Minggu, 11 Agustus 2013

Seremoni Lebaran Adat di Bayan

Seperti halnya lebaran syariat secara nasional (Idul Fitri dan Idul Adha), tradisi lebaran adat yang hingga kini masih dijalani dan diyakini masyarakat tradisional Bayan, lombok utara juga memiliki esensi atau nilai yang sama dengan lebaran yang lajim dilaksanakn oleh umat Islam kebanyakan di negeri ini, hanya saja digelar tiga hari setelah perayaan lebaran syariat.

Perayaan lebaran adat “Idul Fitri” yang ditandai dengan sholat id dimasjid kuno Bayan kembali digelar hari Ahad (11/8), tepatnya tiga hari setelah hari raya idul fitri 1434 hijriyah, sebagaimana yang digelar oleh kebanyakan umat Islam di dinegeri ini.

Seperti biasa, prsosesi perayaan labaaran adat bayan diikuti sejumlah rangkaian upacara adat yang dimulai sehari sebelum digelarnya sholat ied di masjid kuno bayan, seperti membayar zakat, kayu aik, ziarah kemakam leluhur, dan berbagai macam rangkaian acara lainnya yang kesemuanya dipusatkan di dalam kampu (perkampungan yang disakralkan, terdiri dari sejumlah bangunan khusus yang dibatasi pagar bambu-red).

Tepat pukul 10.00 pagi, para jama'ah adat berbondong-bondong mendatangi masjid kuno Bayan yang terletak di atas sebuah bukit untuk mengumandangkan gema takbir, tahlil dan tahmid. Dan sekitar jam 11.30 wita, sholat Idul Fitri mulai dilaksanakan yang diimami oleh salah seorang penghulu dari komunitas adat.

Seusai sholat acara dilanjutkan dengan pembacaan khutbah yang menggunakan bahasa Arab.  Konon khutbah hari raya yang dibaca setiap tahun itu disusun ratusan tahun lalu oleh seorang tokoh Bayan, al-marhum Raden Putrawali alias Raden Kinarian. "Khubah yang dibaca sudah disusun sekitar 170 tahun lalu", kata R. Jambianom, tokoh muda adat Bayan.

Acara lebaran adat ini diakhiri dengan salam-salaman antara para tokoh dan jama'ah yang hadir, serta makan bersama yang dihidangkan oleh masyarakat adat yang dibawa dengan menggunakan ancak saji (terbuat dari bambu).

Perayaan lebaran adat Bayan tidak dirayakan secara besar-besaran, seperti halnya dengan perayaan maulid adat, yang memiliki rangkaian acara cukup banyak dan meriah. Dimana lebaran adat hanya cukup dirayakan di Masjid kuno Bayan Beleq, yang diikuti oleh seluruh kiyai, lebe mudim kiyai santri di komunitas-komunitas adat yang ada di kecamatan bayan, serta beberapa rangkaian ritual yang dipusatkan dikampu (rumah adat).

Masyarakat “Watu Telu” Bayan, meyakini bahwa semua perayaan hari besar agama, seperti maulid adat dan lebaran adat memiliki esensi yang sama dengan perayaan lebaran syariat yang dilakukan umat islam lainnya, meski sedikit berbeda mengenai waktu dan cara pelaksanaannya.

Salah satu Kiyai Lebe, yang memimpin sholat ied, Riadim, yang diwawancara pewarta Rumah Alir mengatakan, pelaksanaan lebaran adat atau sholat ied secara adat yang dilaksanakan masyarakat bayan sama dengan perayaan sholat ied yang dilaksanakan umat islam, tidak ada bedanya.

“Lebaran adat bayan memiliki esensi yang sama dengan perayaan lebaran syariat yang diyakini kaum muslimin kebanyakan, dan sipatnya lebih pada mengiringi lebaran secara syariat, artinya adat mengiringi agama, jadi dengan begitu maka tercipta harmonisasi antara agama dan adat,” jelasnya.

Dikatakannya, perayaan lebaran adat ini merupakan tradisi leluhur kami sejak dulu, tentunya semua ini bukan dilaksanakan tanpa alasan, seperti mengapa dilaksanakan 3 hari setelah lebaran syariat, yang menurut leluhur kami disesuaikan dengan perhitungan tahun saka.

Begitupun jika dilihat dari aspek lainnya dari gelaran lebaran adat ini, jika dalam lebaran syariat setiap kita dianjurkan untuk saling memaafkan, maka begitu juga dengan yang ada dalam lebaran adat dibayan, dimana setelah melaksanakan sholat ied secara adat, para kiyai itu kemudian menggelar prosesi upacara “Rebak Jungkat”, atau dalam bahasa Indonesia nya “menjatuhkan tombak”, sebagai symbol esensial dari peringatan hari raya Idul adha, dimana saat itulah manusia saling membuka pintu maaf dengan menghilangkan segala benci dan memafkan kesalahan orang lain yang mungkin pernah diperbuatnya kepada kita, dan begitu pun sebaliknya.

Jungkat atau tombak, dalam arti harfiahnya adalah senjata yang melambangkan kekerasan dan bersifat maskulin, sedangkan rebak atau jatuh melambangkan hilangnya rasa atau keinginan untuk membuang rasa benci atau kemarahan kepada orang lain. Jadi jika digabungkan maka “rebah jungkat” mengandung makna spiritual upaya manusia untuk menghilangkan rasa kesombongan, kemarahan atau kebencian kepada orang lain.

Biasaanya prosesi rebah jungkat akan dilakukan oleh para kiyai dan masyarakat sesaat setelah mereka meninggalkan ruangan atau halaman masjid kuno dan kembali ke rumah mereka masing-masing.

Lebaran adat Bayan, Lombok Utara merupakan salah satu khazah tradisi unik di Nusantara yang masih dipertahankan masyarakat lokal setempat, dengan segala totalitas dan keyakinannya bahwa setiap tradisi yang dijalaninya adalah implementasi dari keyakinannya terhadap apa yang di warisi oleh leluhur mereka sebagai bagian dari konsep menjalankan agama Islam sejak ratusan tahun lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar