Kesimpulan Otopsi Diduga untuk Menjaga Hubungan Diplomatik
Perwakilan keluarga TKI asal Lombok Timur (Lotim) yang tewas tertembak di Negeri Sembilan, Malaysia, 22 Maret 2012, berangkat ke Jakarta, menemui Komisi Nasional Hak Azasi Manusia. ‘’ Perwakilan dari ketiga TKI tewas tertembak itu ke Jakarta untuk menemui Komnas HAM, dan kami akan mendampinginya,’’ kata Koordinator LSM Koslata NTB Muhammad Saleh, di Mataram, Senin (30/4) kemarin.
Saat Saleh mengemukakan hal itu, tiga orang perwakilan keluarga Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tewas tertembak di Malaysia itu, sudah berada di Kantor Koslata, di Mataram, dan telah siap berangkat ke Jakarta.
Ketiga perwakilan keluarga TKI itu masing-masing H Ma'sum, Nurmawi dan Tohri, yang merupakan ayah dan kakak dari ketiga TKI asal Lotim yang tewas ditembak polisi Malaysia itu.
Ketiga TKI korban tewas tertembak itu yakni Mad Noor (28), warga Desa Pengadangan, Kecamatan Pringgasela, dan Herman (34) serta Abdul Kadir Jaelani (25). Herman dan Jaelani merupakan paman dan keponakan, warga Dusun Pancor Kopong Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lotim.
Hasil Otopsi Janggal
Setelah resmi dibentuk, tim Advokasi Keadilan untuk TKI (AkuT) mulai mengidentifikasi indikasi adanya kejanggalan dalam hasil otopsi tiga jenazah TKI asal Lotim yang diumumkan Mabes Polri beberapa waktu lalu. Kejanggalan itu berupa fakta lapangan dan keberatan keluarga korban atas hasil otopsi. Sehingga dituding, klaim bahwa hasil otopsi itu diumumkan hanya untuk menjaga hubungan diplomatik antara Pemerintah RI dengan Malaysia.
Dalam keterangan persnya di Kantor Koslata, Senin (30/4) kemarin, tim AkuT menilai, berdasarkan proses autopsi ulang sangat minim informasi diberikan kepada pihak keluarga. “Ini terkait kelengkapan dan orisinalitas organ tubuh masing – masing korban yang diragukan pihak keluarga,” kata ketua tim AkuT, DR. Widodo Dwi Putro, SH.
Widodo kemudian merinci fakta berdasarkan keterangan keluarga korban. H.Ma’sum, ayah dari Herman misalnya, menyebut bagian otak ada benda yang dibungkus plastik warna hijau. Namun oleh tim otopsi disebut sebagai otak. Demikian juga soal mata korban, Ma’sum mengaku tidak melihat ada dua bola mata. Pada bagian tubuh, selain selain terdapat luka tembak, juga jahitan yang sangat mengerikan di sekujur tubuh korban. “Di dalam perut, Ma’sum melihat ada organ menumpuk tidak teratur. Tapi tim otopsi tidak memberikan penjelasan akurat soal bagian – bagian tubuh itu,” kata Widodo.
Keterangan lainnya dari Amaq Rupeni, ayah dari korban Abdul Kadir Jaelani yang menerangkan sama soal kesaksiannya dalam proses otopsi. Amaq Rupeni dan kakak kandung korban, M. Tohri melihat plastik yang diklaim sebagai otak oleh tim otopsi, bola mata yang hilang dan organ yang tidak jelas menumpuk pada perut. “Artinya mereka tidak melihat ada organ tubuh yang lazimnya dimiliki oleh manusia, seperti otak, mata, hati, jantung dan ginjal,” terang Widodo.
Hal serupa juga dilihat saksi Nurmawi, kakak kandung dari korban Mad Noor. Namun Nurmawi memang tidak rampung melihat proses bedah mayat, karena tidak kuat melihat jasad adiknya dikoyak. Namun kesaksian keluarga Nurmawi lainnya, menguatkan hal sama.
Atas kesaksian itu, pihaknya menyatakan kepolisian yang melakukan otopsi melibatkan tim forensik kepolisian, Fakultas Kedokteran Unram dan dokter RSUP NTB tidak menjawab apa yang menjadi tuntutan keluarga, yakni terkait hilangnya organ tubuh para korban.
“Intinya, proses otopsi ulang ini tanpa memberikan peluang sebesar – besarnya kepada keluarga korban untuk mendapat informasi terkait kelengkapan organ tubuh korban,” tegas Widodo. “Kami mendapat kesan, hasil otopsi hanya untuk menjawab kebutuhan keharmonisan hubungan diplomatik Indonesia – Malaysia, namun justru mengabaikan kebenaran dan hak asasi bagi korban dan keluarganya,” tudingnya.
Atas dasar itu, pihaknya mengeluarkan pernyataan sikap, mengkritik pengumuman hasil otopsi oleh Menlu RI, Marty Natalegawa yang terburu – buru mengumumkan dan tidak memperhatikan posisi keluarga korban yang mengajukan autopsi. Atas nama keluarga korban, pihaknya meminta hasil autopsi oleh tim untuk diserahkan kepada keluarga korban.
Pada kesempatan itu, Muhammad Saleh menunjukkan surat kuasa yang diberikan keluarga korban kepada pihaknya untuk proses advokasi selanjutnya. “Dan yang lebih penting, pak H. Ma’sum, M. Tohri dan Nurmawi sudah membuat secara tertulis tentang keberatan hasil autopsy,” tegasnya. Sumber: Suara NTB
Saat Saleh mengemukakan hal itu, tiga orang perwakilan keluarga Tenaga Kerja Indonesia (TKI) tewas tertembak di Malaysia itu, sudah berada di Kantor Koslata, di Mataram, dan telah siap berangkat ke Jakarta.
Ketiga perwakilan keluarga TKI itu masing-masing H Ma'sum, Nurmawi dan Tohri, yang merupakan ayah dan kakak dari ketiga TKI asal Lotim yang tewas ditembak polisi Malaysia itu.
Ketiga TKI korban tewas tertembak itu yakni Mad Noor (28), warga Desa Pengadangan, Kecamatan Pringgasela, dan Herman (34) serta Abdul Kadir Jaelani (25). Herman dan Jaelani merupakan paman dan keponakan, warga Dusun Pancor Kopong Desa Pringgasela Selatan, Kecamatan Pringgasela, Kabupaten Lotim.
Hasil Otopsi Janggal
Setelah resmi dibentuk, tim Advokasi Keadilan untuk TKI (AkuT) mulai mengidentifikasi indikasi adanya kejanggalan dalam hasil otopsi tiga jenazah TKI asal Lotim yang diumumkan Mabes Polri beberapa waktu lalu. Kejanggalan itu berupa fakta lapangan dan keberatan keluarga korban atas hasil otopsi. Sehingga dituding, klaim bahwa hasil otopsi itu diumumkan hanya untuk menjaga hubungan diplomatik antara Pemerintah RI dengan Malaysia.
Dalam keterangan persnya di Kantor Koslata, Senin (30/4) kemarin, tim AkuT menilai, berdasarkan proses autopsi ulang sangat minim informasi diberikan kepada pihak keluarga. “Ini terkait kelengkapan dan orisinalitas organ tubuh masing – masing korban yang diragukan pihak keluarga,” kata ketua tim AkuT, DR. Widodo Dwi Putro, SH.
Widodo kemudian merinci fakta berdasarkan keterangan keluarga korban. H.Ma’sum, ayah dari Herman misalnya, menyebut bagian otak ada benda yang dibungkus plastik warna hijau. Namun oleh tim otopsi disebut sebagai otak. Demikian juga soal mata korban, Ma’sum mengaku tidak melihat ada dua bola mata. Pada bagian tubuh, selain selain terdapat luka tembak, juga jahitan yang sangat mengerikan di sekujur tubuh korban. “Di dalam perut, Ma’sum melihat ada organ menumpuk tidak teratur. Tapi tim otopsi tidak memberikan penjelasan akurat soal bagian – bagian tubuh itu,” kata Widodo.
Keterangan lainnya dari Amaq Rupeni, ayah dari korban Abdul Kadir Jaelani yang menerangkan sama soal kesaksiannya dalam proses otopsi. Amaq Rupeni dan kakak kandung korban, M. Tohri melihat plastik yang diklaim sebagai otak oleh tim otopsi, bola mata yang hilang dan organ yang tidak jelas menumpuk pada perut. “Artinya mereka tidak melihat ada organ tubuh yang lazimnya dimiliki oleh manusia, seperti otak, mata, hati, jantung dan ginjal,” terang Widodo.
Hal serupa juga dilihat saksi Nurmawi, kakak kandung dari korban Mad Noor. Namun Nurmawi memang tidak rampung melihat proses bedah mayat, karena tidak kuat melihat jasad adiknya dikoyak. Namun kesaksian keluarga Nurmawi lainnya, menguatkan hal sama.
Atas kesaksian itu, pihaknya menyatakan kepolisian yang melakukan otopsi melibatkan tim forensik kepolisian, Fakultas Kedokteran Unram dan dokter RSUP NTB tidak menjawab apa yang menjadi tuntutan keluarga, yakni terkait hilangnya organ tubuh para korban.
“Intinya, proses otopsi ulang ini tanpa memberikan peluang sebesar – besarnya kepada keluarga korban untuk mendapat informasi terkait kelengkapan organ tubuh korban,” tegas Widodo. “Kami mendapat kesan, hasil otopsi hanya untuk menjawab kebutuhan keharmonisan hubungan diplomatik Indonesia – Malaysia, namun justru mengabaikan kebenaran dan hak asasi bagi korban dan keluarganya,” tudingnya.
Atas dasar itu, pihaknya mengeluarkan pernyataan sikap, mengkritik pengumuman hasil otopsi oleh Menlu RI, Marty Natalegawa yang terburu – buru mengumumkan dan tidak memperhatikan posisi keluarga korban yang mengajukan autopsi. Atas nama keluarga korban, pihaknya meminta hasil autopsi oleh tim untuk diserahkan kepada keluarga korban.
Pada kesempatan itu, Muhammad Saleh menunjukkan surat kuasa yang diberikan keluarga korban kepada pihaknya untuk proses advokasi selanjutnya. “Dan yang lebih penting, pak H. Ma’sum, M. Tohri dan Nurmawi sudah membuat secara tertulis tentang keberatan hasil autopsy,” tegasnya. Sumber: Suara NTB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar