Jumat, 11 Maret 2011

Lombok Utara dan Ancaman Tiga Bencana

OLEH KHAERUL ANWAR

Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, yang meliputi 5 kecamatan, 33 desa, 322 dusun, dikepung ancaman bencana alam. Bentang kenampakan alam lima kecamatan di KLU bak ”setengah wajan”: di belakang daratannya yang relatif sedikit ada lereng perbukitan dan hutan, dan di depannya ada laut.

Akibatnya, daerah dari barat ke timur, mulai pesisir Desa Malaka di Kecamatan Pamenang, tetangga obyek wisata Senggigi di Lombok Barat, Desa Medana di Kecamatan Tanjung, Desa Gondang di Kecamatan Gangga, Desa Selengen di Kecamatan Kayangan, dan Desa Mumbul Sari di Kecamatan Bayan, rawan longsor, banjir, serta air pasang.

Karena berada di kawasan Gunung Baru Jari (2.376 meter) yang masih aktif, penduduk desa itu paling awal akan terkena awan panas, lava pijar, dan hujan abu yang disemburkan anak Gunung Rinjani (3.725 meter).

Menurut Dr Didi S Agusta Wijaya, geolog yang dosen pada Fakultas Teknik Universitas Mataram (Unram), struktur geologi Kabupaten Lombok Utara (KLU) termasuk Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, merupakan hasil erupsi Gunung Rinjani yang berupa campuran tufa, batu apung, pasir, dan kerikil yang labil, mudah rontok, serta rentan longsor dan erosi.

Parahnya, tanah yang mudah longsor itu justru digali sembarangan untuk diambil batu apungnya. Dalam pandangan Ir Lolita Endang S MP, dosen pada Fakultas Pertanian Unram, penambangan batu apung dengan sistem terbuka, terowongan, dan irisan tegak pada lereng bukit itu sangat mengancam keselamatan penambang, mengusik sifat alami tanah, menurunkan produktivitas tanah yang nantinya mengganggu aktivitas usaha tani.

Indikasinya terlihat, tiap tahun di Dusun Minder, Desa Mumbul Sari, Kecamatan Bayan, hubungan transportasi terputus karena sebuah jembatan ambruk pada 18 Januari 2011. Jembatan yang ada diseret air bah yang membawa material setelah turun hujan selama tiga hari. Hampir saban tahun Dusun Muara Putat, Desa Pamenang Barat, dan Dusun Kandang Kao di Desa Tanjung, selalu tergenang air pasang yang meluber 200-500 meter dari pasang surut air laut ke permukiman warga.

Di obyek wisata hutan Pusuk, Kecamatan Pamenang, tempat wisatawan biasa bercengkerama dengan kera, tercatat lebih dari 10 titik rawan longsor. Lumpur yang mengeras pada badan dan aspal jalan yang bergelombang dan berlubang di jalur transportasi Kecamatan Tanjung-Kecamatan Bayan, pendangkalan sungai, rusaknya sarana-prasarana irigasi menunjukkan KLU seluas 809,53 kilometer persegi dengan penduduk 207.998 jiwa itu tidak bebas dari bencana alam.

Padahal, Gunung Rinjani dan kawasan hutannya (125.000 hektar) adalah sumber air irigasi dan air minum bagi rakyat Pulau Lombok, sekaligus sumber plasma nutfah flora-fauna dan daerah sebaran burung endemik seperti burung pengisap madu lombok, koakiau, dan kecial, yang dua dekade terakhir sangat jarang terlihat di kawasan itu.

Kentongan

Karena kondisi obyektif itu, Bupati KLU Djohan Samsu melantik personel Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Bappeda), Sabtu (12/2) lalu. Kini, kata Kepala Bappeda KLU Nanang Matalata, bersama DPRD KLU tengah membahas draf rencana tata ruang wilayah yang segera ditetapkan menjadi peraturan daerah (perda). Malah setelah berpisah dengan Kabupaten Lombok Barat, 21 Juli 2008, KLU mengalokasikan Rp 500 juta dari APBD dan Rp 4,5 miliar dari APBN tahun 2009, serta Rp 1,5 miliar pada APBD 2010, tetapi tanpa kucuran dana APBN 2010.

Kemudian, Kelompok Studi Lingkungan dan Pariwisata (Koslata Mataram) bersama Oxfam (sebuah organisasi nonpemerintah), dan Pemerintah KLU menggelar program Penanggulangan Risiko Bencana (PRB) berbasis masyarakat yang disebut participatory capacity vurnerability analysis (PCVA) selama 2,5 tahun yang dimulai 2010. Kata Sulistio dari Koslata, PRB digelar di 10 desa, yakni Desa Salut, Gumantar, Mumbul Sari, Senaru, Pamenang Timur dan Barat, Tegal Maja, Jenggala, Bentek dan Rempek.

Tiap desa diperkuat Tim Siaga Bencana yang berjumlah masing-masing 20 orang yang sudah dilatih Badan SAR Provinsi NTB. Tugas mereka meliputi penghijauan pada aliran sungai dan tempat rawan bencana dengan tanaman sengon, pohon beringin, dan tanaman konservasi lainnya. Mereka juga bertugas membuat jalur evakuasi secara gotong royong, dan peta titik rawan bencana yang dipasang pada tempat strategis di tiap desa/dusun. Mereka juga melakukan penyuluhan dan mobilisasi masyarakat agar tanggap bencana, memberikan pertolongan pertama, dan memandu penduduk melewati jalur evakuasi ke tempat aman.

Tim ini juga bertugas mendata sejarah bencana di tiap desa, bentuk-bentuk bencana yang dihadapi, membaca tanda alam sebelum terjadi bencana, analisis risiko, dan statusnya: waspada, siaga, dan awas (tanggap darurat).

Kejadian bencana diisyaratkan dengan pukulan kentongan beritme cepat-panjang selama tiga tahap serta tiga tahap beritme lebih lamban.Sumber: Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar