Selasa, 17 September 2013

Pemanfaatan HHBK Belum Berjalan Optimal di KLU

Lombok Utara - Seiring keluarnya Peraturan Bupati (Perbup) yang mengatur keberadaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), organisasi nirlaba WWF Nusa Tenggara Barat (NTB) menilai pemanfaatan HHBK selama ini di KLU tidak berjalan optimal. Dari sekian banyak komoditas yang dapat dikembangkan, masyarakat justru masih menyasar kayu hutan sebagai komoditas bernilai ekonomis.

Officer Program Kehutanan WWF, Safrudin Safi’i, usai sosialisasi Perbup HHBK di Dinas Pertanian (DPPKKP) KLU Selasa (17/9), tak menampik masih adanya upaya pemanfaatan hutan kayu. Padahal jika dipaksakan, justru sangat membahayakan bagi kelangsungan sumber daya air di wilayah Lombok Utara.

“Kajian kami di WWF tahun 2004 lalu, ada 125.000 hektar Kawasan Rinjani, 95 persennya mengandung nilai jasa non kayu, yang 5 persennya bernilai kayu. Kalau ngotot dapat (dari kayu), maka ancaman ada di sumber daya air yang terpusat di Rinjani,” tutur Safrudin.

Safrudin tak menampik aktivitas penebangan kayu apapun oleh mayarakat Lombok Utara harus dikendalikan. Terlebih jika melihat penebangan kayu kebun yang marak dan diperdagangkan sebagai bahan bakar tembakau omprongan. Karena selain kayu, masih ada alternatif bahan bakar lain yang digunakan.
 
Salah satu alternatif yang ia sebut, adalah budidaya komoditas tanaman perkebunan kemiri. Di Lombok Utara, terdapat 4 Desa yang menjadi fokus binaan WWF dalam budidaya, yaitu Desa Santong, Mumbul Sari, Salut dan Tangga (Desa Selengen). Di keempat sentra itu, menghasilkan produksi bersih (bukan gelondongan) sebanyak 180 ton per tahun. Artinya jika dirupiahkan setara dengan nilai ekonomis sebesar Rp 1,5 miliar rupiah.

“Komoditas ini yang belum dilirik untuk dikembangkan oleh SKPD. Kemiri dari cangkang saja masih bisa diolah dijadikan bahan bakar omprongan, isinya dijual. Sidomuncul bahkan sampai meminta isi Kemiri ratusan ton setahun,” ungkapnya.

WWF NTB lanjut dia, dalam bimbingan di masyarakat 4 sentra itu sudah membuat bussiness plan, yang nantinya akan dijadikan sebagai modal awal pengembangan usaha masyarakat. Setidaknya kalkulasi budidaya Kemiri yang belum banyak dilakukan masyarakat, menghasilkan ekonomi yang tinggi. Untuk menghasilkan 1 kg biji bersih kemiri, memerlukan 3 kg gelondongan. Ampas atau cangkang dari 3 kg kemiri itu pun, harusnya dapat diarahkan untuk menutup defisit kebutuhan kayu omprongan.

“Masyararakat di KLU ini memiliki Hutan Kemasyarakatan (HKm) sebagai daerah pengembangan seluas 178 hektar, tetapi potensi sebenarnya lebih dari itu. Tinggal sekarang, bagaimana SKPD terkait menggenjot izin HKm sehingga masyarakat dapat mengelola kawasan itu,” tandasnya. (ari) www.suarakomunitas.net

Tidak ada komentar:

Posting Komentar