Masa Kecil Muhammad Katur
Ramah dan senyum, demikianlah yang tampak pada sosok, M. Katur yang kini menjadi calon wakil bupati Lombok Utara. Karena menurut kepala desa Sambik Elen dua priode ini, “tanpa keberanian tentu tidak ada kesuksesan”.
Motto inilah yang selalu di pegang oleh M. Katur . “Kehidupan saya tidak jauh berbeda dengan masyarakat miskin kebanyakan. Dan dalam kehidupan ini banyak liku-liku yang saya alami”, ungkap Katur yang lahir di Desa Langko Kecamatan Janaperia Kabupaten Lombok Tengah pada 16 Juni 1970.
Masa kecilnya dialami penuh tantangan, keinginan untuk melanjutkan pendidikannya kandas di tengah jalan, dikarenakan ketiadaan biaya. “Minat untuk melanjutkan sekolah memang cukup besar. Tapi karena penghasilan orang tua dari memegang cepang (tukang kuli bangunan-red) tidak seberapa, sehingga keinginan untuk melanjutkan sekolah hanya sebuah angan-angan saja”, tuturnya dengan mimik serius.
“Dan yang lebih menyedihkan lagi, setelah tamat SD pada tahun 1983/1984, saya harus mengikuti kedua orang tua pindah ke Bayan, tepatnya di Dusun Lenggorong Desa Sambik Elen, Kecamatan Bayan. Dan pekerjaan pun serabutan, kadang-kadang ikut sebagai peladen dan kadangkala juga sebagai buruh tani”, tambahnya.
Menginjak usia remaja, atau tepatnya tahun 1990, M. Katur harus merantau ke negeri jiran menjadi tenaga kerja (TKI) ke Malaysia dan bekerja di perkebunan dan sewaktu-waktu di bangunan. Dan pada tahun 1992, ia kembali pulang ke Lombok dan kembali bekerja sebagai buruh tani di Lenggorong.
Kurang lebih satu tahun di rumah, Katur-pun menemukan jodohnya seorang gadis yang selalu setia mendampinginya yaitu Mustiaman dan nikah pada tahun 1993 di Desa Langko Kecamatan Janaperia Kabupaten Lombok Tengah.
Setelah dikaruniai seorang putri, M. Katur pun harus kembali mengadu nasip di negeri jiran dengan tujuan ingin mengubah atau meningkatkan perekonomian keluarga. Dan pada tahun 1994, dia kembali ke Malaysia Barat dan bekerja selama empat tahun dengan hasil yang pas-pasan. Pada tahun 1998 ia kembali ke Lombok dan bekerja di Sekotong sebagai nelayan sampai tahun 2000.
Kendati demikian giatnya bekerja, namun belum mampu menghasilkan sesuatu yang diharapkan, yaitu meningkatkan kesejahteraan keluarganya. Dan pada tahun 2000 itu pula, Katur pun berangkat ke Bali dan bekerja sebagai buruh bangunan dan menjual bakso dorong. Dan ketika dirinya mendapat sedikit rizki sekitar Rp. 3 juta, beliupun kembali ke Bayan untuk melanjutkan cita-citanya sebagai buruh tani atau sebagai penyakap dengan menanam kacang dan jagung. “Saya sebagai petani, tapi tidak memiliki lahan pertanian seperti orang lain”, katanya sambil tertawa.
Sekedar info kalau pengen tau lebih banyak tetang Lombok, www.inside-lombok.com
BalasHapusSekedar info juga kalo mau tau tenttang Lombok bisa di http://kdrtgangga.blogspot.com
BalasHapusYah bagus2 thanks infonya http://smansatugangga.blogspot.com
BalasHapus