Selasa, 22 Juni 2010

Raminem Mengaku Menerima Perintah Dari Sayyidina Ali

Lombok Utara (Primadona) - Acara pesta atau begawai khitanan dan ngurisan. seyogyanya akan dilaksanakan oleh Raminem (37) pada bulan ini, karena dia mengaku menerima perintah langsung dari Sayyidina Ali yang tinggal di Gunung Kukus Batua, Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur.

Pengakuan Raminem, warga Dusun Ruak Bangket Desa Sukadana Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara tersebut tentu saja mendapat bantahan dari warga setempat, karena Ali bin Abi Tholib adalah hidup pada zaman Nabi Muhammad Saw di Makkah Al-Mukarromah dan sudah lama wafat.

Raminem, ketika dimintai klarifikasi oleh pihak pemerintah desa dan Polsek Bayan (21/6) kemarin, tetap pada pendiriannya, bahwa acara begawe yang akan digelar adalah perintah langsung dari Sayyidina Ali. “Jika bapak-bapak mau melihat langsung, tunggu saja, karena sebentar lagi dia akan datang dari Batua”,katanya dengan logat bahasa Bayan asli yang disambut dengan tepuk tangan oleh puluhan masyarakat yang hadir di kantor desa Sukadana.

Namun setelah beberapa jam masyarakat menanti, ternyata apa yang diungkapkan Raminem tidak terbukti, karena yang disebut Sayyidina Ali itupun tidak datang. Melihat hal tersebut, puluhan masyarakatpun bertanya, mana Sayyida Ali yang dimaksud oleh Raminem. Mendengar pertanyaan itu dia meminta hp untuk menelpon sang pemberi perintah untuk begawe. Setelah diberikan hp, ternyata Raminem berkelit lagi, bahwa nomor hpnya ketinggalan di rumah.

Masyarakat Sukadana, semakin banyak yang datang untuk mendengar klarifikasi dari Raminem. Melihat kondisi demikian, akhirnya kepala desa Sukadana, Sojati, meminta kepada petugas keamanan dari Polsek Bayan untuk menyelesaikan persoalan ini di kantor polisi.

Sementara puluhan tokoh masyarakat yang sempat dihubungi Primadona, menilai, bahwa apa yang dilakukan oleh Raminem, bukan kali ini saja, bahkan peristiwa yang sama juga pernah terjadi pada bulan Juni 2009 lalu, dimana waktu itu kegiatan yang dilakukan oleh salah seorang anaknya Mardin (7) yang diduga mengaku sebagai dukun cilik dan mampu mengobati semua macam penyakit yang tidak bisa ditangani oleh dokter, sempat meresahkan warga setempat. “Raminem juga pernah menyebarkan isu bahwa anaknya sebagai dukun cilik dan menganut aliran ‘bedatuan’ (sebuah ajaran yang tidak masuk akal-red) seperti mengaku bahwa Mardin usianya sama dengan seumur dunia, dan tentu pendapat seperti ini sulit dicerna oleh akal, kecuali beberapa pengikutnya mengamini pendapat ini”, tutur beberapa tokoh masyarakat Sukadana.

Salah seorang warga Desa Karang Bajo yang enggan dikorankan namanya, yang pernah berkunjung ke rumah dukun cilik (Mardin-red) mengaku heran melihat cara praktik pengobatan yang dilakukan Mardin, yang hanya cukup memegang air yang dibawa oleh keluarga pasien tanpa membaca mantra atau jampi. Kendati demikian, dia melihat banyak pasien yang datang, padahal belum ada bukti pasiennya sembuh.

Setelah selesai mengobati dengan cara memegang botol air tersebut, kemudian sang ibu (Raminem-red) bercerita pada pasien yang datang, kalau dia memiliki minyak untuk dioleskan dan memiliki khasit mempercepat kesembuhan sang pasien, tapi ada syaratnya yakni memberi sejumlah uang. “Tentu demi kesembuhan sang keluarga, pasienpun siap mengeluarkan berapapun yang diminta, dan biasanya berkisar Rp. 10.000 – 15.000 per pasien”, tuturnya.

Apa yang terjadi pada tahun 2009 itu mampu diatasi oleh pemerintah desa Sukadana, karena Raminem bersama suaminya Amaq Nurmaya (60) membuat surat pernyataan bahwa perdukunan Mardin dan aliran bedatuan, tidak akan diulangi lagi. “Bahkan dalam surat perjanjiannya dengan jelas menyebutkan, bahwa jika mengulangi lagi perbuatannya, dirinya siap ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku atau dikucilkan ke luar daerah”, tutur Jumadi, kepala dusun Segenter Desa Sukadana yang juga ikut sebagai saksi dalam surat pernyataan tersebut.

Setelah genap satu tahun, kejadian yang meresahkan warga inipun kembali terjadi, tentu dengan motif yang berbeda, yakni mengaku menerima perintah dari sang sahabat Sayyidina Ali yang tinggal di Batua, agar dirinya melaksanakan acara begawe atau roah dengan memotong kerbau. “Sebagai masyarakat adat seharusnya mentaati aturan adat yang berlaku, bahwa selama masih dalam melakukan perbaikan masjid kuno di Dusun Semokan Desa Sukadana, tidak boleh ada yang melakukan acara begawe, dan ini aturan yang harus ditaati oleh masyarakat adat Bayan”, ungkap Kepala Dusun Semokan, Mistranem.

Ketua BPD Desa Sukadana, R. Nyakradi, pada Primadona mengatakan, semua para pemangku, pembekal adat dan toak lokak tidak ada yang mengijinkan Raminem untuk menggelar acara begawe. “Karena larangan itu mau dilanggar, ia terpaksa kita titip dulu di kantor Polsek Bayan”, jelasnya.

Salah seorang petugas Polisi Pamong Praja, R. Kertamono menyarankan bila dirinya tetap mau mengadakan pesta, mereka harus mengadakan di luar kecamatan Bayan atau menunggu selesainya perehaban masjid Kuno semokan sesuai dengan aturan adat yang berlaku, dan ini bila dilanggar, maka mereka harus dikucilkan dari kehidupan masyarakat.

Tampaknya saran dan masukan dari berbagai pihak ini tetap ditolak oleh Raminem. Karena bagi dirinya, dia begawe dengan menggunakan hartanya sendiri, dan sudah diawali dengan melakukan menyapu makam keluarganya. “Sawekku nyapu makam keluargangku, mun nyarak ku begawe apa bae ongkat tau, dan nene perintah lengan Sayyidina Ali” (aku sudah menyapu makam, bila pesta ini tidak ku lakukan tentu aku disebut oleh orang, dan ini juga perintah dari Sayyidina Ali)”, katanya dengan logat Bayan.

Mendengar jawaban seperti ini, masyarakat sedikit emosi, dan berteriak bila hal itu akan dilakukan, maka massa akan melakukan tindakan tegas dan mengusirnya keluar dari wilayah kecamatan Bayan.

Diraut wajah ibu setengah baya ini, sedikitpun tidak keliahatan gentar, walaupun banyak masukan dan larangan dari para petugas dan tokoh masyarakat, agar niatnya melakukan pesta itu diurungkan. Bahkan dirnya siap mati bila niatnya begawe dilarang pada bulan ini. Mengapa tekadnya untuk melaksanakan begawe itu cukup kuat? Menurut Narinem, itu karena perintah anaknya dan Sayyidina Ali. Lalu sampai kapankah Nurinem mempertahankan pendapatnya ini? Wallahu’alam.

1 komentar: