Mataram -Dampak pengurangan peredaran minyak tanah (mitan) bersubsidi sudah mulai dirasakan sebagian masyarakat. Beberapa masyarakat yang masih menggunakan lampu teplok sebagai lampu penerang makin tercekik dengan mahalnya harga mitan. Beban hidup makin bertambah karena mitan mulai sulit didapatkan.
Seperti yang dialami Ida Bagus Tamu (70), warga Cakra Utara, Kota Mataram. Sebagai lampu penerang sehari-hari, Ida Bagus hanya mengandalkan lampu teplok yang bahan bakar dasarnya menggunakan minyak tanah. Ide Bagus mengaku saat ini ia semakin kesulitan mendapatkan mitan seperti biasanya, harganya pun kini semakin mahal daripada biasanya. Jika semula ia bisa mendapatkan minyak tanah dengan harga Rp 6 ribu per liter, namun saat ini ia harus membeli mitan dengan harga Rp 7 sampai Rp 9 ribu per liter.
“Saya susah, sekarang mitan semakin sulit didapat. Di pasar sudah jarang dijual. Di warung-warung juga sudah mulai tidak ada. Kalau pun ada, harganya mahal,” katanya.
Bagi Ida Bagus minyak tanah sudah seperti beras dan kebutuhan pokok lainnya, karena rumahnya tidak memiliki lampu penerang seperti orang kebanyakan. Ia merasa harga mitan yang Rp 7 ribu saja sudah sangat mahal baginya, apalagi dengan harga mitan non subsidi nanti. Jika harganya terus melambung, dia terancam tidak bisa lagi menggunakan lampu penerang pada malam hari. Ia mengaku tidak mampu menggunakan listrik karena tidak memiliki uang untuk membayar listrik.
Sering kali ia meminta untuk dialiri listrik, namun saat akan dipasangkan ia tidak mampu membayar biaya sebesar Rp 2 juta untuk biaya pemasangan.
“Saya tidak punya uang untuk membayar listrik. Untuk makan aja susah sekali,” katanya.
Bagus mengaku sangat cemas jika mitan bersubsidi benar-benar hilang dari pasaran, Harga mitan tentu akan melambung dan ia tentu tidak akan mampu membelinya. Bagus mengaku sudah sangat prustasi dengan harga-harga barang saat ini, hidupnya semakin terjepit. Semakin hari harga-harga kebutuhan pokok bukannya turun, malah menjadi naik dan naik terus. Ia bahkan lebih memilih cepat-cepat mati daripada tetap hidup. Apalagi harga-harga kebutuhan pokok makin mencekik.
“Lebih baik saya sekarang mati saja, saya sudah capek hidup miskin sepereti ini. Usaha saya mandek, sementara harga-harga sudah mahal, untuk makan susah,” katanya.
Sehari-hari Bagus tidak memiliki pekerjaan. Mulanya ia punya usaha kerajinan sendok dan sisir yang terbuat dari tanduk banteng. Sendok buatannya terkesan unik dengan ukiran-ukiran khas. Mulanya produk kerajinannya banyak diminati oleh wisatwan, namun beberapa tahun terakhir produknya tidak ada yang laku. Sejak usahanya mandek, Bagus tidak memiliki penghasilan lagi, untuk makan sehari-hari ia kebanyakan mengandalkan belas kasih dari tetangga bahkan ia sering hutang untuk makan sehari-hari.
“Usaha dulu lancar, tapi sekarang tidak ada yang membeli. Untuk makan saya sering hutang di tetangga,” katanya.
Ida Bagus mengaku tidak pernah menikah, namun ia sempat mengasuh empat orang anak angkat. Namun kini anak-anak angkatnya sudah menikah dan tidak tinggal bersamanya lagi. Saat ini di rumah tempatnya tinggal, ia hidup bersama seorang anak dan menantu dengan tiga orang cucu. Namun meski hidup satu rumah, bagus dan menantu seperti hidup terpisah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia harus mencari sendiri.
“Saya tidak enak minta kepada anak saya, mereka juga punya keluarga yang harus diberikan makan,” katanya.
Kini Ida Bagus hanya bisa berharap mitan tidak lagi mahal dan mudah dicari, agar beban hidupnya tidak terlalu banyak. Ia juga berharap bisa menghabiskan sisa hidupnya dengan tenang, tanpa harus gelap-gelapan pada malam harinya.
“Saya hanya berharap tidak susah lagi cari minyak tanah dan tidak susah mencari makan,” katanya. (sir)
Seperti yang dialami Ida Bagus Tamu (70), warga Cakra Utara, Kota Mataram. Sebagai lampu penerang sehari-hari, Ida Bagus hanya mengandalkan lampu teplok yang bahan bakar dasarnya menggunakan minyak tanah. Ide Bagus mengaku saat ini ia semakin kesulitan mendapatkan mitan seperti biasanya, harganya pun kini semakin mahal daripada biasanya. Jika semula ia bisa mendapatkan minyak tanah dengan harga Rp 6 ribu per liter, namun saat ini ia harus membeli mitan dengan harga Rp 7 sampai Rp 9 ribu per liter.
“Saya susah, sekarang mitan semakin sulit didapat. Di pasar sudah jarang dijual. Di warung-warung juga sudah mulai tidak ada. Kalau pun ada, harganya mahal,” katanya.
Bagi Ida Bagus minyak tanah sudah seperti beras dan kebutuhan pokok lainnya, karena rumahnya tidak memiliki lampu penerang seperti orang kebanyakan. Ia merasa harga mitan yang Rp 7 ribu saja sudah sangat mahal baginya, apalagi dengan harga mitan non subsidi nanti. Jika harganya terus melambung, dia terancam tidak bisa lagi menggunakan lampu penerang pada malam hari. Ia mengaku tidak mampu menggunakan listrik karena tidak memiliki uang untuk membayar listrik.
Sering kali ia meminta untuk dialiri listrik, namun saat akan dipasangkan ia tidak mampu membayar biaya sebesar Rp 2 juta untuk biaya pemasangan.
“Saya tidak punya uang untuk membayar listrik. Untuk makan aja susah sekali,” katanya.
Bagus mengaku sangat cemas jika mitan bersubsidi benar-benar hilang dari pasaran, Harga mitan tentu akan melambung dan ia tentu tidak akan mampu membelinya. Bagus mengaku sudah sangat prustasi dengan harga-harga barang saat ini, hidupnya semakin terjepit. Semakin hari harga-harga kebutuhan pokok bukannya turun, malah menjadi naik dan naik terus. Ia bahkan lebih memilih cepat-cepat mati daripada tetap hidup. Apalagi harga-harga kebutuhan pokok makin mencekik.
“Lebih baik saya sekarang mati saja, saya sudah capek hidup miskin sepereti ini. Usaha saya mandek, sementara harga-harga sudah mahal, untuk makan susah,” katanya.
Sehari-hari Bagus tidak memiliki pekerjaan. Mulanya ia punya usaha kerajinan sendok dan sisir yang terbuat dari tanduk banteng. Sendok buatannya terkesan unik dengan ukiran-ukiran khas. Mulanya produk kerajinannya banyak diminati oleh wisatwan, namun beberapa tahun terakhir produknya tidak ada yang laku. Sejak usahanya mandek, Bagus tidak memiliki penghasilan lagi, untuk makan sehari-hari ia kebanyakan mengandalkan belas kasih dari tetangga bahkan ia sering hutang untuk makan sehari-hari.
“Usaha dulu lancar, tapi sekarang tidak ada yang membeli. Untuk makan saya sering hutang di tetangga,” katanya.
Ida Bagus mengaku tidak pernah menikah, namun ia sempat mengasuh empat orang anak angkat. Namun kini anak-anak angkatnya sudah menikah dan tidak tinggal bersamanya lagi. Saat ini di rumah tempatnya tinggal, ia hidup bersama seorang anak dan menantu dengan tiga orang cucu. Namun meski hidup satu rumah, bagus dan menantu seperti hidup terpisah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, ia harus mencari sendiri.
“Saya tidak enak minta kepada anak saya, mereka juga punya keluarga yang harus diberikan makan,” katanya.
Kini Ida Bagus hanya bisa berharap mitan tidak lagi mahal dan mudah dicari, agar beban hidupnya tidak terlalu banyak. Ia juga berharap bisa menghabiskan sisa hidupnya dengan tenang, tanpa harus gelap-gelapan pada malam harinya.
“Saya hanya berharap tidak susah lagi cari minyak tanah dan tidak susah mencari makan,” katanya. (sir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar