Lama tak turun hujan, akhirnya pekan lalu hujan mulai turun di beberapa wilayah. Para petani gembira menyambut hujan itu. Sawah-sawah hijau. Pemilik kebun mulai mengolah tanah untuk menanam aneka sayuran. Musim hujan menjadi berkah. Termasuk juga bagi keluarga Papuq Narsim. Hujan berarti ada kesempatan untuk menanami tanah kebun yang tidak seberapa luasnya itu.  Papuq Narsim dan istrinya Papuq Sekiasip memiliki sebidang tanah kebun di Dusun Kuripan, Desa Rempek, Kecamatan Gangga, kira-kira 40 menit perjalanan dari pusat kecamatan.

Dua pasangan yang sudah berusia kira-kira 70 tahun ini hidup di dalam gubuk tua, reot. Rumah berukuran 6 X 3,5 meter itu berdinding bambu (bedek), beratatap ilalang serta lantai tanah. Ada semacam sekat ruangan di dalam rumah itu, memisahkan ruang yang satu dengan ruang yang lain. Di dalam ruang yang lebih kecil, ada sebuah dipan bambu yang lama tidak digunakan. 

Di ruangan yang lebih besar, ada dipan bambu yang menyatu dengan dapur. Ada Jangkih atau ‘’kompor’’ tradisional dari tanah, dengan perkakas masak memasak sederhana. Di dalam ruangan tempat dua pasangan usia lanjut ini tidur, di sana pula mereka memasak menggunakan kayu bakar yang diambil dalam hutan. ‘’Kamar di dalam itu jarang dipakai, sudah rusak banyak bocor,’’ kata Papuq Sekiasip menujuk ruangan itu saat koran ini berteduh kehujanan pekan lalu. Akhirnya wartawan koran ini harus pindah ke beruga lain, mengingat tempat duduk di depan rumah Papuq Sekiasip terlalu banyak yang bocor.

Tak ada nasi yang dimasak di dalam dapur itu. Belum waktunya makan. Jam sudah menunjukkan pukul 12.00 wita. Menunggu Papuq Narsim pulang barulah acara makan siang dimulai. Soal urusan perut, dua pasangan miskin ini memang sudah terbiasa untuk makan sekali sehari, atau maksimal dua kali sehari.

Sayangnya, pola seperti itu juga menular ke dua orang cucu mereka yang dititip orang tuanya. Muliani 3,5 tahun dan Paidin 4,5 tahun. Dua bocah ini mengikuti pola hidup (pola makan) kakek-nenek mereka. Makan seadanya. Apa yang dimakan kakek-nenek, itulah yang mereka makan. Serba seadanya.

‘’Saya kasih bubur dari nasi. Kalau ada bantuan di posyandu itu saya kasih,’’ kata Papuq Sekiasim saat menyuapi cucunya Muliani dengan nasi yang dihaluskan.

Pola hidup keluarga miskin itu akhirnya menjadi petaka bagi Muliani. Bocah malang yang ditinggal kedua orang tuanya itu (orang tuanya cerai, lalu sang ibu menjadi TKW ke Malaysia) menderita gizi buruk. Kuat dugaan pola pengasuhan, asupan gizi yang kurang membuat bocah itu terkena gizi buruk. Di usinya yang 3,5 tahun, beratnya 6 kilogram. Itu sudah lebih baik, sebelum-sebelumnya beratnya paling tinggi 5 kg. Muliani pun pernah mendapat perawatan intensif di RSUD Tanjung yang ruangannya masih minjam di Puskesmas Tanjung itu.

Bapaknya Muliani Tiarsah entah ke mana setelah menceraikan istrinya Nunung. Nunung, yang merupakan anak kandung Papuq Sekiasip dan Papuq Narsim memiliki beban berat. Menghidupi anaknya yang masih balita, tanpa pekerjaan menjadi beban Nunung. Keputusan bulat diambil, Nunung nekad berangkat ke Malaysia. Meninggalkan bayinya yang masih butuh air susunya.

Muliani kecil akhirnya resmi menjadi ‘’anak’’ dari kakek-neneknya. Dengan perawatan seadanya, Muliani tumbuh tidak normal. Berat badannya selalu turun. Sampai-sampai kedua kakinya mengecil, terlipat saling menyilang. Muliani akhirnya tidak bisa duduk dengan kakinya yang mengeras seperti itu, apalagi untuk berjalan.

Perkembangan mentalnya pun terganggu. Di usianya yang 3,5 tahun, tak ada satu kata yang bisa diucapkan oleh Muliani. Dia tidak bisa bicara, tapi bukan bisu. Matanya seperti orang juling, diduga akibat asupan vitamin yang kurang. Maka hingga di usinya yang 3,5 tahun ini, Muliani masih bocah kecil seperti ketika ditinggalkan ibunya, dia hanya bisa digendong dan menangis ketika ingin sesuatu.

Selain merawat Muliani, kakek-nenek ini juga merawat Paidin 4,5 tahun, sepupunya Muliani. Bapaknya Paidin Suhdi meninggal dunia saat menjadi kuli di Kalimantan, ibunya Murtini menjadi orang tua tunggal. Murtini pun akhirnya mengambil keputusan yang sama dengan saudarinya Nunung. Merantau ke Malaysia.  Muliani yang sudah divonis gizi buruk itu pun menjadi perhatian dinas kesehatan. Muliani pernah dirawat sekitar seminggu di RSUD Tanjung. Diberikan infus, diberikan makanan tambahan berupa telur, susu, bubur. Berat badannya naik. Kini sudah 6 kg.

Muliani kembali ke rumah bersama nenek dan kakeknya. Saban hari kader membawakan telur, susu, makanan tambahan lain. Entah sampai kapan bantuan itu akan diberikan.

Apakah itu cukup ?
Persoalan yang dihadapi keluarga ini bukan semata-mata Muliani yang gizi buruk. Penyelesaian gizi buruk selama ini cenderung sporadis. ‘’Menggemukkan’’ bocah yang menderita gizi buruk. Itu memang penting. Namun jangan sampai melupakan akar masalahnya : kemiskinan.

Apa pun standar yang akan dipakai untuk menilai keluarga ini pasti miskin. Rumahnya, yang berlantai tanah, dinding bedek, beratap ilalang yang sudah bocor di sana-sini. Pendapatannya, jangan ditanya. Sebab Papuq Sekiasip tak pernah menyimpan uang sepeseper pun di buntalan ikatan sarungnya. Pendidikan, sudah pasti tidak bisa membaca.

Dalam teori gizi, keluarga miskin seperti potret keluarga Papuq Sekiasip-Papuq Narsim ini akan menjadi sebuah ‘’lingkaran setan gizi buruk’’. Dia miskin, anaknya miskin, cucunya miskin, dan bisa dipastikan cicitnya kelak akan miskin. Rantai itu sudah mulai terlihat. Papuq Sekiasip yang miskin melahirkan putri bernama Nunung yang miskin, lalu Nunung yang miskin melahirkan Muliani yang gizi buruk. Sulit membayangkan generasi setelah Muliani. ‘’Mudah-mudahan dia sehat dan bisa berlari,’’ kata Papuq Sekiasip menyampaikan harapannya.

Nunung dan Murtini sering mengirim uang dari Malaysia ?
Dikatakan papuq Sekiasip, kadang-kadang mereka mengirim. Tapi itu habis untuk makan sehari-hari. Uang tidak pernah cukup untuk memperbaiki rumah mereka yang reot. Rumah yang kondisinya tidak lebih baik dari kandang sapi kolektif yang dibantu pemerintah pada para kelompok peternak.

Papuq Sekiasip dan Papuq Narsim memiliki putra, kondisi ekonominya juga miskin. Malahan wartawan koran ini melihat, tetangga yang lain, yang miskin memiliki anak yang gizi kurang. Kondisi mereka sama : miskin. Sampai-sampai untuk sekadar mendapatkan listrik saja mereka sulit.  Di akhir perbincangan dengan koran ini, salah seorang keluarga Papuq Sekiasip minta tolong untuk memoto Papuq Sekiasip dan dua orang cucunya di depan rumah mereka. Dia menyodorkan koran ini nomor telepon dengan kode Malaysia. Nomor itu milik Nunung, dia pernah nelepon kalau rindu dengan anaknya. Dia minta dikirimkan fotonya.
Foto sudah diambil di depan rumah reot itu. Saat dikirim, ada laporan terkirim. Semoga saja di negeri jiran itu, Nunung tidak kaget melihat foto sang buah hatinya itu….(fathul) Lombok Post

Tidak ada komentar:

Posting Komentar