Para Peserta Pelatihan Berpose Bersama |
Lombok Utara - Puluhan pemuda Desa Karang Bajo Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara (KLU) 2 – 3 Januari, mengikuti pelatihan teknologi pemamfaatan limbah batu apung. Kegiatan tersebut dilaksanakan selama dua hari, oleh Yayasan Santiri NTB bekerjasama dengan Lembaga Pranata Adat dan Pemerintah Desa Karang Bajo.
Kepala Desa Karang Bajo, Kertamalip dalam pengantarnya mengungkapkan bahwa pelatihan yang diikuti generasi muda tersebut ada tindak lanjutnya, karena desa Karang Bajo dalam waktu dekat ini akan mendapat tiga buah bangunan, yaitu Balai Pertemuan 9x9 meter, Berugak Saka 8, dan home stay, yang semua bahan dasarnya dari limbah batu apung.
Sementara camat Bayan, R. Tresnmawadi, S.Sos yang membuka acara pelatihan tersebut mengungkapkan, bahwa kegiatan seperti pememfaatan teknologi limbah batu apung itu merupakan rahmat yang luar biasa, yang nantinya bisa dikembangkan ke luar daerah.
Dengan pelatihan yang digelar Yayasan Santiri ini dapat membantu pemerintah KLU untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran bagi generasi muda. “Karenanya kepada peserta harus tekun mengikutinya agar dapat bermamfaat bukan saja untuk diri sendiri namun juga bermamfaat untuk warga sekitar”, katanya.
Ketut Narsa, salah seorang pelatih dari Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional (BPTPT) Denpasar, yang ditemui secara terpisah mengakui, kalau beberapa pabrik atau PT yang mengolah batu apung khususnya di KLU kesulitan membuang limbahnya, dan ini perlu dimamfaatkan untuk membuat genteng, bataco dan pavingblok.
“Beberapa perusahaan batu apung kewalahan membuang limbahnya, sehingga seringkali terjadi pendangkalan pada beberapa sungai yang akibatnya bukan saja berdampak pada lingkungan, namun juga berdampak pada produktifitas lahan pertanian yang ada di sekitarnya”, jelas Ketut Narsa.
Dari sisi ekonomis, lanjut Narsa, membuat genteng atau batako dengan menggunakan semen dan pasir tentu biayanya lebih tinggi bila dinadingkan dengan memamfaatkan limbah batu apung. “Kalau limbah batu apung kita hanya menyiapkan biaya pengangkutannya saja. Berbeda dengan pasir, disamping kita beli juga harus mengeluarkan biaya pengangkutan”, tuturnya.
Demikian juga membuat batu bata dari tanah, kita harus melakukan pembakaran. Tapi bila batu bata itu dibuat dari limbah batu apung, maka pembakaran tidak perlu dilakukan. “Ia intinya kita akan mengembangkan teknologi ramah lingkungan”, imbuh Ketut Narsa.
“BPTPT Denpasar sekarang ini membawahi tiga provionsi di Indoensia yaitu Bali, NTB dan NTT, yang pada tahun 2011 akan dikembangkan ke Pulau Jawa dan Sumetara”, katanya.
Sedangkan Arum, dari Yayasan Santiri NTB, dalam penutupan pelatihan yang berlangsung secara sederhana tersebut selain mengucapkan terima kasih kepada para peserta, juga mengharapkan bahwa ilmu yang diperleh selama dua hari ini dapat dikembangkan untuk menciptkan kelompok kerja di tengah-tengah masyarakat. “Saya harap ini dapat membentuk kelompok kerja baru yang dapat mengurangi angka pengangguran di KLU, serta keterampilan yang memamfaatkan teknologi limbah batu apung ini dapat dikembangkan kedepan”, pintanya.
Kepala Desa Karang Bajo, Kertamalip dalam pengantarnya mengungkapkan bahwa pelatihan yang diikuti generasi muda tersebut ada tindak lanjutnya, karena desa Karang Bajo dalam waktu dekat ini akan mendapat tiga buah bangunan, yaitu Balai Pertemuan 9x9 meter, Berugak Saka 8, dan home stay, yang semua bahan dasarnya dari limbah batu apung.
Sementara camat Bayan, R. Tresnmawadi, S.Sos yang membuka acara pelatihan tersebut mengungkapkan, bahwa kegiatan seperti pememfaatan teknologi limbah batu apung itu merupakan rahmat yang luar biasa, yang nantinya bisa dikembangkan ke luar daerah.
Dengan pelatihan yang digelar Yayasan Santiri ini dapat membantu pemerintah KLU untuk mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran bagi generasi muda. “Karenanya kepada peserta harus tekun mengikutinya agar dapat bermamfaat bukan saja untuk diri sendiri namun juga bermamfaat untuk warga sekitar”, katanya.
Ketut Narsa, salah seorang pelatih dari Balai Pengembangan Teknologi Perumahan Tradisional (BPTPT) Denpasar, yang ditemui secara terpisah mengakui, kalau beberapa pabrik atau PT yang mengolah batu apung khususnya di KLU kesulitan membuang limbahnya, dan ini perlu dimamfaatkan untuk membuat genteng, bataco dan pavingblok.
“Beberapa perusahaan batu apung kewalahan membuang limbahnya, sehingga seringkali terjadi pendangkalan pada beberapa sungai yang akibatnya bukan saja berdampak pada lingkungan, namun juga berdampak pada produktifitas lahan pertanian yang ada di sekitarnya”, jelas Ketut Narsa.
Dari sisi ekonomis, lanjut Narsa, membuat genteng atau batako dengan menggunakan semen dan pasir tentu biayanya lebih tinggi bila dinadingkan dengan memamfaatkan limbah batu apung. “Kalau limbah batu apung kita hanya menyiapkan biaya pengangkutannya saja. Berbeda dengan pasir, disamping kita beli juga harus mengeluarkan biaya pengangkutan”, tuturnya.
Demikian juga membuat batu bata dari tanah, kita harus melakukan pembakaran. Tapi bila batu bata itu dibuat dari limbah batu apung, maka pembakaran tidak perlu dilakukan. “Ia intinya kita akan mengembangkan teknologi ramah lingkungan”, imbuh Ketut Narsa.
“BPTPT Denpasar sekarang ini membawahi tiga provionsi di Indoensia yaitu Bali, NTB dan NTT, yang pada tahun 2011 akan dikembangkan ke Pulau Jawa dan Sumetara”, katanya.
Sedangkan Arum, dari Yayasan Santiri NTB, dalam penutupan pelatihan yang berlangsung secara sederhana tersebut selain mengucapkan terima kasih kepada para peserta, juga mengharapkan bahwa ilmu yang diperleh selama dua hari ini dapat dikembangkan untuk menciptkan kelompok kerja di tengah-tengah masyarakat. “Saya harap ini dapat membentuk kelompok kerja baru yang dapat mengurangi angka pengangguran di KLU, serta keterampilan yang memamfaatkan teknologi limbah batu apung ini dapat dikembangkan kedepan”, pintanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar