Selasa, 04 Januari 2011

Diproduksi di Lombok, Meja Bumi Gora II Setara dengan Meja Presiden

Pemahat sekaligus konsultan UMKM asal NTB, Ir. Bing Gianto, kini tengah mengerjakan proses produksi Meja Bumi Gora (MBG) II. Meja ini merupakan ulangan dari MBG I yang ia dibuat dan kini terpampang di ruang kerja Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Apa dan bagaimana meja dimaksud?

“Meja Bumi Gora untuk kedua kalinya saya buat, karena diminta oleh seseorang untuk membuatkannya dengan konsep dan tema yang sama persis seperti Meja Bumi Gora I yang kini dipakai Presiden,” ungkap Bing Gianto, di kediamannya Jl. Industri No.15 Ampenan, Mataram. Bing masih merahasiakan siapa pemesan Meja Bumi Gora edisi II ini. Namun jika menilik pengguna MBG I, sudah jelas pemesan MBG II bukan orang sembarangan.

Bing mengakui, MBG I dan MBG II hanya memiliki satu perbedaan di tengah keragaman kesamaan. Perbedaan itu adalah, pada MBG I terpampang ornamen ukiran dan pahatan aneka makhluk hidup seperti sapi, kerbau dan lainnya, sebagai simbol adanya kehidupan, maka di MBG II hal itu tidak tampak. Kata Bing, hal itu berdasarkan permintaan sang pemesan.

Sebaliknya kesamaan konsep dan tema yang tertuang pada media akar kayu jati keduanya antara lain, sama-sama diproduksi dari bahan baku akar kayu jati. Usia akar kayunya jika tidak puluhan tahun maka ditaksir di atas 100 tahun. Ungkap Bing, menurut formulasi baku atau Ilmu Kehutanan, setiap garis atau guratan pada batang kayu menggambarkan usia satu tahun. Di tilik lebih dekat, guratan kayu tersebut cukup banyak.

Baik MBG I dan II, menuangkan inspirasi dan melambangkan keragaman budaya, kemajemukan etnis, sumber daya alam yang melimpah dan lain sebagainya. Hanya saja, jika di MBG I kemajemukan tersebut mewakili nuansa Nusantara, maka di BMG II entitas dan identitas itu berbicara dalam skala NTB. Bagaimanapun, NTB dikenal identik sebagai miniaturnya Indonesia, dari wilayah kepulauan, dihuni oleh masyarakat dengan berbagai latar belakang suku, agama, bahasa dan budaya yang berbeda. Namun hidup berdampingan secara rukun, damai menuju masyarakat madani.

Dari NTB pula, Bing memberi nama meja untuk hasil kriyanya. Di mana dulunya, gaung jargon Bumi Gora pernah membius masyarakat baik di NTB maupun nasional, sebagai program pemberdayaan pangan. Menyulap NTB dari daerah defisit menjadi daerah surplus perberasan hingga sekarang.

“Akar kayu ini saya datangkan dari Sumbawa, dibantu oleh Dinas Kehutanan, karena ini akar jadi harus digali. Untuk mendatangkannya harus melalui proses perizinan segala macam, jadi Meja ini resmi,” tutur Bing merasa optimis akan hasil karyanya.

Bing mengaku merogoh kocek tidak kurang dari Rp 20 juta untuk menyelesaikan MBG II. Lama pengerjaannya relatif singkat bagi seorang Bing Gianto. Namun bagi dia, dengan hanya dua orang pemahat dan satu pekerja finishing telaten yang dipekerjakan dan dilatihnya, ia cukup menuangkan ide, gagasan dan keinginan sang pemesan. Bing pun mengawasi pekerjanya dengan serius.

“Akar kayu ini datangnya sekitar bulan Mei, mulai dikerjakan September awal. Di Indonesia hanya ada dua perusahaan (pengrajin kayu, red) yang diakui oleh Dirjen Perindustrian dan Kementerian Koperasi dan UMKM untuk membuat ukiran seperti ini. Karya saya salah satunya yang mereka anggap paling unik dan mampu menonjolkan keaslian, itu sebabnya Meja Presiden dipesan di sini,” terang pria yang menggeluti ukir-ukiran sejak tahun 1989 ini.

Memperoleh kehormatan memproduksi Meja untuk RI 1, tidak lantas membuat Bing puas. Sebagai perajin, ide-idenya terus bermunculan untuk dituangkan dalam media kayu. Di kediamannya saja, terpampang di sana-sini berbagai ukiran yang notabene berasal dari sampah (potongan-potongan kayu).

“Tidak lama lagi, saya juga akan membuat meja bernuansa Tembok Cina. Bahan bakunya sudah ada, tinggal menunggu pengerjaan ini (MBG, red) selesai dulu,” ujarnya menunjuk akar kayu yang tertutup kain terpal.

Sedikit flasback pada konsep pembuatan MBG II, Bing merekam betul keragaman yang ada di Lombok dan NTB umumnya. Bing semaksimal mungkin menempatkan representasi bagi NTB. Dari sisi alamnya, petakan-petakan sawah terasiring yang ada di beberapa lokasi seperti Nyiur Lembang, Narmada, jalan di sepanjang Pantai Senggigi. Aspek budaya (etnis) terekam dalam nuansa rumah adat Sumbawa atau Lumbung Padi Lombok. Tidak ketinggalan pula keragaman tempat-tempat ibadah yang mewakili kelima Agama, yakni Islam, Kristen (Katolik dan Protestan), Hindu dan Budha. Sebagai identitas, Lombok yang dikenal dengan “1000 Masjid” terwakili oleh dominasi Masjid berikut tempat wudhu. Arah bangunan Masjid juga disesuiakan (semuanya) menghadap ke barat (kiblat), Pura umat Hindu dipahat persis seperti di batu Bolong, begitu pula Gereja dan Vihara.

“Kita tahu, Pura kebanyakan menghadap ke Pantai, saya buatkan seperti itu. Untuk membuat Vihara, saya ajak pemahat-pemahat ini jalan-jalan ke Kelenteng di Ampenan. Supaya dalam memahat, mereka tidak meninggalkan keutuhan dari. Satu contoh, kalau Masjid dibuat tidak semestinya, bisa-bisa marah nanti teman-teman yang muslim,” kelakarnya.

Wal hasil, Bing menjanjikan hanya butuh waktu satu sampai dua minggu lagi untuk menyelesaikan MBG II sampai tahap finishing. (joe)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar