Selasa, 14 Desember 2010

Perangkat Desa di Lotim Ancam Boikot Program Pemerintah

Selong (Suara NTB) - Perangkat desa se-Lombok Timur (Lotim), Senin (13/12) kemarin kembali menggelar aksi unjuk rasa, setelah beberapa waktu lalu aksi rapat dengar pendapat (RDP) dengan DPRD Lotim telah dilakukan. Mereka mengancam akan memboikot seluruh kegiatan pemerintah yang sedang dan akan dilakukan di setiap desa, menyusul aksi protes mereka yang beberapa kali seakan tidak digubris.

Menurut koordinator lapangan (korlap) sekaligus Ketua Persatuan perangkat Desa Indonesia (PPDI) Lotim, Lalu Hapiz, tuntutan keadilan atas diri mereka sangat wajar, mengingat telah terjadi diskriminasi kebijakan pemerintah atas perlakuan para aparat desa. Satu hal yang menonjol yakni para Sekretaris Desa (Sekdes) yang notabene perangkat desa, justru telah diangkat menjadi PNS, sedang para kepala urusan (Kaur) di pemerintahan desa malah sama sekali tidak diperhatikan.

Tak hanya itu, pemkab Lotim juga membatasi usia dan masa kerja para perangkat desa ini. Sedangkan honor mereka yang bersumber dari tunjangan aparatur pemerintahan desa (TAPD) hanya Rp 300 ribu per bulan. Makin berkembangnya jumlah desa di Lotim dinilai juga akan membuka peluang akan makin kecilnya TAPD yang akan mereka terima.

Para pengunjuk yang berorasi awal di kantor DPRD dan kemudian long march ke kantor Bupati Lotim itu, juga menilai pemkab Lotim tidak memiliki keseriusan dalam mencari solusi atas permasalahan yang dialami para perangkat desa itu. Rekomendasi dari DPRD Lotim yang telah terbit, yang merupakan hasil RDP beberapa waktu lalu, ternyata hingga saat ini pun tidak pernah mau ditindaklanjuti oleh pemkab Lotim.

Kebijakan yang diambil pemkab Lombok Barat (Lobar) maupun pemkab Lombok Tengah (Loteng), baik soal status perangkat desa maupun honor daerah (Honda), menurut mereka, mestinya diambil sebagai referensi oleh pemkab Lotim. Di Lobar, misalnya, perangkat desa diangkat melalui Surat Keputusan (SK) Bupati, yang berarti akan secara otomatis dapat masuk ke dalam database yang dengan sendiri memperoleh nominasi untuk diangkat sebagai CPNS. Atau kebijakan pemkab Loteng yang perangkat desanya diangkat dengan honor Rp 700.000 per bulan.

Para pengunjuk rasa tersebut berencana akan kembali menggelar aksi unjuk rasa dengan jumlah personel lebih besar lagi, jika pemkab kembali menunjukkan sikapnya yang tidak sedikitpun respons atas aksi mereka beberapa waktu lalu dan hari itu. ‘’Yang datang hari ini hanya satu perangkat dari masing-masing desa,’’ kata Risna, seorang orator.

Mereka diberikan seragam Korpri oleh pemkab, layaknya PNS, tetapi faktanya mereka di lapangan jadi bulan-bulanan perintah pemerintah. Mereka lalu memplesetkan Korpri bukan sebagai Korp Pegawai RI , tetapi Korpri sebagai korban perintahNamun di tempat terpisah, Ketua Forum Komunikasi Kepala Desa (FKKD) Lotim, Lalu Sujian, menilai tuntutan para perangkat desa tersebut terkesan terlalu berlebihan, dengan tidak memperhatikan kepentingan yang lebih besar.

‘’Tuntutan untuk memboikot program pemerintah, seperti halnya pemutakhiran data kependudukan yang sedang berjalan dan program lainnya itu mungkin terlalu berlebihan. Sebaiknya masalah perangkat desa tersebut dikembalikan ke masing-masing Kepala Desa saja,’’ demikian Sujian. (038)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar