Senin, 19 September 2011

Mata Air Hilang Bisa Menjadi Ancaman Konflik

Pertumbuhan pesat penduduk, perubahana pola hidup dan eksploitasi alam, dinilai menjadi penyebab hilangnya banyak titik mata air. Tapi pola eksploitasi air tanpa solusi yang pas oleh pemerintah, dituding semakin memperparah keadaan. 
Dusun Apit Aik Desa Batu Layar Barat, Kecamatan Batu Layar, Lombok Barat (Lobar)  saat ini tengah berada pada situasi itu. Hidup di atas perbukitan, dengan kondisi jalan rusak parah, bukan satu – satunya masalah bagi warga disana.  Paling menjadi beban adalah kebutuhan akan air. Mendapatkan air, harus melalui tantangan berat, menuruni perbukitan dan tebing terjal.

Pemandangan miris itu disaksikan Suara NTB Minggu (18/9) siang kemarin. Dibutuhkan waktu 30 menit untuk sampai ke titik mata air. Waktu yang cukup lama untuk jarak satu kilometer karena harus melalui bibir jurang perbukitan dan jalan berbatu.  Tidak terhitung sudah berapa kali tragedi warga yang jatuh ke jurang dan mengalami luka berat.

Sampai di sumber air, bukan seperti yang dibayangkan berupa rembesan air melimpah. Tapi hanya berupa aliran kecil yang melalui celah batu. Warga menyiasatinya dengan membuat bak penampungan ukuran 2 x 2 meter.  Warga menyebutnya pancoran, satu – satunya sumber air yang mengalir di antara batu cadas sungai yang kering.

Air yang tertampung, “dikeroyok” warga dan habis.   Butuh waktu beberapa jam  untuk menampung rembesan air dan membuat bak terisi lagi.

“Kalau mau dapat air banyak, harus turun ke pancoran sebelum subuh,” kata Masniati, yang siang itu beruntung bisa memperoleh satu ember, juga dua teman sebayanya Kurniati dan Marniati.  Tidak hanya warga Api Taik, sumber air yang sama juga menjadi ketergantungan warga Dusun Panangga. Ada warga dua dusun dari  dua desa yang bergantung dari sumber air itu dan mereka sedikit beruntung karena mata airnya belum ada tanda – tanda akan kering.

“Mudah – mudahan tidak kering. Kalau kering, kami mau cari kemana lagi air?,” ujar Sapirin khawatir. Ketua RT 02 ini bukannya tidak pernah berusaha untuk mengatasi masalah lawas  di kampung itu. Bersama kepala dusun dan kepala desa, menyampaikan usulan kepada Pemkab Lombok Barat melalui Camat  Batulayar  untuk mengatasi persoalan air itu.  Bahkan sempat mengumpulkan tanda – tandangan dan KTP sebagai wujud harapan besar agar masalah air berpuluh – puluh tahun itu segera terisi. Tapi begitulah, keluhan mengalir begitu saja tanpa ada kepastian.

Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) NTB menyebut, kondisi yang dialami warga Batu Layar itu adalah cerminan kecil dari ribuan ancaman  akan kebutuhan air. Masyarakat memang saat ini masih sebatas berharap dan menuntut dari pemerintah. “Tapi dalam lima tahun mendatang, air akan menjadi pemicu konflik vertikal dan horizontal. Ini sebenarnya mengerikan, tapi melihat keadaan sekarang, ancaman itu kami khawatirkan terjadi,” ujar Direktur Walhi NTB, Ali Al-Khairi kepada Suara NTB. Ali menyebutnya sebagai ancaman “Water War”.

Ancaman konflik horizontal sudah lama terjadi, ketika petani adu fisik gara – gara memperebutkan sumber air irigasi. Sedangkan ancaman konflik vertikal pun sudah terjadi di beberapa daerah, ketika masyarakat menolak keras eksploitasi sumber air oleh pemerintah untuk kepentingan komersialisasi.

Dalam kurun waktu 20 tahun, pihaknya mencatat ada 70 persen penyusutan mata air. Datanya, sekitar 20 tahun lalu, ada 720 titik mata air di NTB, bersumber dari kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi.  Tapi sampai dengan 2007, mata air kita yang tersedia hanya 180 titik. “Dan ini, akan terus mengalami penyusutan,” ujarnya memastikan. Lombok adalah daerah krisisi air paling parah, akibat penyusutan kawasan hutan Rinjani mencapai angka 2/3, dari sebelumnya luas kawasan hutan 125.000, drastis turun menjadi 50.000 kawasan.

Ada banyak kebijakan pemerintah yang ditudingnya menjadi penyebab krisis air. Mulai dari kebijakan pemerintah pusat yang menjadkan NTB sebagai kawasan pertambangan, pengembangan bisnis melalui Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), diperparah tidak adanya inovasi dari pemerintah, sehingga tidak harus berebut dengan masyarakat.

Koordinator Divisi Advokasi Walhi, Hidayat Surya  juga mencatat, satu kebijakan kontroversial pemerintah adalah konversi  dengan batu bara. Petani dan masyarakat yang enggan menggunakan batu bara, terpaksa menjarah hutan sebagai bahan bakar. Tahun pertama kebijakan itu, ada 60.000 truk kayu yang diangkut dari hutan, sama dengan 480.000 meter kubik hilang dari hutan.

Hidayat sangat berharap pemerintah bisa melek dengan kondisi ini. Setidaknya sudah harus ada langkah konkrit. “Minimal ada pertemuan dengan beberapa stakeholder  lain, seperti Dinas Kehutanan, BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam), BLH (Badan Lingkungan Hidup), termasuk pegiat bidang lingkungan lainnya. Duduk bersama merumuskan, solusi apa yang setidaknya bisa mengurangi ancaman krisis air ini. Sekaligus bagaimana mencegah konflik antara masyarkat dengan masyarakat, dan antara masyarakat dengan pemerintah,” harapnya.

Memprihatinkan

Ratusan sumber mata air di Lombok Timur, juga  menghilang, baik yang ada dalam kawasan hutan maupun luar kawasan. Sehingga ini sungguh sangat memprihatinkan sekali.

Sementara berdasarkan data yang dimiliki Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Lombok Timur tercatat sebanyak 151 sumber mata air yang ada di  Lombok Timur, sedangkan yang hilang mencapai 40 persen.

Kepala Bidang Pengairan Dinas Pekerjaan Umum Lombok Timur, H.Abdul Hakim, di Selong,  menyebutkan, dari  jumlah 151 sumber mata air yang ada di seluruh kecamatan di Lombok Timur tercatat 40 persen diantara menghilang, dengan tidak mengeluarkan air lagi.

Hilangnya sumber mata air tersebut disebabkan  karena semakin maraknya penebangan kayu di hutan yang memiliki sumber mata air didalamnya, sehingga ini menjadi permasalahan yang tentunya harus dicarikan solusi terbaik.

" Kami sangat prihatin sekali dengan semakin berkurangnya sumber mata air di Kabupaten Lombok Timur, sedangkan untuk mengembalikannya tentunya membutuhkan waktu  yang lama panjang," tegas Kepala Bidang Pengairan Dinas PU Lombok Timur, H.Abdul Hakim.

Ia menegaskan debit air yang ada di sumber mata air yang masih tersisa jumlahnya terus berkurang, sehingga untuk mengembalikannya tentunya harus bersama-sama menjaga kelestarian hutan dengan tidak melakukan penebangan pohon sembarangan.

Sumber mata air yang banyak hilang tersebut terdapat di kecamatan Terara dan Montong Gading, terutama wilayah yang memiliki kawasan hutan tersebut.

Gencarkan Penanaman

Kepala Dinas Ketuhanan NTB, Hj. Hartina menyampaikan kondisi kekeringan yang melanda sebagian besar daerah di NTB tidak berpengaruh terhadap keberadaan mata air. Pun kebakaran sejumlah areal hutan, tidak berdampak signifikan terhadap mata air. Karena kekeringan dan kebakaran itu, terjadi pada sebagian daerah yang nota bene mempunyai kawasan hutan ilalang bukan di kawasan hutan lebat.

Untuk menjaga keberadaan mata air, pada kondisi kekeringan seperti saat ini yang melanda daerah NTB pihaknya sendiri dalam jangka pendek berupaya melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyaraka sekitar hutan agar tidak sembarangan membuang api atau puntung rokok di hutan. Jangka panjang, pihaknya akan melakukan penanamn terhadap lahan kritis yang mencapai 440 ribu hektar.

“untuk jangka pendek kita akan terus melakukan penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat, selain itu jangka panjangnya kita terus melakukan penanaman lahan kritis,”ungkapnya.

Dikatakan, melihat kondisi musim yang masih kemarau, pihaknya hanya bisa melakukan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat. Mendekati musim hujan yang diperkirakan mulai masuk bulan Oktober, pihaknya akan mulai menebar dan membagikan bibit kepada masyarakat.

Upaya reboisasi dan penghijauan itu pun bisa terlihat sepanjang dua tahun terkahir, secara komulatif terjadi penurunan jumlah lahan kritis mencapai 60 ribu hektar. Penurunan lahan kritisi ini menurutnya, akan menambah jumlah mata air. Karena jika terjadi penutupan lahan, maka dapat megurangi pengaliran air permukaan dan memperbanyak penyerapan volume air tanah. “Karena semakin rimbun, maka makin banyak air yang diserap,” ujarnya. (ars/her/ant/Bali Post)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar