Jumat, 05 Maret 2010

Ritual ‘’Rebang Alung’’ di KLU Cegah Konflik

REBANG ALUNG-Seorang mangku tengah mengkeramasi kepala kerbau yang akan dilarung ke laut, sebagai rangkaian ritual Rebang Alung di Pantai Dangar Reduh, Kamis kemarin.
Prosesi ritual Rebang Alung atau memotong rintangan yang diselenggarakan tokoh adat Lombok Utara, Kamis (4/3) kemarin berlangsung dalam suasana penuh kekerabatan. Sejumlah tokoh adat se-Pulau Lombok hadir dalam perhelatan di Pantai Dangar Reduh, Desa Jenggala itu. Dalam ritual itu juga di larung kepala kerbau yang sebelumnya telah dikeramas pemangku. Apa makna ritual adapt ini?

TOKOH adat Lombok Utara, Datu Artadi menyatakan karakteristik masyarakat KLU bersikap terbuka, menerima kehadiran warga dari mana pun asalnya. Masyarakat di sini menganggap pendatang sebagai teman bahkan saudara. Sehingga hubungan masyarakat di sini sangat harmonis. Itu sebabnya, di Lombok Utara tidak pernah terjadi konflik, karena para leluhur menanamkan semangat persaudaraan.

Namun, masyarakat Lombok Utara terperangah dengan pernyataan seorang oknum pejabat yang tak pantas diucapkan atau dalam bahasa adat di sini dikenal dengan bila bibir. ‘’Ucapan itu menghujam ke jantung ranah adat. Dengan pernyataan itu menyinggung perasaan masyarakat. Kalau tak diatasi akan timbulkan konflik. Atas dasar itulah, tokoh adat menggelar ritual yang disebut dengan Rebang Alung,’’ kata Artadi. Pada intinya ritual itu digelar untuk mencegah terjadinya konflik.

Kades Jenggala, Kecamatan Tanjung, M Urip,S.Pd merasa kecewa dengan ketindakhadiran oknum pejabat yang sebelumnya ditengarai telah melecehkan adapt setempat. Padahal seharusnya, oknum dimaksud harus datang karena ia harus dikenakan bedak keramas sebagai simbul membersihkan kekeliruan ucapannya terhadap masyarakat adat Lombok Utara. Menurutnya, persoalan adat tidak memandang strata sosial seseorang, apakah pejabat atau warga biasa. Kalau bersalah, semua waga sama kedudukannya dalam hukum adat.

Kasus ini berawal saat oknum pejabat tersebut menganggap acara selamatan telabah atau jaringan irigasi di Bendungan Pekatan, Desa Jenggala 27 Desember 2009 sirik atau menduakan Tuhan. Kontan saja masyarakat Lombok Utara tersinggung dengan ucapan itu dan mendesak tokoh adat mengambil sikap. Hasil musyawarah tokoh adat menetapkan oknum pejabat itu harus dikenakan sanksi adat dengan menyediakan seekor kerbau, 99 ribu uang bolong dengan kurs Rp 35 per uang bolong, empat buah dulang dan 44 buah ancak.

Penjabat Bupati KLU, Drs H. Ridwan Hidayat menyatakan ketidakhadiran oknum pejabat itu karena ada tugas dinas ke Dirjen Bina Marga yang tidak boleh diwakili ke Jakarta. Oknum pejabat itu katanya, telah mematuhi ketentuan adat. Dikatakan, hukum adat merupakan bagian dari hukum positif di negara kita yang lahir dan berkembang di tengah masyarakat secara ajeg. Hukum adat lahir dari akar kehidupan dan budaya lokal di tengah masyarakat yang kental dengan perilaku masyarakat setempat. Dengan proses kelahirannya maka hukum adat berdampak positif pada kesadaran masyarakat untuk mematuhinya

Ketua Persekutuan Perekat Adat Lombok Utara (Perekat Ombara), Kamardi,SH menilai proses ritual tetap berjalan, sedangkan ketidakhadiran oknum pejabat tersebut akan ada pertemuan lanjutan antara tokoh adat dengan oknum Kadis PU itu. Masyarakat Lombok Utara selain mengenal pembagian wilayah juga mengenal pranata-pranata lokal yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan alam dan masyarakat dengan Tuhan. Pranata ini disebut dengan awig-awig.

‘’Pada prinsipnya aturan adat itu dimaksudkan untuk menjaga keseimbanan dan keharmonisan hubungan antarmanusia dengan manusia, manusia dengan alam dan Tuhan,’’ jelas Kamardi.

Ketua Krama Adat Sasak, Drs H.L Azhar mengharapkan keterpaduan masyarakat dengan pemerintah agar mampu mewujudkan Lombok Utara yang lebih maju. Pemanasan global yang menjadi sorotan dunia saat ini, lanjutnya sebenarnya pernah disampaikan oleh leluhur kita. Agar tidak terjadi benturan, ia minta agar manusia memulai sesuatu dari sisi kemanusiaan. ‘’Banyak yang berjuang di bidang kemanusiaan tapi tak punya adat. Masyarakat adat harus bergerak memajukan daerah ini,’’ pungkasnya. (sam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar