Lombok Utra - Sebagai warga Kabupaten Lombok Utara (KLU) sepatutnya bangga , karena kita masih memiliki adat dan budaya lokal yang masih kental dalam menyelematkan alam dari pemenasan global yang menimpa seluruh dunia.
Penegasan tersebut disampaikan Wakil Bupati KLU, H. Najmul Akhyar, SH, MH didepan puluhan komunitas adat yang mengikuti workshop multi pihak mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang berlangsung di aula kantor desa Tanjung 24/8/11.
Menurut Najmul, pada zaman dahulu, bila kita memasuki hutan terlebih dahulu diberi sembek, dan tidak boleh membawa tali atau parang, karena disebut “pemalik” (larangan) yang tidak boleh dilanggar. “Saya sangat senang bila masuk ke pawang adat Semokan Desa sukadana, dimana amak lokaq cukup eksis menjaga hutannya, bahkan sampai kayu tumbangpun di hutan adat tersebut tidak boleh diambil”, katanya.
Namun kearifan lokal seperti itu sedikit demi sedikit sudah mulai hilang, malah sekarang ini setiap hari sinso masuk ke dalam hutan. Hal ini bukan masalah kecil, tapi ini adalah ancaman buat kita semua.
Dari data di provinsi Nusa tenggara Barat, bahwa luas lahan KLU, 80.942 ha. Dan bila dilihat luasnya cukup signifikan, dan petensi inilah yang harus diselamatkan. Dari jumlah ini terdapat sekitar 384 hektar masuk ke lahan sangat kritis dan 5.760 hektar masuk katagori kawasan lahan kering.
H. Najmul mengaku, bahwa dalam illegal loging ditemukan modus baru, diamna masyarakat yang menebang kayu didalam hutan, sebelum kayunya dibawa keluar terlebih dahulu dibuat kusen, karena mereka beranggapan tidak akan ditangkap oleh petugas.
Menyoroti tentang terjadinya penebangan liar, menurut Wabup, beberapa bulan lalu, tidak kurang dari 30 truk kayu setiap hari dibawa keluar dari KLU. Dan pohon yang menjadi primadona yang ditebang adalah pohon asam. “Mereka menebang beralasan karena belum ada payung hukumnya, sehingga Pemda KLU mengeluarkan surat edaran dan Peraturan Pemerintah No. 6 tentang tentang pengurusan dan pengendalian kayu yang berasal dari hutan hak atau tanah milik”, jelasnya.
Penegasan tersebut disampaikan Wakil Bupati KLU, H. Najmul Akhyar, SH, MH didepan puluhan komunitas adat yang mengikuti workshop multi pihak mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang berlangsung di aula kantor desa Tanjung 24/8/11.
Menurut Najmul, pada zaman dahulu, bila kita memasuki hutan terlebih dahulu diberi sembek, dan tidak boleh membawa tali atau parang, karena disebut “pemalik” (larangan) yang tidak boleh dilanggar. “Saya sangat senang bila masuk ke pawang adat Semokan Desa sukadana, dimana amak lokaq cukup eksis menjaga hutannya, bahkan sampai kayu tumbangpun di hutan adat tersebut tidak boleh diambil”, katanya.
Namun kearifan lokal seperti itu sedikit demi sedikit sudah mulai hilang, malah sekarang ini setiap hari sinso masuk ke dalam hutan. Hal ini bukan masalah kecil, tapi ini adalah ancaman buat kita semua.
Dari data di provinsi Nusa tenggara Barat, bahwa luas lahan KLU, 80.942 ha. Dan bila dilihat luasnya cukup signifikan, dan petensi inilah yang harus diselamatkan. Dari jumlah ini terdapat sekitar 384 hektar masuk ke lahan sangat kritis dan 5.760 hektar masuk katagori kawasan lahan kering.
H. Najmul mengaku, bahwa dalam illegal loging ditemukan modus baru, diamna masyarakat yang menebang kayu didalam hutan, sebelum kayunya dibawa keluar terlebih dahulu dibuat kusen, karena mereka beranggapan tidak akan ditangkap oleh petugas.
Menyoroti tentang terjadinya penebangan liar, menurut Wabup, beberapa bulan lalu, tidak kurang dari 30 truk kayu setiap hari dibawa keluar dari KLU. Dan pohon yang menjadi primadona yang ditebang adalah pohon asam. “Mereka menebang beralasan karena belum ada payung hukumnya, sehingga Pemda KLU mengeluarkan surat edaran dan Peraturan Pemerintah No. 6 tentang tentang pengurusan dan pengendalian kayu yang berasal dari hutan hak atau tanah milik”, jelasnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar