Tradisi perang topat atau perang ketupat yang berlangsung setiap tahun di Desa Lingsar, Narmada, Lombok Barat (Lobar) merupakan tradisi yang merefleksikan kerukunan umat beragama. Warga yang terlibat dalam perang topat tersebut berasal dari dua agama yaitu umat Islam dan Hindu yang bermukim di sekitar pura Lingsar, Lobar.
SIMBOL kerukunan umat beragama terdapat di dalam kawasan Pura Lingsar yaitu pura Gaduh dan kemalik (mata air) yang merupakan tempat sakral bagi agama Hindu dan Islam. Diperkirakan kemalik telah ada sejak tahun 1661 dan lebih dulu ada daripada Pura Gaduh yang dibangun sekitar tahun 1740. “Kemalik merupakan tempat upacara sakral orang Sasak. Orang Bali yang kemudian membangun Pura Gaduh tidak dilarang oleh mangku kemaliknya,” terang budayawan Jalaludin Arzaky.
Hal tersebut menurutnya sangat menarik karena mengandung nilai historis yang merefleksikan kerukunan dua agama. “Terbangun kerukunan hidup bersama dalam satu wadah tempat melakukan persembahyangan. Tempat yang dianggap sakral,” imbuhnya. Di bawah kemalik, orang Bali juga biasanya melakukan ritual bekemit atau berkemit sebagai tanda syukur terhadap Tuhan. “Kawan Sasak tidak pernah mengganggu kawan Bali begitu juga sebaliknya,” tambahnya.
Kedua umat tersebut saling menghormati dimana kemalik yang dianggap sakral bagi orang Islam, orang Bali tidak akan membawa daging babi atau apapun yang ada unsur daging babinya. “Dulu kawan-kawan Bali yang mengadakan acara maturan tidak akan membawa peralatan yang kena daging babi. Harus dibersihkan dulu. Waktu saya tinggal disana (Lingsar) sekitar tahun 1963-1964 pernah ada kejadian hujan besar tiba-tiba turun karena ada bagian yang kotor. Itu pertanda tempat itu adalah tempat suci bagi orang Islam,” ceritanya.
Tak hanya orang Islam dan Hindu yang menjadikan kawasan Pura Lingsar tersebut sebagai tempat yang disakralkan, namun Jalaludin Arzaky mengatakan orang Cina yang ada di Lombok juga demikian. Konon orang Cina tersebut mendapatkan kekayaan setelah berdo’a di tempat tersebut. Etnis Cina tersebut kemudian ikut menyumbang untuk renovasi tempat persembahyangan di sekitar kemalik tersebut. “Pada tahun 80-an, di kemalik ditemukan piranti-piranti upacara sakral orang Cina berupa cermin yang bukan bagian dari Bali ataupun Sasak. Cina juga punya hubungan secara spiritual dengan tempat itu,” ungkapnya.
Dijelaskan budayawan Jalaludin Arzaky bahwa sejarah berlangsungnya perang topat bukan hanya milik orang Bali tapi jauh sebelum kedatangan orang Bali, orang Sasak sudah melakukan perang topat setiap kali melakukan upacara syukuran terhadap keberhasilan panen, dan ketika orang yang dicintai kembali ke rumah dengan selamat. “Perang topat bukan semata-mata dilaksanakan dalam rangka upacara Pujawali di Lingsar,” ujarnya.
Pada masyarakat Sasak yang beragama Budha di Lombok Utara, setiap ada syukuran atas keberhasilan panen atau tanamam padi para petani yang terlihat bagus, mereka mengadakan upacara ngaji makam. Mereka juga mengadakan perang topat ketika padi mulai menguning dan berisi yang menandakan tanaman padi akan dipanen dengan hasil yang banyak.
Jauh sebelum Islam, tradisi tersebut juga ada. Konon ketika pangeran Sandubaya dari kerajaan menghilang ke Pulau Sumbawa, setelah kembali dengan selamat, rakyat kerajaan Selaparang mengadakan acara perang topat. “Itu diperingati oleh masyarakat Sasak yang merasa keturunan Selaparang sebagai bagian dari kegembiraan ketika mereka melihat pangeran masih hidup,” jelasnya.
Tradisi perang topat yang telah turun temurun dilakukan masyarakat setempat. Menurut Jalaludin Arzaky bisa menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Sasak yang ada di sekitar Lombok Barat. “Karena itu simbol yang menunjukkan bahwa kita akrab dalam membangun pertemanan dan persaudaraan dengan orang yang berbeda agama dan suku. Jadi peristiwa budaya perang topat merupakan pencerminan betapa bangunan pertemanan dan persaudaraan itu bisa dilakukan oleh orang Sasak dan Bali yang ada di Lombok,” jelas dosen di Akademi Pariwisata Mataram ini. (yan)
SIMBOL kerukunan umat beragama terdapat di dalam kawasan Pura Lingsar yaitu pura Gaduh dan kemalik (mata air) yang merupakan tempat sakral bagi agama Hindu dan Islam. Diperkirakan kemalik telah ada sejak tahun 1661 dan lebih dulu ada daripada Pura Gaduh yang dibangun sekitar tahun 1740. “Kemalik merupakan tempat upacara sakral orang Sasak. Orang Bali yang kemudian membangun Pura Gaduh tidak dilarang oleh mangku kemaliknya,” terang budayawan Jalaludin Arzaky.
Hal tersebut menurutnya sangat menarik karena mengandung nilai historis yang merefleksikan kerukunan dua agama. “Terbangun kerukunan hidup bersama dalam satu wadah tempat melakukan persembahyangan. Tempat yang dianggap sakral,” imbuhnya. Di bawah kemalik, orang Bali juga biasanya melakukan ritual bekemit atau berkemit sebagai tanda syukur terhadap Tuhan. “Kawan Sasak tidak pernah mengganggu kawan Bali begitu juga sebaliknya,” tambahnya.
Kedua umat tersebut saling menghormati dimana kemalik yang dianggap sakral bagi orang Islam, orang Bali tidak akan membawa daging babi atau apapun yang ada unsur daging babinya. “Dulu kawan-kawan Bali yang mengadakan acara maturan tidak akan membawa peralatan yang kena daging babi. Harus dibersihkan dulu. Waktu saya tinggal disana (Lingsar) sekitar tahun 1963-1964 pernah ada kejadian hujan besar tiba-tiba turun karena ada bagian yang kotor. Itu pertanda tempat itu adalah tempat suci bagi orang Islam,” ceritanya.
Tak hanya orang Islam dan Hindu yang menjadikan kawasan Pura Lingsar tersebut sebagai tempat yang disakralkan, namun Jalaludin Arzaky mengatakan orang Cina yang ada di Lombok juga demikian. Konon orang Cina tersebut mendapatkan kekayaan setelah berdo’a di tempat tersebut. Etnis Cina tersebut kemudian ikut menyumbang untuk renovasi tempat persembahyangan di sekitar kemalik tersebut. “Pada tahun 80-an, di kemalik ditemukan piranti-piranti upacara sakral orang Cina berupa cermin yang bukan bagian dari Bali ataupun Sasak. Cina juga punya hubungan secara spiritual dengan tempat itu,” ungkapnya.
Dijelaskan budayawan Jalaludin Arzaky bahwa sejarah berlangsungnya perang topat bukan hanya milik orang Bali tapi jauh sebelum kedatangan orang Bali, orang Sasak sudah melakukan perang topat setiap kali melakukan upacara syukuran terhadap keberhasilan panen, dan ketika orang yang dicintai kembali ke rumah dengan selamat. “Perang topat bukan semata-mata dilaksanakan dalam rangka upacara Pujawali di Lingsar,” ujarnya.
Pada masyarakat Sasak yang beragama Budha di Lombok Utara, setiap ada syukuran atas keberhasilan panen atau tanamam padi para petani yang terlihat bagus, mereka mengadakan upacara ngaji makam. Mereka juga mengadakan perang topat ketika padi mulai menguning dan berisi yang menandakan tanaman padi akan dipanen dengan hasil yang banyak.
Jauh sebelum Islam, tradisi tersebut juga ada. Konon ketika pangeran Sandubaya dari kerajaan menghilang ke Pulau Sumbawa, setelah kembali dengan selamat, rakyat kerajaan Selaparang mengadakan acara perang topat. “Itu diperingati oleh masyarakat Sasak yang merasa keturunan Selaparang sebagai bagian dari kegembiraan ketika mereka melihat pangeran masih hidup,” jelasnya.
Tradisi perang topat yang telah turun temurun dilakukan masyarakat setempat. Menurut Jalaludin Arzaky bisa menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Sasak yang ada di sekitar Lombok Barat. “Karena itu simbol yang menunjukkan bahwa kita akrab dalam membangun pertemanan dan persaudaraan dengan orang yang berbeda agama dan suku. Jadi peristiwa budaya perang topat merupakan pencerminan betapa bangunan pertemanan dan persaudaraan itu bisa dilakukan oleh orang Sasak dan Bali yang ada di Lombok,” jelas dosen di Akademi Pariwisata Mataram ini. (yan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar