LOMBOK – Judul di atas merupakan plesetan dari semboyan sebuah radio nasional yang sangat populer di kalangan pengelola rakom (radio komunitas) anggota JRK (Jaringan Radio Komunitas) NTB. Motto ini menjadi potret kondisi sebagian rakom di NTB sekaligus pelecut semangat mereka untuk terus berjuang keras agar tetap eksis dan mengudara.
“Kami malu kalau dibilang masuk dalam katagori rakom yang sekali di udara setahun di darat. Kami terus berusaha untuk sekali di udara, tetap di udara..,” kata Drs Rasidi, ketua JRK NTB.
Radio komunitas mulai berkembang di NTB pada tahun 2001 yang diawali oleh berdirinya sebuah radio di Kabupaten Lombok Barat. Meski berdiri secara illegal, radio ini dianggap memiliki peran yang baik dalam menyuarakan aspirasi komunitas setempat. Perkembangan rakom di NTB mencapai puncaknya pada tahun 2005 – 2006 dan mulai mengalami penurunan pada tahun 2007.
“Saat itu pengelola rakom mulai gelisah karena sulitnya mendapatkan ijin, sementara balmon (balai monitoring) aktif merazia. Akibatnya, radio yang muncul bagai jamur di musim hujan menjadi musnah akibat panas di musim kemarau” ujar Rasidi.
Rasidi menjelaskan bahwa sampai saat ini di NTB terdapat lebih dari 55 radio komunintas dan 40 diantaranya merupakan anggota JRK NTB. Rakom tersebut umumnya tersebar di kabupaten Lombok dengan rata-rata 4 – 6 radio di masing-masing kabupaten. “Hanya di Pulau Sumbawa yang jumlah radio komunitasnya masih minim, “ katanya.
Sementara dari keseluruhan radio komunitas anggota JRK NTB, yang masih aktif bersiaran hanya 24 radio. Sebagian besar rakom berhenti siaran karena faktor teknis, seperti peralatan rusak akibat listrik yang sering padam atau disambar petir. Kendala teknis ini menjadi tantangan terbesar bagi radio komunitas di NTB. Salah satu karakter atau kekhasan dari rakom NTB adalah bahasa yang digunakan dalam bersiaran yang umumnya menggunakan bahasa Sasak dan musik atau lagu-lagu yang diputar di radio sebagian besar merupakan musik Sasak.
Jika dilihat dari inisiatif pendiriannya, sebagian besar rakom di NTB diinisiasi oleh para hobiis atau orang yang memang hobi atau senang bersiaran di radio. Tak banyak radio yang pendiriannya diinisiasi oleh komunitas. Ada juga radio yang didirikan karena adanya proyek pemerintah atau donor tertentu, atau didirikan hanya untuk coba-coba atau ikut-ikutan saja. Misal, radio yang didirikan hanya karena desa tetangga mendirikan dan mengelola radio.
“Radio yang dikelola hobiis umumnya lebih banyak bertahan karena didanai dan diupayakan untuk terus hidup oleh pendirinya yang memang hobi dan mencintai radio “ jelas Rasidi.
Rasidi menambahkan, keberlanjutan Rakom NTB dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama, keaktifan dari komunitasnya itu sendiri yang merasa memiliki rakom dan berusaha agar rakom tetap hidup. Sumber pendanaan rakom ini sebagian besar berasal dari komunitas, meski bentuk dukungan tidak dalam bentuk uang tunai dan pemberiannya tidak rutin.
Kedua, keaktifan dari pengurus rakom yang selalu berusaha untuk memperluas jaringan dan menggalang dukungan dan pendanaan bagi keberlajutan rakomnya. Sumber pendanaan utama rakom ini berasal dari pengurus rakom, baik dari kantongnya sendiri maupun dari keaktifan mereka dalam mencari sumber pendanaan. Mereka juga getol mencari peluang dan dukungan dengan menawarkan ILM atau talkshow, kerja sama dengan pemerintah, LSM maupun perusahaan swasta, manawarkan talkshow, bekerja sama dengan perusahaan, dan sebagainya.
Rakom yang masih eksis umumnya dikelola oleh pengurus yang aktif berjejaring dengan banyak pihak sehingga dia tahu peluang-peluang yang ada dan memanfaatkannya. Missal, mereka aktif berhubungan dengan pemda setempat, aktif di berbagai forum, melakukan liputan, dll.
“Kalau pengurusnya tidak aktif dan ogah-ogahan, meski komunitasnya menuntut tetap bersiaran, radio tak akan terus eksis..”
Rasidi menjelaskan bahwa sebagian besar rakom di NTB bertahan dan berkelanjutan dengan strategi fundraising On Air atau kegiatan fundraising yang dikaitkan dengan kegiatan siaran. Misal, membuat dan menayangkan ILM, menayangkan talkshow, siaran langsung, atau menawarkan waktu jadwal siaran untuk program tertentu, seperti sandiwara radio, dll. Strategi ini banyak dipilih karena relevan dengan kapasitas yang dimiliki oleh pengelola radio dan tidak membutuhkan SDM yang besar.
“Belum banyak yang mencari dana untuk operasional siaran melalui Off air, seperti membuat event atau mengelola usaha yang memang membutuhkan SDM yang banyak dan kapasitas khusus,” jelasnya.
Sementara kendala yang dihadapi dalam melakukan fundraising adalah kemampuan meyakinkan donator atau mitra, baik pada saat ketemu ataupun setelah mendapatkan dana. Pada saat menjajaki dukungan atau kerja sama mereka sudah kesulitan untuk meyakinkan calon mitra atau donatur bahwa mereka bisa menyiarkan iklan atau programnya sesuai dengan jumlah atau frekuensi yang dijanjikan. Hal ini disebabkan Karena radionya sering tidak bisa beroperasi karena perangkat rusak, tersambar petir atau mati lampu. Sementara tantangan yang dihadapi pasca kerja sama adalah menyampaikan laporan atau pertanggungjawaban program atau keuangan. Selain itu, Mereka tidak bisa memelihara hubungan dan melaporkan manfaat atau dampak dari program.
“fakta di lapangan menunjukkan bahwa program itu bermanfaat besar bagi masyarakat, tapi mereka sendiri tidak bisa menyajikan laporannya atau menyampaikan manfaat yang didapat dari program,” jelas Rasidi. Selain itu, sulitnya mendapatkan ijin siaran juga berpengaruh terhadap kegiatan siaran dan fundraising. “Mereka takut dan ragu-ragu untuk bekerja sama dalam jangka panjang khawatir di tengah jalan radionya ditutup. Gimana dengan kelanjutan kerja samanya kalau rakomnya ditutup atau dirazia”. (Hamid Abidin/ Sekolah Fundraising PIRAC)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar