SELONG - Krisis politik di Mesir makin meluas. Hal ini berpengaruh terhadap mahasiswa dan warga NTB yang berada di Negeri Piramid itu.
Sejumlah mahasiswa asal NTB yang menuntut ilmu di Universitas Al Azhar, Kairo saat ini mulai kesulitan mendapatkan makanan. Sejumlah tempat penjual bahan makanan dan makanan siap saji tutup lantaran keamanan yang tak terjamin.
Salah seorang alumni Universitas Al Azhar Kairo TGH Hudatullah MA mengatakan, seminggu yang lalu ia sempat menghubungi beberapa mahasiswa asal NTB khususnya Lotim yang berada di Mesir.
‘’Dalam pembicaraan lewat telepon, sejumlah mahasiswa mengaku mulai kesulitan makanan,’’ kata TGH Hudatullah.
Menurutnya, stabilitas politik di Mesir yang masih mencekam memang memengaruhi keberadaan mahasiswa dan warga NTB di Mesir. ‘’Di Mesir sudah terbentuk komunitas mahasiswa NTB,” kata TGH Hudatullah.
Karena persatuan mahasiswa itulah, dirinya terpanggil untuk terus memantau keberadaan mahasiswa yang memang sedang menuntut ilmu.
‘’Karena resah dengan kondisi di sana (Mesir, Red), saya mencoba menghubungi teman-teman Lotim yang kuliah di Mesir,” ungkapnya.
Namun belakangan ini, tepatnya sejak empat hari lalu, kontak telepon sudah tidak bisa dilakukan. ‘’Akses komunikasi terputus empat hari lalu. Saat itu saya menghubungi Hasan, alumnus Ma’had NW Pancor yang melanjutkan studi di Mesir,” tandasnya. Hasan dan mahasiswa lainnya tetap dalam kondisi baik.
Ditanya keinginan para mahasiswa ke depan, TGH Hudatullah mengaku rata-rata mahasiswa tidak ingin meninggalkan Mesir. Mereka tetap ingin bertahan, karena masih tetap semangat ingin melanjutkan studi. ‘’Kata mereka, krisis Mesir hanya sementara saja, pasti akan berakhir. Kalau pulang justru kembali yang susah,” terangnya.
Hudatullah mengaku sedikit lega karena pemerintah Indonesia melalui Duta Besar yang ada di Mesir cepat tanggap. Mahasiswa mendapatkan bantuan dari pihak kedutaan, khususnya dalam hal konsumsi.
Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi melalui pesan singkat kepada Lombok Post tadi malam mengatakan, hingga saat ini jumlah mahasiswa asal NTB yang berada di Mesir sekitar 90 orang.
Sejauh ini kondisi mereka tetap baik. Mereka tinggal cukup jauh dari pusat kota sebagai tempat konsentrasi massa.
Gubernur juga mengaku terus berupaya menelepon sejumlah mahasiswa untuk mengetahui informasi di Mesir. ‘’Namun belakangan ini saluran komunikasi sedang sulit,’’ katanya.
Gubernur yang juga alumni Universitas Al Azhar Kairo ini mendukung upaya pemerintah untuk mengevakuasi WNI yang di dalamnya ada warga NTB.
Terpisah, Bupati Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) Dr KH Zulkifli Muhadli SH, MM berharap warga KSB yang saat ini berada di Mesir, untuk sementara meninggalkan negara tersebut. ‘’Saya harap untuk sementara tinggalkan Mesir, karena situasinya sedang bergolak,’’ ujarnya.
Saat ini ada beberapa warga KSB yang sedang menuntut ilmu di beberapa universitas di Mesir, di antaranya Universitas Al Azhar. Termasuk ada beberapa pelajar dari Pondok Pesantren Taliwang yang dikirim untuk tugas belajar.
‘’Imbauan ini sangat penting, mengingat aksi demonstrasi yang terjadi saat ini semakin gencar,’’ katanya.
Kebijakan pemerintah Indonesia untuk mengevakuasi WNI dari Mesir juga didukung bupati. ‘’Saya harap mereka bisa dipulangkan ke tanah air, sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di sana,’’ harapnya.
Sementara itu, salah seorang keluarga mahasiswa yang kuliah di Kairo, Mesir, L Subawaih asal Kateng, Lombok Tengah mengatakan, dalam seminggu terakhir, kontak telepon dengan adiknya, L Aman Huri yang kini menuntut ilmu dan bekerja di Mesir terputus.
‘’Sudah seminggu kami tak bisa berkomunikasi. Kami juga tidak tahu bagaimana kondisinya (L Aman Huri, Red),’’ katanya.
Menurutnya, sejak awal Mesir bergolak, ia langsung menelepon Aman Huri. ‘’Saat itu ia mengaku kondisinya baik. Tempatnya kuliah tetap aman. Demonstrasi hanya terjadi di jalanan kota,’’ katanya.
Karena keamanan Mesir makin tak terkendali, keluarga berharap mahasiswa dan warga NTB yang berada di Mesir tetap aman.
Ditambahkan Subawaih, saat ini sebanyak empat warga asal Kateng berada di Mesir. Selain kuliah, mereka juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk untuk biaya kuliah.
Dengan kondisi Mesir yang tak aman, tentu para pekerja tidak bisa lagi bekerja. Mahasiswa tentu akan kesulitan mendapatkan makanan karena selain tidak kerja tempat membeli makanan juga tidak ada.
‘’Karena demonstrasi besar-besaran. Banyak toko tempat membeli makanan tutup,’’ katanya.
Azisnawadi, salah seorang mahasiswa asal Lombok yang kuliah di Kairo yang dihubungi Lombok Post tadi malam tak tersambung. Padahal beberapa hari lalu Azis sempat kontak dengan Lombok Post untuk memberikan informasi kondisi masyarakat NTB di Mesir.
Di sisi lain, sejumlah wali murid risau dengan kondisi anak-anak mereka di Mesir. Salah satunya H Mahidin, asal Dusun Gonjong, Desa Montong Gamang, Kecamatan Kopang, Loteng.
Menurut H Mahidin, anaknya Ahyar Hambali, 20 tahun, sedang menempuh studi jurusan hukum di Universitas Al Azhar. Putranya telah berada di Mesir sejak dua tahun lalu. Selama itu, ia tidak pernah pulang sekalipun.
Komunikasi selama ini hanya dilakukan melalui telepon. Namun belakangan tak bisa lagi saling kontak.
‘’Saya khawatir soal keselamatan anak saya karena kerusuhan. Komunikasi terakhir saya lakukan kemarin malam (Senin malam, Red). Setelah itu tidak pernah lagi,’’ kata H Mahidin pada Lombok Post.
Dalam komunikasi terakhir Senin malam, sang anak bercerita situasi politik yang sedang terjadi di Mesir. Akibat situasi tersebut, anaknya tidak diperbolehkan keluar oleh pihak KBRI. Tempat penampungannyapun dijaga oleh aparat. H Mahidin tidak mengetahui persis dimana anaknya ditampung untuk sementara.
Dari penuturan anaknya melalui telepon, satu hal yang membuat hati H Mahidin miris. Ahyar Hambali bercerita ke orang tuanya jika ia kesulitan memperoleh makanan di Mesir. Mau belanja ke supermarket tidak bisa karena semuanya tutup akibat penjarahan. Di tempat penampungan, terpaksa harus menunggu makanan yang didatangkan pihak tertentu. Itupun dengan cara mengantre.
‘’Waktu itu dia bilang ingin pulang kalau punya uang. Tapi katanya juga, bandara ditutup. Dan untuk sampai ke bandara cukup sulit,’’ tuturnya.
Selain Hambali, salah seorang sahabat Koran ini, Zubaidi asal Desa Aik Mual, Kecamatan Praya, Loteng juga tak jelas kabarnya.
Semula komunikasi dengan Zubaidi inten dilakukan baik melalui email maupun face book. Namun sejak revolusi Mesir, Zubaidi tidak lagi bisa dihubungi. Akun terakhir yang dikirim khusus via face book bahkan tidak dibalas. Hpnya pun tidak aktif.
Terakhir kali ia membuka face book tanggal 27 Januari lalu. Dalam akunnya, ia menulis status kata ‘’musibah’’. Entah apa yang ia maksud dengan kata tersebut. Dalam status sebelumnya, ia juga bercerita kondisi Mesir belakangan ini.
Zubaidi berada di Mesir sudah cukup lama. Sejak tahun 2003. Sebelum ke Mesir, ia sempat sekolah di Institut Agama Islam Ibrahimy, Situbondo Jawa Timur. Selama di Mesir, ia tidak pernah pulang sekalipun hingga saat ini. (rur/lil/zul/far/aji)
Salah seorang alumni Universitas Al Azhar Kairo TGH Hudatullah MA mengatakan, seminggu yang lalu ia sempat menghubungi beberapa mahasiswa asal NTB khususnya Lotim yang berada di Mesir.
‘’Dalam pembicaraan lewat telepon, sejumlah mahasiswa mengaku mulai kesulitan makanan,’’ kata TGH Hudatullah.
Menurutnya, stabilitas politik di Mesir yang masih mencekam memang memengaruhi keberadaan mahasiswa dan warga NTB di Mesir. ‘’Di Mesir sudah terbentuk komunitas mahasiswa NTB,” kata TGH Hudatullah.
Karena persatuan mahasiswa itulah, dirinya terpanggil untuk terus memantau keberadaan mahasiswa yang memang sedang menuntut ilmu.
‘’Karena resah dengan kondisi di sana (Mesir, Red), saya mencoba menghubungi teman-teman Lotim yang kuliah di Mesir,” ungkapnya.
Namun belakangan ini, tepatnya sejak empat hari lalu, kontak telepon sudah tidak bisa dilakukan. ‘’Akses komunikasi terputus empat hari lalu. Saat itu saya menghubungi Hasan, alumnus Ma’had NW Pancor yang melanjutkan studi di Mesir,” tandasnya. Hasan dan mahasiswa lainnya tetap dalam kondisi baik.
Ditanya keinginan para mahasiswa ke depan, TGH Hudatullah mengaku rata-rata mahasiswa tidak ingin meninggalkan Mesir. Mereka tetap ingin bertahan, karena masih tetap semangat ingin melanjutkan studi. ‘’Kata mereka, krisis Mesir hanya sementara saja, pasti akan berakhir. Kalau pulang justru kembali yang susah,” terangnya.
Hudatullah mengaku sedikit lega karena pemerintah Indonesia melalui Duta Besar yang ada di Mesir cepat tanggap. Mahasiswa mendapatkan bantuan dari pihak kedutaan, khususnya dalam hal konsumsi.
Gubernur NTB TGH M Zainul Majdi melalui pesan singkat kepada Lombok Post tadi malam mengatakan, hingga saat ini jumlah mahasiswa asal NTB yang berada di Mesir sekitar 90 orang.
Sejauh ini kondisi mereka tetap baik. Mereka tinggal cukup jauh dari pusat kota sebagai tempat konsentrasi massa.
Gubernur juga mengaku terus berupaya menelepon sejumlah mahasiswa untuk mengetahui informasi di Mesir. ‘’Namun belakangan ini saluran komunikasi sedang sulit,’’ katanya.
Gubernur yang juga alumni Universitas Al Azhar Kairo ini mendukung upaya pemerintah untuk mengevakuasi WNI yang di dalamnya ada warga NTB.
Terpisah, Bupati Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) Dr KH Zulkifli Muhadli SH, MM berharap warga KSB yang saat ini berada di Mesir, untuk sementara meninggalkan negara tersebut. ‘’Saya harap untuk sementara tinggalkan Mesir, karena situasinya sedang bergolak,’’ ujarnya.
Saat ini ada beberapa warga KSB yang sedang menuntut ilmu di beberapa universitas di Mesir, di antaranya Universitas Al Azhar. Termasuk ada beberapa pelajar dari Pondok Pesantren Taliwang yang dikirim untuk tugas belajar.
‘’Imbauan ini sangat penting, mengingat aksi demonstrasi yang terjadi saat ini semakin gencar,’’ katanya.
Kebijakan pemerintah Indonesia untuk mengevakuasi WNI dari Mesir juga didukung bupati. ‘’Saya harap mereka bisa dipulangkan ke tanah air, sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan di sana,’’ harapnya.
Sementara itu, salah seorang keluarga mahasiswa yang kuliah di Kairo, Mesir, L Subawaih asal Kateng, Lombok Tengah mengatakan, dalam seminggu terakhir, kontak telepon dengan adiknya, L Aman Huri yang kini menuntut ilmu dan bekerja di Mesir terputus.
‘’Sudah seminggu kami tak bisa berkomunikasi. Kami juga tidak tahu bagaimana kondisinya (L Aman Huri, Red),’’ katanya.
Menurutnya, sejak awal Mesir bergolak, ia langsung menelepon Aman Huri. ‘’Saat itu ia mengaku kondisinya baik. Tempatnya kuliah tetap aman. Demonstrasi hanya terjadi di jalanan kota,’’ katanya.
Karena keamanan Mesir makin tak terkendali, keluarga berharap mahasiswa dan warga NTB yang berada di Mesir tetap aman.
Ditambahkan Subawaih, saat ini sebanyak empat warga asal Kateng berada di Mesir. Selain kuliah, mereka juga bekerja untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari termasuk untuk biaya kuliah.
Dengan kondisi Mesir yang tak aman, tentu para pekerja tidak bisa lagi bekerja. Mahasiswa tentu akan kesulitan mendapatkan makanan karena selain tidak kerja tempat membeli makanan juga tidak ada.
‘’Karena demonstrasi besar-besaran. Banyak toko tempat membeli makanan tutup,’’ katanya.
Azisnawadi, salah seorang mahasiswa asal Lombok yang kuliah di Kairo yang dihubungi Lombok Post tadi malam tak tersambung. Padahal beberapa hari lalu Azis sempat kontak dengan Lombok Post untuk memberikan informasi kondisi masyarakat NTB di Mesir.
Di sisi lain, sejumlah wali murid risau dengan kondisi anak-anak mereka di Mesir. Salah satunya H Mahidin, asal Dusun Gonjong, Desa Montong Gamang, Kecamatan Kopang, Loteng.
Menurut H Mahidin, anaknya Ahyar Hambali, 20 tahun, sedang menempuh studi jurusan hukum di Universitas Al Azhar. Putranya telah berada di Mesir sejak dua tahun lalu. Selama itu, ia tidak pernah pulang sekalipun.
Komunikasi selama ini hanya dilakukan melalui telepon. Namun belakangan tak bisa lagi saling kontak.
‘’Saya khawatir soal keselamatan anak saya karena kerusuhan. Komunikasi terakhir saya lakukan kemarin malam (Senin malam, Red). Setelah itu tidak pernah lagi,’’ kata H Mahidin pada Lombok Post.
Dalam komunikasi terakhir Senin malam, sang anak bercerita situasi politik yang sedang terjadi di Mesir. Akibat situasi tersebut, anaknya tidak diperbolehkan keluar oleh pihak KBRI. Tempat penampungannyapun dijaga oleh aparat. H Mahidin tidak mengetahui persis dimana anaknya ditampung untuk sementara.
Dari penuturan anaknya melalui telepon, satu hal yang membuat hati H Mahidin miris. Ahyar Hambali bercerita ke orang tuanya jika ia kesulitan memperoleh makanan di Mesir. Mau belanja ke supermarket tidak bisa karena semuanya tutup akibat penjarahan. Di tempat penampungan, terpaksa harus menunggu makanan yang didatangkan pihak tertentu. Itupun dengan cara mengantre.
‘’Waktu itu dia bilang ingin pulang kalau punya uang. Tapi katanya juga, bandara ditutup. Dan untuk sampai ke bandara cukup sulit,’’ tuturnya.
Selain Hambali, salah seorang sahabat Koran ini, Zubaidi asal Desa Aik Mual, Kecamatan Praya, Loteng juga tak jelas kabarnya.
Semula komunikasi dengan Zubaidi inten dilakukan baik melalui email maupun face book. Namun sejak revolusi Mesir, Zubaidi tidak lagi bisa dihubungi. Akun terakhir yang dikirim khusus via face book bahkan tidak dibalas. Hpnya pun tidak aktif.
Terakhir kali ia membuka face book tanggal 27 Januari lalu. Dalam akunnya, ia menulis status kata ‘’musibah’’. Entah apa yang ia maksud dengan kata tersebut. Dalam status sebelumnya, ia juga bercerita kondisi Mesir belakangan ini.
Zubaidi berada di Mesir sudah cukup lama. Sejak tahun 2003. Sebelum ke Mesir, ia sempat sekolah di Institut Agama Islam Ibrahimy, Situbondo Jawa Timur. Selama di Mesir, ia tidak pernah pulang sekalipun hingga saat ini. (rur/lil/zul/far/aji)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar