Selasa, 23 Agustus 2011

Ketika Ulama Tidak Konsisten Pada Kebenaran

Oleh: H. Sahlan Rafiqi Mashal

Ketika masyarakat menyaksikan ulama tidak konsisten pada kebenaran, menjalin hubungan dengan jamaah koruptor, dan menjalani hidupnya dengan glamour; hal itu merupakan kontribusi besar bagi kerusakan negeri ini. Jika ulama sudah tidak dipercaya, maka kalangan awam akan menjauh dari agama, karena mereka tidak mempercayai lagi omongan ulama. Hal ini, memberi peluang bagi penguasa untuk menjauhkan agama dari praktek kehidupan masyarakat. Sebab, ulama’ yang rusak akhlaknya dapat diperalat penguasa untuk merusak masyarakat menggunakan dalil-dalil agama.

Menjelang Ramadhan kita mendengar kaum ulama dan juga pejabat negara, melarang supaya ormas Islam tidak melakukan sweeping tempat maksiat. Mengapa bukan maksiatnya yang dilarang, sehingga tidak perlu ada sweeping? Akibatnya, segolongan orang yang masih komitmen pada agama, tetapi dengan bekal ilmu yang dangkal menempuh cara-cara yang bertentangan dengan Islam untuk melestarikan amar ma’ruf – nahi mungkar. Maraknya radikalisme dan liberalisme di negeri kita sesungguhnya bermuara dari kolaborasi ulama jahat dan penguasa zalim ini.

Kolaborasi ulama dengan penguasa yang melawan agama, dapat dibuktikan dengan menelaah sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an yang salah terjemah. Di dalam Al-Qur’an dan Terjemahnya yang diterbitkan Depag RI, sejak 1965, terdapat 3140 ayat dari jumlah 6326 ayat Al-Qur’an yang salah terjemah. Akibat kesalahan ini, sangat dahsyat, melahirkan aliran sesat, memicu terorisme dan merajalelanya dekadensi moral.

Misalnya, terjemah harfiyah Al-Qur’an Depag terbukti memicu kekerasan dan terorisme : “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah) ….” (Qs. Al-Baqarah, 2:191)

Kata bunuhlah dalam terjemah di atas berkonotasi perorangan, bukan antar umat Islam dengan golongan kafir. Seolah-olah setiap orang Islam boleh membunuh orang kafir yang memusuhi Islam di mana saja dan kapan saja dijumpai, sekalipun di luar zona perang. Pembunuhan terhadap musuh di luar zone perang sudah pasti menciptakan anarkhisme dan teror; suatu keadaan yang tidak dibenarkan oleh syari’at Islam. Apabila terjadi teror atau konflik horizontal, bahkan pembunuhan disebabkan membaca teks terjemahan di atas. Maka bukan hanya salah pembaca, tapi juga tanggungjawab ulama dan penguasa negara, karena kalimat terjemahan memang salah, dan menyimpang dari sababun nuzul (sebab turunnya) ayat tersebut.

Terjemah yang benar dari ayat ini: “Wahai kaum mukmin, perangilah musuh-musuh kalian dimanapun kalian temui mereka di medan perang dan dalam masa perang…”

Adapun contoh terjemah harfiyah Qur’an Depag, yang dapat disalahpahami sebagai pembenaran atas perzinahan, Qs. Al-Ahzab, 51:

“Kamu boleh menangguhkan menggauli siapa yang kamu kehendaki di antara mereka (isteri-isterimu) dan (boleh pula) menggauli siapa yang kamu kehendaki. Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu…”

Kalimat ‘Dan siapa-siapa yang kamu ingini untuk menggaulinya kembali dari perempuan yang telah kamu cerai, maka tidak ada dosa bagimu,’ pada terjemah di atas sesat dan menyesatkan. Sebagai pengamal Al-Qur’an paling sempurna, Nabi Saw. tidak pernah menceraikan istrinya, maka mustahil beliau menggauli perempuan yang telah dicerai, apalagi tanpa rujuk pula. Padahal ayat ini berkaitan dengan kebebasan Nabi Muhammad Saw menukar giliran bermalam diantara istri-istri beliau. Karena itu, terjemah di atas bertentangan dengan fakta sejarah dan akhlak beliau yang sangat terpuji.

Terjemah harfiyah Qs. An-Nisa’ ayat 20 lebih menyesatkan lagi: “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain…” Kalimat mengganti istrimu dengan istri yang lain, jelas terjemah yang salah dari ayat tersebut. Dalam bahasa Indonesia, istri adalah perempuan yang bersuami. Kata menggati berarti menukar dengan yang lain. Mustahil Islam membenarkan seorang suami menukar istrinya dengan istri orang lain.

Terjemah ini menyesatkan, seolah Islam membenarkan para suami saling bertukar istri. Maka terjemah yang benar adalah: “Wahai para suami, jika kalian ingin menceraikan istri kalian, lalu menikah dengan perempuan lain…” Terjemah tafsiriyah seperti ini tidak mungkin mengundang salah paham terhadap Al-Qur’an.

Ada lagi tarjamah harfiah Depag yang salah, Qs. An-Nur, 24:60 : “Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka….”

Dalam bahasa Indonesia, kata menanggalkan pakaian berarti membuka atau melepaskan pakaian yang dipakainya alias telanjang. Padahal maksud ayat ini, adalah melepas kerudung yang menutup kepalanya. Mustahil Islam membenarkan seorang perempuan menopause melakukan pornoaksi dengan telanjang di depan umum.

Al-Qur’an adalah sumber kebenaran dan pedoman hidup kaum muslimin. Apabila pemerintah tidak segera mengoreksi bahkan menarik predaran Al-Qur’an Terjemah Depag ini, patut dicurigai adanya msisi penodaan kitab suci umat Islam. Seperti yang dilakukan pendeta Yahudi dan Nasrani terhadap Kitab Taurat dan Injil. Kita menyaksikan, semakin banyak jumlah kaum Muslimin yang mengikuti paham sesat dan menolak syari’at Islam di lembaga negara, mengikuti provokasi pengikut agama lain yang memiliki doktrin, ‘agama urusan pribadi, sedang urusan sosial, ekonomi, politik terserah pada nafsu masing-masing’.

Apabila sikap beragama seperti ini terus dipertahankan, berarti penguasa dengan sengaja menjerumuskan bangsa ini ke lembah kebinasan. Melestarikan kejahatan, berarti memfasilitasi turunnya hukuman dari Allah Swt. Allah Swt berfirman:
وَإِذَا أَرَدْنَا أَن نُّهْلِكَ قَرْيَةً أَمَرْنَا مُتْرَفِيهَا فَفَسَقُوا فِيهَا فَحَقَّ عَلَيْهَا الْقَوْلُ فَدَمَّرْنَاهَا تَدْمِيرًا
“Jika Kami berkehendak menghancurkan suatu negeri yang penduduknya zhalim, maka Kami jadikan orang-orang yang suka berbuat sesat di negeri itu sebagai pemimpin, lalu pemimpin itu berbuat durhaka di negerinya. Akibat perbuatan durhaka pemimpin mereka, turunlah adzab kepada mereka dan Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya.“ (QS. Al-Isra‘ [17] : 16)

Inilah hukum kausalitas, ada sebab pasti diikuti akibat, sehingga berlangsunglah keputusan Allah. Tampilnya ahlul ma’siat, tokoh masyarakat yang durhaka pada Allah sebagai figur pemimpin nasional dan regional, merupakan hukuman bagi negara yang tidak tunduk pada hukum Allah Swt.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar