Bayan adalah salah satu kecamatan terujung dan terjauh dari pusat ibu kota kabupaten Lombok Utara yang terkonsentrasi di wilayah kecamatan Tanjung, Bayan juga dikenal sebagai daerah yang memiliki peradaban tertua di pulau lombok karena daerah pertama yang menerima penyebaran agama Islam, sekaligus pintu masuk penyebaran agama Islam yang datang dari pulau Jawa.
Bayan juga banyak menyimpan legenda dan cerita unik yang dilengkapi dengan bukti-bukti sejarah yang diritualkan bahkan prosesinya masih kukuh menggunakan ritual adat dalam setiap pelaksanaan acara adat atau gawe adat yang masih kental diyakini sebagai peninggalan nenek moyang terdahulu yang harus tetap dilestarikan dan dijaga. Salah satunya pelaksanaan sembahyang (sholat) tarawaih yang dilakukan para kyai-kyai adat Bayan yang prosesinya dipusatkan di masjid Kuno Bayan yang berukuran 12 x 10 meter. Arsitektur bagunannya sepintas penuh dengan nuansa sederhana, ditambah lagi hamparan lantai masjid yang masih alami dan dilapisi dengan tikar pandan. Masjid kuno ini juga sekaligus sebagai bukti sejarah masuknya ajaran agama Islam di daerah ini sekitar abad ke 14.
Pelaksanaan Sembahyang Tarawih Kyai Adat Bayan memang tidak memiliki perbedaan dengan sholat tarawih yang dilakukan secara umum tertutama dalam segi bacaan, rukun, witir hingga pelaksanaan tadarusan lainnya. Hanya saja dari segi pakaian yang digunakan memang sangat berbeda dan unik, namanya saja Tarawih Adat yang sudah tentu harus menggunakan pakaian adat khusus yang juga memiliki nilai dan unsur kearifan lokal yang terkandung didalamnya.
Satu contoh putih yang digunakan melambangkan arti kesucian, sedangkan kain panjang (dodot) berwarna merah memberi arti jiwa kepemimpinan, dilengkapi dengan sapuq atau bongot yang juga sudah menjadi tradisi tersendiri.
Sholat Tarawih di masjid Kuno dilakukan tiga hari setelah pelaksanaan sholat tarawih pada umumnya dengan maksud agar tidak terjadi benturan waktu pelaksanaannya, hingga pelaksanaan lebaran adat juga dilakukan 3 hari setelah lebaran idul fitri secara umum. Pendapat lain hitungan ini juga dimasudkan agar agama tetap diikuti adat dan bukan sebaliknya.
Pelaksanaan Tarawih Kyai adat ini hanya boleh dilakukan oleh para Kyai-kyai adat yang berjumla h 44 orang. Dari ke 44 kyai ini juga tidak mesti harus fokus pada masjid kuno saja, akan tetapi juga dapat melakukan sholat tarawih pada masjid umum lainya. Kyai yang dimaksud terdiri dari Kyai Kagungan yang meliputi 4 unsur yakni Penghulu, Lebe, Ketib, dan Mudim dan Kyai Santri yang berjumlah 40 orang.
Agama dan Adat Harus Seimbang
Agama adalah pemberian dari Tuhan, sedangkan adat adalah peninggalan dari orang tua atau nenek moyang, yang keduanya harus dijaga dan diseimbangkan.
Memang sebagian kalangan masih menilai pelaksanaan ajaran Watu Telu kental dan identik dengan pelaksanaan ibadah sholat yang dilakukan 3 waktu dan puasa yang dikerjakan hanya pada awal, tengah dan akhir bulan saja, namun yang pasti agama dan adat yang sudah tentu memiliki kaitan erat dalam semua sendi kehidupan manusia memang tidak dapat dipisahkan, terlebih dalam komunitas adat bayan yang selama ini tidak pernah ada larangan pada semua generasi dan penerus untuk menuntut ilmu dan menyempurnakannya, asalkan adat - istiadat tidak dikesampingkan agar tetap berimbang dan seimbang, tutur Raden Gedarip laki paruh baya yang sudah memiliki 31 orang cucu ini.
Sumber lain yang berhasil ditemui Primadona adalah Raden Jambianom, Penghulu Raden Adat Bayan, ia menjelaskan, “Sebelum menyandang status Kyai Adat maka tidak diperbolehkan mengikuti sembahyang tarawih kyai adat dimasjid kuno. Dalam pelaksanaan sembahyang tarawih Kyai Adat ini ayat-ayat Al-Qur’an yang biasa dipakai harus dibacakan secara berurutan, sedangkan filosofi pelaksanaan sembahyang tarawih kyai adat setelah tiga hari sembahyang tarawih secara umum karena berpatokan pada tanggal dan posisi bulan, dimana menurut filosofi ini diyakni sahnya sesuatu itu dikerjakan apabila dapat dilihat secara langsung oleh mata. Sedangkan pada tanggal 1 dan 2 posisi bulan belum dapat terlihat dan kemudian baru dapat terlihat pada tanggal 3. Pelaksanaan ritual adat juga selalu berpatokan pada hari ketiga setelah ritual umum lainnya, karena masyarakat adat selalu berpegang teguh pada sistem penaggalan".
Sedangkan Kyai Kagungan yang melipuiti 4 unsur (Penghulu, Lebe, Ketib, dan Mudim) pada dasarnya memiliki tugas pokok yang sama, yaitu sebagai imam. Sedangkan tugas lainnya juga masih memilki tahapan dan bagian sesuai dengan wilayah adat yang dimilki, hanya saja Penghulu dapat berperan di semua wilayah adat. Sedangkan Kyai Santri yang berjumlah 40 orang hanya bertugas sebagai makmum atau disebut juga sebagai pembantu yang bertugas mengurus semua ritual adat atas perintah dan mandat dari Kyai Kagungan. Yang boleh berperan sebagai Kyai Kagungan dan Kyai Santri ini harus berdasarkan keturunan.
"Terkait makna Watu Telu memang tidak terlepas dari filosofi masyarakat adat Bayan yang selalu berpegang teguh pada tiga unsur atau keyakinan, yakni hubungan Tuhan dengan Manusia yang melibatkan para Kyai. Hubungan Manusia dengan Manusia yang melibatkan Pranta-pranta dan sesepuh adat, dan yang terakhir adalah Hubungan Manusia dengan Lingkungan yang diperankan oleh para Toaq Lokaq (para orang tua). Ketiga unsur ini memerlukan dan harus diseimbangkan, karena bagaimanapun juga kalau salah satunya tidak nyambung atau seimbang maka tidak mungkin kehidupan dapat berjalan dengan baik", ungkap Raden Jambe.
Saat ini keberadaan komunitas adat beserta hak-hak yang dimilikinya juga semakin kuat dengan UUD 45 yang sudah diamandemenkan dan tertuang dalam pasal 18 ayat b bahwa Negara mengakui hak ulayat dan ritual masyarakat adat. Jadi posisi dan keberadaan komunitas adat dan kearifan lokal yang dimilikinya juga semakin kuat untuk mendapat perlindungan dan harus tetap dilestarikan, tambah raden Jambianom.
Bayan juga banyak menyimpan legenda dan cerita unik yang dilengkapi dengan bukti-bukti sejarah yang diritualkan bahkan prosesinya masih kukuh menggunakan ritual adat dalam setiap pelaksanaan acara adat atau gawe adat yang masih kental diyakini sebagai peninggalan nenek moyang terdahulu yang harus tetap dilestarikan dan dijaga. Salah satunya pelaksanaan sembahyang (sholat) tarawaih yang dilakukan para kyai-kyai adat Bayan yang prosesinya dipusatkan di masjid Kuno Bayan yang berukuran 12 x 10 meter. Arsitektur bagunannya sepintas penuh dengan nuansa sederhana, ditambah lagi hamparan lantai masjid yang masih alami dan dilapisi dengan tikar pandan. Masjid kuno ini juga sekaligus sebagai bukti sejarah masuknya ajaran agama Islam di daerah ini sekitar abad ke 14.
Pelaksanaan Sembahyang Tarawih Kyai Adat Bayan memang tidak memiliki perbedaan dengan sholat tarawih yang dilakukan secara umum tertutama dalam segi bacaan, rukun, witir hingga pelaksanaan tadarusan lainnya. Hanya saja dari segi pakaian yang digunakan memang sangat berbeda dan unik, namanya saja Tarawih Adat yang sudah tentu harus menggunakan pakaian adat khusus yang juga memiliki nilai dan unsur kearifan lokal yang terkandung didalamnya.
Satu contoh putih yang digunakan melambangkan arti kesucian, sedangkan kain panjang (dodot) berwarna merah memberi arti jiwa kepemimpinan, dilengkapi dengan sapuq atau bongot yang juga sudah menjadi tradisi tersendiri.
Sholat Tarawih di masjid Kuno dilakukan tiga hari setelah pelaksanaan sholat tarawih pada umumnya dengan maksud agar tidak terjadi benturan waktu pelaksanaannya, hingga pelaksanaan lebaran adat juga dilakukan 3 hari setelah lebaran idul fitri secara umum. Pendapat lain hitungan ini juga dimasudkan agar agama tetap diikuti adat dan bukan sebaliknya.
Pelaksanaan Tarawih Kyai adat ini hanya boleh dilakukan oleh para Kyai-kyai adat yang berjumla h 44 orang. Dari ke 44 kyai ini juga tidak mesti harus fokus pada masjid kuno saja, akan tetapi juga dapat melakukan sholat tarawih pada masjid umum lainya. Kyai yang dimaksud terdiri dari Kyai Kagungan yang meliputi 4 unsur yakni Penghulu, Lebe, Ketib, dan Mudim dan Kyai Santri yang berjumlah 40 orang.
Agama dan Adat Harus Seimbang
Agama adalah pemberian dari Tuhan, sedangkan adat adalah peninggalan dari orang tua atau nenek moyang, yang keduanya harus dijaga dan diseimbangkan.
Memang sebagian kalangan masih menilai pelaksanaan ajaran Watu Telu kental dan identik dengan pelaksanaan ibadah sholat yang dilakukan 3 waktu dan puasa yang dikerjakan hanya pada awal, tengah dan akhir bulan saja, namun yang pasti agama dan adat yang sudah tentu memiliki kaitan erat dalam semua sendi kehidupan manusia memang tidak dapat dipisahkan, terlebih dalam komunitas adat bayan yang selama ini tidak pernah ada larangan pada semua generasi dan penerus untuk menuntut ilmu dan menyempurnakannya, asalkan adat - istiadat tidak dikesampingkan agar tetap berimbang dan seimbang, tutur Raden Gedarip laki paruh baya yang sudah memiliki 31 orang cucu ini.
Sumber lain yang berhasil ditemui Primadona adalah Raden Jambianom, Penghulu Raden Adat Bayan, ia menjelaskan, “Sebelum menyandang status Kyai Adat maka tidak diperbolehkan mengikuti sembahyang tarawih kyai adat dimasjid kuno. Dalam pelaksanaan sembahyang tarawih Kyai Adat ini ayat-ayat Al-Qur’an yang biasa dipakai harus dibacakan secara berurutan, sedangkan filosofi pelaksanaan sembahyang tarawih kyai adat setelah tiga hari sembahyang tarawih secara umum karena berpatokan pada tanggal dan posisi bulan, dimana menurut filosofi ini diyakni sahnya sesuatu itu dikerjakan apabila dapat dilihat secara langsung oleh mata. Sedangkan pada tanggal 1 dan 2 posisi bulan belum dapat terlihat dan kemudian baru dapat terlihat pada tanggal 3. Pelaksanaan ritual adat juga selalu berpatokan pada hari ketiga setelah ritual umum lainnya, karena masyarakat adat selalu berpegang teguh pada sistem penaggalan".
Sedangkan Kyai Kagungan yang melipuiti 4 unsur (Penghulu, Lebe, Ketib, dan Mudim) pada dasarnya memiliki tugas pokok yang sama, yaitu sebagai imam. Sedangkan tugas lainnya juga masih memilki tahapan dan bagian sesuai dengan wilayah adat yang dimilki, hanya saja Penghulu dapat berperan di semua wilayah adat. Sedangkan Kyai Santri yang berjumlah 40 orang hanya bertugas sebagai makmum atau disebut juga sebagai pembantu yang bertugas mengurus semua ritual adat atas perintah dan mandat dari Kyai Kagungan. Yang boleh berperan sebagai Kyai Kagungan dan Kyai Santri ini harus berdasarkan keturunan.
"Terkait makna Watu Telu memang tidak terlepas dari filosofi masyarakat adat Bayan yang selalu berpegang teguh pada tiga unsur atau keyakinan, yakni hubungan Tuhan dengan Manusia yang melibatkan para Kyai. Hubungan Manusia dengan Manusia yang melibatkan Pranta-pranta dan sesepuh adat, dan yang terakhir adalah Hubungan Manusia dengan Lingkungan yang diperankan oleh para Toaq Lokaq (para orang tua). Ketiga unsur ini memerlukan dan harus diseimbangkan, karena bagaimanapun juga kalau salah satunya tidak nyambung atau seimbang maka tidak mungkin kehidupan dapat berjalan dengan baik", ungkap Raden Jambe.
Saat ini keberadaan komunitas adat beserta hak-hak yang dimilikinya juga semakin kuat dengan UUD 45 yang sudah diamandemenkan dan tertuang dalam pasal 18 ayat b bahwa Negara mengakui hak ulayat dan ritual masyarakat adat. Jadi posisi dan keberadaan komunitas adat dan kearifan lokal yang dimilikinya juga semakin kuat untuk mendapat perlindungan dan harus tetap dilestarikan, tambah raden Jambianom.
Imam Syafi'i dalam qowaid fiqhiyahnya menyatakan adat bisa dijadikan sebagai sumber hukum dengan syarat adat tersebut sesuai dengan al-qur'an dan sunnah, sebaliknya jika adat tersebut bertentangan dengan alqur'an dan sunnah maka adat tersebut tidak bisa dijadikan sumber hukum dan harus ditinggalkan....
BalasHapus