Lombok Utara - “Madang Dunia” demikianlah para tokoh adat Bayan menyebut pemanasan global yang sekarang ini lagi ramai dibicarakan di seluruh belahan dunia ini. Semua ini terjadi akibat ulah manusa artinya kerusakan didaratan dan di lautan akibat tangan-tangan masnusia. Bahasa adat ini sesuai juga dengan apa yang tercantum dalam sebuah ayat di Al-Qur’an.
Hal inilah yang terungkap ketika beberapa toak lokak, pemangku dan pembekal adat menterjemahkan arti pemanasan global (global warming) pada acara gendu rasa membawa rasa yang berlangsung di rumah ketua pranata adat Karang Bajo Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara, 13 Desember 2009.
Madang Dunia ini dapat diatasi bila para tokoh-tokoh adat kompak dan sepakat dalam melakukan acara ritual seperti selamat olor dan bangaran. “Coba liha perubahan iklim sekarang ini, kendati hujan turun tapi rasanya tetap panas. Berbeda dengan puluhan tahun yang lalu, jika sudah saatnya hujanpun tetap turun menyiram bumi paer ini, sehingga para petani bisa melakukan turun bibit (menyemai bibit) baik di bangket (sawah) maupun di oma atau ladang. Tapi sekarang ini hujannya sudah mundur sampai empat bulan yang menyebabkan para petani yang menanam menjadi rugi”, ungkat Mak Lokak Walin Gumi.
“Memang dalam penghitungan Adat Bayan setiap tiga tahun selalu ada perubahan musim, dan dalam satu tahun itu bisa berdampak tiga tahun. Tapi sekarang ini bukan tahunnya yang berubah, namun ini adalah ulah manusa (sabda palon-bahasa adat Bayan)”, ungkap Pembekel Belek Desa Loloan.
Sementara menurut Raden Asjanom, seorang tokoh adat Bayan mengungkapkan, ini akibatnya bila huitan kita ditebang dan digunduli. Padahal hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan serta masyarakat secara keseluruhan.
“Ketika iklim ini berubah, hutan dan manusia harus terbiasa dengan perubahan curah hujan yang tidak menentu serta suhu udara yang cukup panas. Dan dampaknya musibahpun datang silih berganti, bila hujan terjadi banjir dan longsor dan jika panas terjadi kebakaran. Demikian juga dengan gempa bumi, seolah-olah belahan dunia secara bergantian merasakan goyangan bumi ini ditambah lagi dengan abrasi pantai yang semakin hari semakin parah”, timpal Kamardi SH, Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini.
Dan secara adat untuk mengatasi madang dunia ini perlu diadakan acara ritual seperti melakukan ‘bangaran’ di Subandar Labuahan Carik. Karena di tempat inilah dulunya terdapat sebuah rumah dinas adat subandar (syahbandar) dan termasuk tanah ulayat yang belakangan ini ramai diberitakan media.
Sayang tanah ulayat ini belakangan diklaim miliknya mantan Bupati Lombok Barat, Drs. HL. Mujitahid dan sudah bersertifikat seperti diberitakan Koran BERITA (12/12) kemarin.
Sementara beberapa tokoh adat mengakui, bahwa lokasi yang ada di Pelabuhan Carik itu adalah tanah ulayat pekarangan dari Mak Lokaq Subandar (penjaga labuhan carik-red) yang menjadi pelabuhan Kerajaan Bayan dulu.
Dan jika menginginkan hujan, bangaran itu perlu dilakukan di Subandar yang lokasinya di Pelabuhan Carik. Dan tentu prosesi ritual ini dilakukan cukup panjang, karena diawali prosesinya dari hutan Sajang-Lotim, lalu dilanjutkan ke Torean dan Pawang Bangket Bayan dan ke Senaru. Dan acara intinya akan diakhiri di wlayah Subandar Labuhan Carik.
Hal inilah yang terungkap ketika beberapa toak lokak, pemangku dan pembekal adat menterjemahkan arti pemanasan global (global warming) pada acara gendu rasa membawa rasa yang berlangsung di rumah ketua pranata adat Karang Bajo Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara, 13 Desember 2009.
Madang Dunia ini dapat diatasi bila para tokoh-tokoh adat kompak dan sepakat dalam melakukan acara ritual seperti selamat olor dan bangaran. “Coba liha perubahan iklim sekarang ini, kendati hujan turun tapi rasanya tetap panas. Berbeda dengan puluhan tahun yang lalu, jika sudah saatnya hujanpun tetap turun menyiram bumi paer ini, sehingga para petani bisa melakukan turun bibit (menyemai bibit) baik di bangket (sawah) maupun di oma atau ladang. Tapi sekarang ini hujannya sudah mundur sampai empat bulan yang menyebabkan para petani yang menanam menjadi rugi”, ungkat Mak Lokak Walin Gumi.
“Memang dalam penghitungan Adat Bayan setiap tiga tahun selalu ada perubahan musim, dan dalam satu tahun itu bisa berdampak tiga tahun. Tapi sekarang ini bukan tahunnya yang berubah, namun ini adalah ulah manusa (sabda palon-bahasa adat Bayan)”, ungkap Pembekel Belek Desa Loloan.
Sementara menurut Raden Asjanom, seorang tokoh adat Bayan mengungkapkan, ini akibatnya bila huitan kita ditebang dan digunduli. Padahal hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan serta masyarakat secara keseluruhan.
“Ketika iklim ini berubah, hutan dan manusia harus terbiasa dengan perubahan curah hujan yang tidak menentu serta suhu udara yang cukup panas. Dan dampaknya musibahpun datang silih berganti, bila hujan terjadi banjir dan longsor dan jika panas terjadi kebakaran. Demikian juga dengan gempa bumi, seolah-olah belahan dunia secara bergantian merasakan goyangan bumi ini ditambah lagi dengan abrasi pantai yang semakin hari semakin parah”, timpal Kamardi SH, Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini.
Dan secara adat untuk mengatasi madang dunia ini perlu diadakan acara ritual seperti melakukan ‘bangaran’ di Subandar Labuahan Carik. Karena di tempat inilah dulunya terdapat sebuah rumah dinas adat subandar (syahbandar) dan termasuk tanah ulayat yang belakangan ini ramai diberitakan media.
Sayang tanah ulayat ini belakangan diklaim miliknya mantan Bupati Lombok Barat, Drs. HL. Mujitahid dan sudah bersertifikat seperti diberitakan Koran BERITA (12/12) kemarin.
Sementara beberapa tokoh adat mengakui, bahwa lokasi yang ada di Pelabuhan Carik itu adalah tanah ulayat pekarangan dari Mak Lokaq Subandar (penjaga labuhan carik-red) yang menjadi pelabuhan Kerajaan Bayan dulu.
Dan jika menginginkan hujan, bangaran itu perlu dilakukan di Subandar yang lokasinya di Pelabuhan Carik. Dan tentu prosesi ritual ini dilakukan cukup panjang, karena diawali prosesinya dari hutan Sajang-Lotim, lalu dilanjutkan ke Torean dan Pawang Bangket Bayan dan ke Senaru. Dan acara intinya akan diakhiri di wlayah Subandar Labuhan Carik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar