Kamis, 27 Januari 2011

Menelusuri Prosesi Mulud Adat Komunitas Bayan

Bulan Rabi’ul Awal khususnya bagi umat Islam, diperingati sebagai bulan kelahiran Nabi Muhammad Saw, atau dikenal dengan Maulid Nabi. Berbagai kegiatanpun dilaksanakan. Ada sebagian masyarakat memamfaatkan untuk acara ngurisan (potong rambut) bagi bayinya yang baru lahir, ada juga juga yang melakukan khitanan anaknya untuk mengambil barokah dari datangnya bulan kelahiran Baginda Nabi, Saw.

Suasana yang berbada dalam peringatan ini adalah yang dilakukan oleh komunitas Adat Bayan Kabupaten Lombok Utara, dimana tradisi Maulid atau Mulud (sebutan penduduk asli Bayan-red) berjalan selama dua hari. Hari pertama adalah persiapan bahan makanan dan pranti upacara lainnya yang dikenal dengan istilah “kayu aiq”. Sementara pada hari ke dua do’a dan makan bersama yang dipusatkan di masjid kuno Bayan. Prosesi pelaksanaan Mulud adat Bayan dilakukan oleh warga Desa Loloan, Anyar, Sukadana, Senaru, Karang Bajo dan Desa Bayan. Semua desa tersebut merupakan kesatuan wilayah adat yang disebut dengan Komunitas Masyarakat Adat Bayan.

Lalu bagaimana prosesi Mulud Adat Bayan ini? Berikut penulusuran penulis Buletin Kombinasi.

Berdasarkan perhituangan Sareat (syari’at) Adat Gama Bayan, bahwa Mulud Adat dilaksanakan dua hari yaitu tanggal 14-15 Rabiul Awal, yang pada tahun 2011 ini bertepatan dengan tanggal 18-19 Februari. Kendati demikian, namun kesibukan komunitas adat menyambut peringatan Mulud Adat ini sudah mulai tampak jauh sebelumnya. Mereka sudah mulai bersiap-siap melakukan rangkaian acara perayaan Maulid Nabi yang digelar secara adat.

Sejak pagi buta, 14 Rai’ul Awal, komunitas adat Bayan menuju sebuah kampu yaitu sebuah rumah yang diyakini sebagai area pertama didiami oleh suku Sasak Islam Bayan. Mereka membawa dan menyerahkan sebagian sumber pengahasilannya dari hasil bumi seperti padi, beras, ketan, kelapa, kemiri, sayur-sayuran buah-buahan dan hewan ternak berserta batun dupa (uang) dan menyetakan nazarnya kepada inan menik yang seorang perempuan yang dipercaya untuk menerima dan mengolah hidangan yang disajikan kepada para kiyai, penghulu dan tokoh adat pada hari puncak perayaan mulud adat.

Hal ini dilakukan sebagai tanda syukur atas keberhasilan panennya. Kemudian inan menik memberikan tanda di dahi warga adat dengan mamaq dari sirih sebagai ritual adat yang dikenal dengan nama menyembek.

Setelah itu, komunitas adat Bayan salu bahu membahu membersihkan tempat yang disebut balen unggun atau tempat sekam dan balen tempan (alat menumbuk padi) serta membersihkan rantok (tempat menumbuk padi) yang dibawa oleh komunitas adat. Prosesi inipun dilanjutkan dengan membersihkan tempat gendang gerantung yang akan disambut oleh sebagian kelompok komunitas adat. Setibanya gendang gerantung pada tempat yang disedikan, acara ritual dilanjutkan dengan selamatan penyambutan dan serah terima dengan ngaturan lekes buaq (sirih dan pinang) sebagai tanda taikan mulud atau rangkaian mauled adat dimulai.

Sekitar pukul 15.30 Wita, waktu itu disebut dengan gugur kembang waru, para wanita adat mulai melakukan kegiatan menutu pare (menumbuk padi) bersama-sama secara berirama dengan menggunakan tempat yang terbuat dari bambu panjang. Padi tersebut ditumbuk pada lesung seukuran perahu yang disebut menutu.

Pada saat bersamaan, ritual menutu pare ini diiringi dengan gamelan gendang gerantung khas Desa Bayan. Di sisi lain, kaum laki-laki beramai-ramai mencari bambu tutul untuk dijadikan tiang umbul-umbul (penjor) yang akan dipasang pada setiap pojok masjid kuno Bayan. Acara ini dikenal dengan nama pemasangan tunggul yang dipimpin oleh seorang pemangku atau Melokaq Pengauban. Ini dilakukan setelah mendapat restu dari inan meniq dengan menyediakan lekok buaq. Ritual ini dijadikan sebagai media betabiq (penghormatan) pada pohon bamboo yang akan ditebang.

Pemasangan Umbul-Umbul Dan Perisaian

Diterangi sinar bulan purnama , komunitas adat Bayan mulai berdatangan memasuki masjid kuno Bayan yang berdiri disebuah bukit sambil membawa bambu dan kain sebagai umbul-umbul yanmg dipimpin oleh tokoh adat dan agama, mulailah mereka ngengelat yaitu mendadani ruangan masjid dengan syimbol-syimbol yang sarat makna filosofisnya. Sementara didalam masjid puluhan tokoh adat dan agama memasang beberapa kain dan benang berwarna-warni sebagai langit-langit.

Tidak lama kemudian, datanglah para penabuh gamelan memasuki halaman masjid kuno, sebagai pertanda acara bertarungnya dua pria menggunakan rotan (temetian) sebagai alat pemukul dan perisai yang terbuat dari kulit sapi segera dimulai. . Permainan ini biasa disebuat dengan “Perisaian”.

Perisaian merupakan sebuah acara tradisional suku Sasak yang biasa dilakukan oleh para pepadu (jawara). Namun pada mulud adat , siapa saja yang ingin bertarung diperbolehkan. Permainan yang digelar di depan masjid kuno Bayan ini tidak didasari rasa dendam, namun merupakan ritual dan sebagai hiburan mulud adat sejak berabad-abad.

Datu Artadi, salah seorang tokoh adat Lombok Utara mengatakan, acara perisaian ini digelar mengingatkan umat Islam, bagaimana Nabi Muhammad Saw. Menggembleng umatnya pada malam hari untuk menghadapi perang Badar dan Uhud dulu.

Seusai acara perisaian, para pemimpin adat, agama dan tokoh lainnya serta komunitas adat Bayan berkumpul di berugak agung untuk mendiskusikan segala persoalan khususnya mengenai prosesi adat dan lainnya.

Pada hari kedua, atau tepatnya tanggal 15 Rabi’ul Awal (19 Februari 2011) komunitas perempuan adat memulai kegiatannya menampik beras yaitu membersihkan beras yang telah di tutu di rantok, dan dilanjutkan dengan acara bisok beras (mencuci beras) dengan barisan yang rapid an iring-iringan panjang sambil membawa bakul berisi beras di kepala menuju sebuah mata air yang bernama Lokok Masan Segah, sebagai tempat khusus mencuci beras ketika ritual adat dilaksanakan.

Sebagai syarat yang boleh mencuci beras ini adalah perempuan yang suci (tidak dalam masa haid) dan sepanjang perjalanan (sekitar 400 meter dari kampu-red) tidak boleh berbicara atau menoleh dan memotong jalan barisan. Setelah beras dicuci, kemudian di masak menjadi nasi dan mengagek atau menata hidangan pada sebuah tempat yang dibuat dari rautan bamboo yang disebut ancak.

Sementara di sebuah berugak yang terletak di kampu Bayan Barat, para tokoh adat sibuk mendandani praja mulud yang menyerupai sepasang panganten untuk digiring bersama-sama menuju masjid kuno Bayan. Sementara dibelakang praja mulud ini terdapat puluhan orang komunitas adat membawa sajian hidangan nasi dan lauk pauk.

Ketua Persekutuan Masyarakat Adat Lombok Utara (Perekat Ombara), Kamardi SH, menjelaskan, bahwa praja mulud ini menggambarkan proses terjadinya perkawinan langit dan bumi, Adam dan Hawa, yang disimbolkan dengan pasangan pengenten yang dilakukan oleh pranata-pranata adat Bayan.

Setibanya di masjid, lalu salah seorang pemuka agama memimpin do’a dan dilanjutkan dengan makan bersama yang diikuti oleh para jama’ah dan komunitas adat. Dan kegiatan ini menggambarkan wujud rasa syukur komunitas adat Sasak Bayan kepada para ulama sekaligus menjadi puncak acara perayaan kelahiran Nabi Muhammad Saw, yang dirayakan secara adat Bayan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar