Senin, 09 Januari 2012

Agenda Besar di Pelabuhan Nelayan

Paotere, Denyut Nadi Perekonomian Sulsel
TAK PERNAH SEPI. Aktivitas di Dermaga Pendaratan Ikan dan Pelabuhan Rakyat (Pelra) Paotere, Kota Makassar, tak pernah sepi. Paotere tak hanya menjadi ikon masa lalu, tapi geliat bisnis di kawasan ini, menjadi tumpuan hidup banyak orang.


MAKASSAR, - Tidak berlebihan jika Paotere dianggap sebagai denyut nadi perekonomian Kota Makassar, bahkan Sulawesi Selatan. Pelabuhan yang sudah beroperasi sejak zaman Belanda ini menjadi tempat ribuan masyarakat kecil menggantungkan nasibnya. Puluhan bahkan ratusan transaksi terjadi setiap hari.

Namun, dia tetaplah Paotere. Pelabuhan rakyat yang menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal kayu yang tradisional, termasuk pinisi. Paotere menyimpan banyak sejarah perdagangan di Sulsel.

Paotere punya dua pelabuhan, yaitu dermaga kargo kapal tradisional yang dikelola PT Pelindo IV. Lainnya, pelabuhan pelelangan ikan (PPI) Paotere yang dikelola Pemerintah Kota Makassar. Secara kasar, uang yang berputar di pelabuhan tersebut mencapai puluhan miliar setiap hari.

Manager Dermaga Paotere PT Pelindo IV, Johan Daming, menjelaskan, kapal yang sandar dan melakukan transaksi di dermaga mencapai sekitar 50 sampai 70 unit, setiap hari.

"Kapal itu mengangkut barang-barang komoditas, seperti jagung, beras, terigu, padi dan cokelat. Termasuk semen Tonasa yang dibawa ke pulau-pulau lain, seperti NTT, NTB, Kendari, Toli-toli, dan Sorong," tambah Johan.

Rata-rata, kapal memuat sampai 350 ton barang. "Untuk semen saja, harga semen satu sak itu misalnya 40 kilogram, Rp38 ribu. Setiap hari, semen yang dikirim mencapai 750 ton," katanya.

Johan menambahkan, di dalam Paotere, terdapat sekitar 30 perusahaan pelayaran yang masing-masing mempekerjakan puluhan buruh. "Belum lagi buruh lepas dan penjual minyak. Dari keseluruhan, ada ribuan orang yang mencari nafkah di dalamnya," jelasnya.

Di tahun 2012 ini, Pelindo menargetkan untuk melakukan perbaikan fasilitas, dan pembenahan beberapa sarana. "Kita ingin menambah panjang dermaga Paotere sebanyak 50 meter. Saat ini panjangnya 560 meter," jelas Johan. Menurut dia, dengan penambahan panjang tersebut, dermaga Paotere yang jumlahnya sebelas, akan bertambah satu dermaga menjadi 12.

Selain itu, kata dia, pembenahan juga dengan menambah kapasitas dan daya tampung kapal. "Tahun ini, kita akan dilakukan pengerukan kolam untuk menambah kedalaman. Ini supaya kapal berkapasitas 350 ton bisa sandar di semua dermaga," tambahnya. Menurut dia, Dermaga Paotere selama ini hanya bisa menampung kapal berkapasitas 150 ton. Tidak hanya dermaga, akses jalan juga akan dibenahi.

Menurut dia, pembenahan lebih kepada pemberian kemudahan bagi pengguna jasa dermaga. "Kita ingin memudahkan antrean kapal yang sandar di pelabuhan. Pelindo sudah menyipkan miliaran anggaran untuk pembenahan tersebut," jelasnya.

Untuk rencana jangka panjang, kata dia, Pemerintah Kota Makassar sudah menetapkan Dermaga Paotere sebagai kawasan wisata. Sejumlah rencana pengembangannya, sementara dirumuskan pemerintah kota.

Menurut Johan, Paotere dianggap berpeluang menjadi destinasi wisata, karena kapal-kapal kayu yang tradisional, seperti pinisi, menjadi "landmark." Kapal-kapal tersebut mampu menarik wisatawan.

Peredaran uang di Pelabuhan Paotere juga tak kalah banyaknya. Kepala Koperasi Insan Pelelangan Paotere, H Abdul Rahman Beddu, menjelaskan, paling sedikit ikan yang dihasilkan paotere sektiar 60 ton. "Setiap hari rata-rata ratusan ton," ujarnya. Dia menjelaskan, target Pendapatan Asli Daerah (PAD) Paotere untuk Pemerintah Kota mencapai Rp576 juta per tahunnya.

"Perputaran uang di sini mencapai ratusan juta. Setiap hari, rata-rata minyak solar yang harganya Rp4.500 per liter terjual sampai 8 ton per hari. Pabrik es kita memproduksi sampai 6.000 balok es per hari. Satu balok Rp12 ribu," katanya.

Koperasi tersebut juga menyalurkan kredit kepada para ketua kelompok, yang menjadi "penggawa" para buruh, termasuk nelayan. "Ketua kelompok ini yang beri gaji para buruh, dan kasi modal solar dan es kepada para petani," ujar wakil Koperasi Insan Perikanan Paotere, Andi Makkulau.

Dia menambahkan, terdapat sektiar 500 ketua kelompok di pelabuhan tersebut, masing-masing punya 10 orang anggota.

Menurut beberapa nelayan, Koperasi sudah membawa keringanan kepada para nelayan, dibandingkan sebelumnya. "Dulu, sebelum ada koperasi, banyak nelayan yang pinjam uang ke rentenir. Kalau pinjam satu juta, harus dikembalikan Rp1,3 juta," ujar salah satu buruh, Haeruddin.

Sayangnya, pemberian kredit koperasi kepada penggawa/ketua kelompok kerap bermasalah. "Ketua kelompok yang pinjam uang, banyak yang tidak kembalikan. Di awal-awal, mereka memang rajin cicil pengembaliannya. Tapi kalau sudah sampai 50 persen uang dikembalikan, sudah berhenti," lanjutnya.

Terpisah, proyek Makassar New Port menjadi harapan Wali Kota Makassar, Ilham Arief Sirajuddin untuk penataan Dermaga Paotere yang lebih baik. Paling tidak, luasan dermaga dan kapal-kapal yang sandar bisa lebih tertata, sehingga tidak lagi semrawut.

"Paotere itu masuk wilayah kerja PT Pelindo. Kami berharap, Paotere tetap menjadi pelabuhan rakyat yang melayani kapal-kapal kecil dan tradisional. Mereka tidak bisa dihilangkan, bahkan harus dikembangkan dengan konsep lebih baik," tutur Ilham.

Lantas, bagaimana peran Pemkot Makassar terhadap eksistensi Dermaga Paotere dan seluruh geliat perekonomiannya memberi kontribusi besar perekonomian Makassar? Ilham mengemukakan, pemkot hanya masuk pada penataan kawasan yang tidak luas kewenangannya.

"Beban pemkot terlalu berat bila masuk pada penataan kawasan secara substansi. Apalagi, segala aktivitas di dermaga Paotere sudah kewenangan Kementerian Perhubungan," katanya.

Intervensi yang dapat dilakukan Pemkot Makassar untuk mendukung dan lebih memperbaiki kesejahteraan dan kehidupan masyarakat yang terlibat di dalam roda perekonomian pelabuhan hanya pengembangan dan pendampingan usaha mikro, kecil dan menengah, serta koperasi.

Namun, pemkot tetap berjanji mendorong Pelindo tetap memasukkan Dermaga Paotere masuk dalam perhatiannya dengan menjadikan pelabuhan rakyat tanpa menghilangkan ciri khasnya.

Sejarawan Sulsel, Edward L. Poelinggomang mengatakan, sebenarnya Paotere pada Abad 20 diminta orang China untuk dijadikan pelabuhan perahu. Seandainyan permintaan itu dipenuhi, sudah pasti ribuan masyarakat yang mengantungkan hidup di Paotere tidak dapat menapkahi keluarga mereka.

"Sekitar tahun 1460, mulai dibangun pelabuhan produksi laut di Paotere itu. Selain itu juga digunakan untuk berlabuh bagi pedagang dari kota lain, bahkan dari China," jelas Edward dari hasil pembacaannya di arsip-arsip sejarah.

Edward menilai, Paotere yang dulu berbeda dengan Paotere sekarang. Menurut dia, Paotere yang sekarang lebih maju. Namun kemajuan ini mestinya ditunjang peningkatan SDM masyarakat yang beraktivitas di sana.

"Banyak mahasiswa saya yang sudah melakukan penelitian di sana (Paotere, red). Dari hasil temuan mereka, disimpulkan masyarakat yang beraktivitas di sana masih kurang dari segi pendidikan. Hal ini tentu memengaruhi pelaksanaan yang kurang tertib," tambahnya.

Terletak di bagian utara Kota Makassar, berjarak sekitar tiga kilometer dari Pantai Losari. Pelabuhan yang merupakan salah satu pelabuhan rakyat warisan tempo doeloe ini, menyimpan bukti sejarah peninggalan Kerajaan Gowa-Tallo sejak abad ke-14.

Abdul Rahman Beddu, yang kini menjadi Ketua Umum Koperasi Insan Perikanan di Paotere menjadi saksi hidup berdirinya Paotere. Menurut dia, Paotera yang kini banyak menghidupi orang itu telah beberapa kali berpindah-pindah.

"Saya sejak kecil sudah digendong ayah saya ke pelelangan itu. Makanya saya bisa dikatakan saksi hidup pelelangan Paotere," katanya.

Beddu yang ditemui di kediamannya menceritakan, tahun 1946 silam pelelangan ikan berada di sekitar Jalan Sabutung. Kemudian tahun 1951, pelelangan bergeser sedikit namun masih di Jalan Poros Sabutung yang saat ini banyak dihuni gedung dan rumah warga. Waktu itu, kata Baddu, pelelangan masih kacau balau.

Tahun 1990, terjadi gejolak antara warga dengan koperasi sehingga pelelangan dipindahkan ke daerah Tallo. Namun di Tallo pelelangan ikan itu tidak berlangsung lama dan tahun 1991 pelelangan pindah ke Bayoa. "Tahun 1992 barulah kembali ke Paotere ini," beber Baddu.

Bersamaan dengan pindahnya pelelangan ke Paotere, Beddu bersama empat orang rekannya mendirikan Koperasi Insan Perikanan. Pendirian koperasi ini bertujuan membebaskan nelayan dari tekanan para punggawa yang sangat merugikan nelayan.

Semakin lama, koperasi ini semakin dirasakan manfaatnya bagi nelayan. Betapa tidak, di dalam area pelelangan sudah ada pabrik es balok dan penjualan solar yang sangat dibutuhkan para nelayan. Itu artinya mereka tidak perlu mengeluarkan biaya lebih untuk mendapatkan kebutuhan pokok tersebut.

Selain itu, para nelayan dan pengangkut ikan tidak lagi dibebani dengan retribusi. Penjualan ikan yang dulunya hanya bisa dilakukan dengan cara lelang, kini bisa langsung terjadi tawar menawar di perahu. Semua ini, kata Baddu, dari pengikisan sistem punggawa yang dinilai sangat merugikan nelayan kecil.

Sayang, pelabuhan Paotere yang sarat dengan nilai sejarah, dalam waktu dekat, bakal menjadi pelabuhan kontainer, menyusul pelabuhan kontainer Soekarno-Hatta yang sudah ada.

Kendati demikian, Baddu berharap rencana itu tidak menghilangkan nilai budaya serta mata pencarian nelayan selama ini. Cita-cita Beddu untuk mensejahterakan nelayan masih butuh perjuangan panjang. Namun tiada kata berhenti untuk Baddu. Baginya, kehidupan nelayan telah menjadi bagian dalam dirinya.

"Kenapa nelayan harus menderita, padahal mereka yang telah banyak memberikan manfaat bagi masyarakat. Mereka berhak atas kehidupan layak dan bisa menyekolahkan anak-anak mereka. Bagi kami, Paotere segala-galanya,” tutupnya. (tim) Sumber: http://www.fajar.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar