Jumat, 05 September 2014

Mengenal Kampung Tradisional Karang Bajo - Bayan

Gubug adat Karang Bajo-Bayan  merupakan salah satu kampung tradisional yang terketak di Desa Karang Bajo Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara,  yang masih menjalankan dan menjaga adat istiadat kehidupan asli Suku Sasak-Bayan. Pola permukiman mengelompok dan terbentuk oleh kondisi alam yang berbukit-bukit dan berdasarkan sistem kekerabatan yang kuat dalam kehidupan masyarakatnya.

Pola permukiman di kampug adat ini terdapat pembagian wilayah berdasarkan stratifikasi sosial kemasyarakatannya.  Adanya awig-awig adat yang mengatur pembentukan pola perumahan sebagai bagian dari pola permukiman di Gubug  Adat  Karang Bajo-Bayan.  Selain itu, kehidupan komunitas adat, khususnya yang tinggal di Gubug Karang Bajo, cukup komunal dan ramah. Rumah adat yang dimilikinya, hanya dibatasi dengan pagar bambu dan memiliki nama tersendiri. Rumah-rumah adat ini ditempati oleh para tokoh pranata adat setempat, seperti kiyai, lebe, pemangku, pembekel dan Mak Lokaq (tetua adat).

Menurut Rianom, S. Sos, (52)  Kabid Budaya pada kantor Dikbudpora Kabupaten Lombok Utara, Karang Bajo terdiri dari dua suku kata, yaitu “karang” yang berarti pekarangan (halaman) dan “Bajo” yang diambil dari nama salah seorang musafir dari Suku Bajo.

Dijelaskan, ketika para tokoh setempat telah menganut ajaran agama Islam, mereka pun merencanakan untuk mendirikan sholat jum’at. Hanya pada saat itu jama’ahnya belum cukup satu muqim yakni baru 43 orang. Ketika musyawarah berlangsung datanglah seorang musafir dari Suku Bajo, sehingga muqim sebagai syarat pendirian sholat jum’at genap menjadi 44 orang. “Jadi ada kaitannya masyarakat yang tinggal di Gubug Karang Bajo dengan Suku Bajo yang ada di kampung Telaga Bagek Desa Sukadana”, kata Rianom yang juga anggota Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) ini.

Satu hal yang cukup misteri, bahwa masing-masing rumah adat yang ditempati oleh para tokoh setempat yang dibatasi dengan pagar bambu (kampu) memiliki nama tersendiri, seperti Karang Selam sebagai tempat tinggalnya Mak Lokak Penyunat atau juru khitan. Dan dalam pendapat komunitas adat, bila seorang anak belum dikhitan maka dia belum termasuk Selam (beragama Islam-red). Dan jika sudah dikhitan, maka anak tersebut dikenal dengan “selam sunat”.

Sementara rumah kampu di Karang Haji ditempati oleh Kiyai Lebe. Dan khusus tempat tinggalnya para pemangku (pemerintahan adat-red) berada di Karang Dalem. Sedangkan di Karang Tulis, sebagai tempat tinggal Pembekel adat yang berdampingan dengan Mak Lokak Singgan yang istilah sekarang sebagai panglima atau laskar.

Mak Lokak Pengauban yang bertugas membawa payung agung pada acara ritual praja mulud adat dan berfungsi memayungi umat, tinggal di Karang Tuban. Dan yang terpisah tempat tinggalnya dari kebanyakan Mak Lokak tersebut adalah Lokak Walin Gumi yang bertugas sebagai pemimpin acara bangaran pada pembukaan lahan baru atau membangun tempat tinggal. Selain fungsi tersebut, Lokak Walin Gumi juga bertugas sebagai wali hakim bila wali si perempuan tidak ada, yang istilah Bayannya keturunan yang putung (putus).

Selain Mak lokak yang tersebut diatas, masih ada lagi Mak Lokak lainnya, seperti Lokak Pandai yang bertugas sebagai penasehat dan pengambil keputusan bila terjadi perselisihan pendapat antar komunitas adat yang dibantu oleh Lokak Walin Gumi.

Di masyarakat adat juga dikenal adanya yang bertugas membuat ramuan obat atau berfungsi sebagai tabib. Dan peran ini dipegang oleh Mak Lokak Penjelang, yang pekarangan rumahnya masih kosong dan hanya ditandai dengan sebuah batu. Dan masih banyak lagi Mak Lokak lainnya yang fungsinya berbeda-beda, seperti Mak Lokak Gantungan Rombong, Lokak Bual, Lokak Pengauban, lokak inan aik dan lain-lainnya.

Khususnya komunitas adat di Bayan, memiliki tidak kurang 20 acara ritual, yang menurut beberapa tokoh adat, bahwa sesungguhnya manusia itu diciptakan Allah paling sempurna dan mulia serta diberi kelebihan berupa akal dan fikiran. Karenanya masyarakat adat Wetu Telu melakukan berbagai acara ritual, sebab menurut mereka, apa yang diciptakan Allah SWT, seperti hewan, ternak, tumbuh-tumbuhan, bumi dan langit, semuanya tidak bisa membuat acara sendiri. “Jadi tugas manusialah yang mengacarakannya”, kata beberapa tokoh adat setempat.

Satu contoh, kata Kertamalip, tumbuh-tumbuhan, kayu dan sejenisnya digelar acara bubur daun kayu yang prosesi pelaksanaannya di pimpin oleh para kiyai yang tujuannya untuk memohon kepada Yang Kuasa agar apa yang ditanam dapat tumbuh subur sehingga manusia mendapat mamfaatnya. “Kalau ritual ‘bubur petak’ (putih) itu adalah proses kejadian manusia dari yang laki, sedangkan bubur abang (merah) adalah proses kejadian manusia dari yang perempuan. Selain itu ada juga acara selamat desa atau gubug yang sering disebut dengan “pesta Alip” yang diadakan sewindu (8 tahun-red) sekali”, jelas Kertamalip.

Perlu diketahui, bahwa sejak seseorang dipercaya mengemban sebuah jabatan, maka sejak itu pula dalam pergaulan sehari-hari nama pejabat yang bersangkutan hilang dari sebutan. Tetapi, jabatan yang disandang menjadi sapaan. Misalnya Pak Anu menyandang jabatan Lokak Pande, maka dalam pergaulan sehari-hari sebutannya bukan Pak Anu, tetapi cukup Lokak Pande.(Sumber Rianom dan Kertamalip)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar