Senin, 23 Juni 2014

“Khitan” Simbol Pengislaman di Bayan

Dalam kehidupan komunitas  adat  Wetu telu, khsusunya di Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara,  sebenarnya terdapat banyak acara ritual.  Dan ritual yang berhubungan langsung dengan sistem kosmologi Wetu Telu hanya dapat digolongkan dalam tiga katagori yaitu:   pertama, ritual peralihan individu, meliputi gawe urip dan gawe pati;  Kedua, ritual  menjaga keseimbangan antara jagad besar dan jagad kecil yang terimplementasikan dalam upacara siklus tanam padi; Dan ketiga, ritual penghormatan terhadap roh leluhur yang meliputi ritual selametan subak dan ritual membangar.

Dalam beberapa literatur disebutkan, sekitar abad ke-11 M, Desa Adat Bayan awalnya merupakan salah satu kerajaan kecil di Pulau Lombok. Terbentuknya Kerajaan Bayan berasal dari pecahan kerajaan tertua di Lombok akibat dari meletusnya gunung Rinjani.  Kata Bayan sendiri  tertulis di dalam Al Qur’an, yang artinya penerangan atau penjelasan. Dengan nama tersebut, masyakat sekitar meyakini bahwa Islam masuk  pertama kali di Lombok melalui kerajaan Bayan.

Bayan juga dikenal dengan sebutan “Gumi Bayan Gumi Nina”  atau bumi Bayan bumi perempuan. Sebutan ini memiliki arti bahwa penghormatan terhadap perempuan, terutama ibu yang telah mengandung, melahirkan, dan merawat anak-anaknya, sehingga pemberian ruang tertutup (rumah) terhadap ibu dan anak perempuan. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Saw yang artinya:
“ Dari Abu Hurairah berkata, “Datang seseorang kepada Rasulullah lalu bertanya, “Wahai Rasulullah, siapa yang paling berhak untuk saya berbuat baik padanya?”Rasulullah menjawab : Ibumu, Dia bertanya lagi : Lalu siapa? Rasulullah menjawab : Ibumu, dia bertanya lagi : Lalu siapa? Rasulullah kembali menjawab : Ibumu, lalu dia bertanya lagi : Lalu siapa? Rasulullah menjawab : Bapakmu.” (HR. Bukhari : 5971, Muslim : 2548)
Selain itu, sebutan tersebut menjadi falsafah kehidupan bermasyarakat di Bayan, yaitu manusia harus menghadapi segala masalah dengan jiwa yang tenang dan hati yang lembut seperti seorang perempuan. Perempuan adalah bagian utama dalam kehidupan di alam semesta, tidak akan baik sebuah kehiduan tanpa pengagungan dan penghormatan kepada mereka. Dan perempuan dalam menyelesaikan masalah tidak langsung menggunakan kekerasan namun dimusyawarahkan dengan baik. Ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Asy-Syura ayat 38 yang artinya:
 “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka”.
Konsep musyawarah merupakan salah satu pesan syari’at dalam berbagai bentuk pola kehidupan manusia, baik dalam suatu rumah kecil yakni rumah tangga yang terdiri anggota kecil keluarga, dan dalam bentuk rumah besar yakni sebuah negara yang terdiri dari pemimpin dan rakyat , konsep Musyawarah merupakan suatu landasan tegaknya kesamaan hak dan kewajiban dalam kehidupan manusia. Dan di Bayan sendiri setiap terjadi persoalan selalu diselesaikan dengan cara bermusyawarah sesuai dengan sebutan  “Gumi Bayan Gumi Nina”
Potong Loloq/Ngitanang
Seperti disebutkan diatas,  bahwa ritual yang dilaksanakan komunitas adat Wetu Telu dikelompokkan dalam tiga katagori, dan khusus potong loloq (sunat) termasuk katagori ritual gawe urip. Masyarakat Bayan meyakini tradisi Potong loloq  (ngitanang) bersumber dari ajaran Islam yang dalam kisahnya  memerintahkan Nabi Ibrahim dan anaknya Ismail sampai kepada Nabi Muhammad untuk sunat, sebagai tanda sudah masuk Islam. Di Bayan, anak yang belum di potong loloq masih dianggap Bodha, dan potong loloq merupakan tanda kalau sang anak sudah Islam.  Dan hal ini berkaitan erat dengan sabda Nabi Saw yang artinya:
 “Abu Hurairah juga mengatakan Rasulullah saw bersabda,”Barang siapa masuk Islam, hendaklah ia berkhitan walaupun sudah dewasa.” Khitan merupakan ajuran Rasul saw. Didalamnya terkandung hikmah-hikmah tertentu yang mungkin masih belum terungkap nilai manfaatnya secara menyeluruh dan utuh. Dengan demikian, berbagai dugaan terkait dengan adat Wetu Telu bisa saja muncul. Berbagai penelitian masih mungkin untuk dilakukan.
Ngitanang bagi masyarakat Bayan selain bermakna sebagai pengisalaman, juga dimaksudkan untuk syukuran karena anaknya sudah menginjak remaja. Termasuk syukur atas rizki dari yang kuasa karena dapat menyunatkan anaknya. Salah satu bentuk rasa syukur itu diwujudkan dalam bentuk potong kerbau (kao’), makan bersama (meriyap), pemberian seekor ayam jantan pada penjalak (tukang sunat), penabuhan gamelan adat, dan gendang beleq. Jika yang melaksanakan orang kaya, acara seperti ini akan diadakan selama dua sampai tiga hari, bahkan jika bersamaan dengan tahun Alif dilaksanakan sampai 9 hari.
Ngitanang di Bayan wajib untuk anak laki-laki. Lazimnya dilakukan saat anak berumur antara dua sampai sepuluh tahun. Pada umur ini, kulit loloq (kelamin laki-laki/penis) masih mudah untuk dipotong. Walaupun terkadang dirasa menakutkan, namun bagi anak-anak tertentu di Bayan ngitanang sangat ditunggu-tunggu, karena mereka akan mendapatkan banyak hadiah dan uang dari saudara-saudaranya. Mereka juga akan didandani pakaian adat, diarak dengan iringan gendang beleq, dan ditonton orang banyak.
Sebelum prosesi ngitanang dilakukan terlebih dahulu, diawali dengan mencari hari dan tanggal baik, seperti disebutkan seorang tokoh adat Karang Bajo, Kertamalip, bahwa waktu yang baik itu adalah hari Senin dan Kamis pada bulan Rabi’ul Awal, Rajab dan Sya’ban. Ini tentu berbeda dengan pelaksanan khitanan yang dilakukan oleh masyarakat kebanyakan di Bayan atau masyarakat lainnya yang ada di Lombok yang melakukan khitanan pada hari apapun.
Menurut Erni Budiwati (2000 : 188-189) dikalangan wetu telu Bayan, anak laki-laki dikhitan pada saat berusia antara 3 hingga 10 tahun seperti Buang Awu, Ngurisang,  mereka juga memandang khitanan sebagai symbol peng-Islaman. Seorang anak tetap Buda sampai dia dikhitan. Kedudukan Raden Penyunat/ tukang khitan seperti jabatan adat lainnya bersifat turun temurun.
Lalu mengapa khitanan harus dilakukan pada hari senin dan kamis? Menurut penuturan beberapa tokoh adat Bayan, hari senin dan kamis adalah hari yang mulia, karena pada hari senin Nabi Muhammad Saw dilahirkan, sedangkan hari kamis beliau diselmatakan dari mara bahaya. Selain itu masyarakat adat setempat juga mengaku bahwa pada hari senin Nabi Adam Alaihissalam  mulai menjalani kehidupan di syurga, sedangkan  hari kamis Siti Hawa diciptakan untuk menemani Nabi Adam As.
Selain alasan itu, masih ada lagi satu alasan yang mengemuka yakni dalam sejarah Nabi Muhammad Saw, pertama kali mengkhitan cucunya anak dari Sayyidina Ali, Ra pada hari senin. Berdasarkan beberapa alasan tersebut, sehingga komunitas adat di dusun Semokan melaksanakan acara khitanan pada hari senin dan kamis, sedangkan pada hari-hari lainnya tidak diperbolehkan. Dan ini masih tetap berlaku dari generasi ke generasi. “Biasanya hari senin prosesi khitanan dilakukan oleh komunitas Pembekelan Karang Bajo, Senaru dan sekitarnya. Sementara hari kamis ngitanang dilakukan oleh komunitas adat wet Kepembekelan Bayan Barat, Bayan Timur, Loloan dan sekitarnya”, jelas Kertamalip yang juga Kades Karang Bajo ini.
Menurut konsep keyakinan mereka, tidak diperbolehkan hari-hari lainnya untuk mengkhitan anak, karena hari selasa hari diciptakannya api oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Hari Rabu hari diciptakannya angin. Hari jum'at adalah hari yang suci, hari sabtu, hari diturunkannya segala wabah penyakit, dan hari ahad  merupakan hari diciptakannya syetan untuk menggoda umat manusia. Waalahu’alam.
Dalam buku Ensklopedia Islam diceritakan pula mengenai khitanan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW pada saat mengkhitan cucunya yaitu Hasan Bin Ali Bin Abi Thalib dan Husein Bin Ali Bin Abi Thalib pada saat mereka baru berusia 7 hari yang konon dilakukan pada hari Senin (Azyumardi Azra, 2002 : 332).
Berdasarkan keterangan ini, ada keyakinan bahwa nenek moyang dan para leluhur kita pernah mendengar tentang riwayat tersebut sehingga mereka melaksanakan khitanan pada hari Senin dan Kamis.  Dan ini diwariskan kepada anak cucu mereka hingga sekarang. Lalu adakah pantangannya bila tidak melakukan khitanan  anak pada hari senin atau kamis?
Bagi sebagian umat Islam, menentukan hari mengkhitan anak tidak ada pantangan, semua hari baik, kecuali hari Jum’at. Berbeda dengan komunitas adat Wetu Telu tidak semua hari bisa digunakan dalam melakukan acara ritual khitanan sebab ada pantangan yang diyakininya, yang bila pantangan ini dilanggar, maka akan menimbulkan suatu musibah. “Bila komunitas adat  melakukan khitanan selain hari Senin dan Kamis, maka anggota masyrakat akan ditimpa musibah bukan hanya kelurga si anak yang dikhitan, tetapi semua anggota komunitas adat, seperti penyakit dan sebagainya. Bahkan ada keyakinan anak yang dikhitan akan mengalami gangguan kesehatan (sakit) berkepanjangan”, kata Sirtawali, tokoh adat Sukadana.
Biasanya upacara khitanan dilaksanakan dalam dua bentuk, yaitu pertama, warga atau keluarga dipersilahkan melaksanakan sendiri, jika memang mampu secara ekonomi; kedua, sebaliknya dipersilahkan untuk melakukan bersama-sama (patungan), jika tidak mampu.  Pelaksanaan model kedua ini dikenal dengan sebutan begawe beleq.
Setelah hari dan tanggal ditetapkan,  tahap berikutnya adalah melakukan gundem (musyawarah) dengan mengumpulkan seluruh anggota keluarga (Kadang Jari) untuk memberitahukan tentang niatnya mengkhitan anaknya, kemudian barulah dilakukan persiapan mengumpulkan perlengkapan Gawe Nyunatang.  Perlengkapan yang dikumpulkan untuk prosesi ini mulai dari kayu, beras, kelapa, ketan, kambing atau kerbau bagi yang mampu, alat memasak dan lain-lain.  Semua persiapan ini dilakukan secara gotong royong, bahu membahu antar sesama komunitas adat. Seminggu sebelum hari H perhelatan nyunatang, seorang keluarga diutus untuk menyilak (mengundang) Raden Penyunat (Mak Lokak Penyunat/pencalak) atau juru khitan.
Tiga atau dua hari sebelum dilaksanannya khitanan, sang anak yang akan di khitan biasanya dibawa oleh orang tuanya untuk berziarah ke makam-makam yang dikeramatkan dan makam keluarganya. Ini disebut dengan ritual Ngaji Makam. Tujuan acara  ritual ini adalah untuk memohon doa keselamatan kepada arwah leluhur mereka agar anak yang akan dikhitan diberikan keselamatan dan  dijauhkan dari marabahaya dan petaka.
Caranyapun cukup sederhana, yakni   setelah sampai di makam yang diniatkan, maka dilakukan pembersihan kuburan (makam),  kemudian di atas kuburan tersebut ditaruh sebuah mangkok dari kuningan (bokor) yang diisi dengan air. Selain itu, dibuat juga sesaji dan sembek serta pendupaan dari kemenyan.  Persiapan lain yang  dibawa berupa  ketupat, tikel (ketan yang bungkus dengan daun kelapa muda), dan makanan-makanan lainnya. Sementara air yang diisi di bokor ini dibawa kesetiap makam yang akan dikunjungi oleh keluarga si anak yang dikhitan. Karena  menurut kepercayaan komunitas adat setempat,  mamfaat dari air tersebut untuk memudahkan si anak dikhitan oleh Raden Penyunat(Mak Lokaq Penyunat/pencalak), dan air tersebut akan dipercikkan pada kemaluan si anak, sebelum memotong kulub dari kemaluan anak tersebut.
Tahapan berikutnya adalah persiapan ritual berendam (Nyengkrem) di sungai. Dalam acara  ini sang anak diiringi dan diarak ke sungai dengan menggunakan tandu   yang dipikul oleh empat orang pria dan di iringi oleh orang banyak.  Bagi keluarga yang mampu arak-arakan menuju sungai biasanya diiringi oleh kesenian Gong. (gendang beleq).  Sebelum meninggalkan tempat berendam tersebut terlebih dahulu sang anak mengambil air doa yang dilakukan seperti berwuduk, barulah  pulang dengan mengenakan kain Tembasak (kain kapan) bersama para pengiringnya, dan di sambut  oleh keluarganya,  untuk diberikan pakaian yang serba baru mulai dari Sapuq, Dodot dan Sabuq (ikat pinggang). Setelah berpakaian rapi, lalu dibawa keberugak kagungan oleh orang tuanya yang kemudian diberikan kepada Amaq Penyilaq untuk diserahkan  ke Mak Lokaq Penyunat yang akan mengkhitannya.
Peralatan  dan Nilai-Nilai Khitan
Peralatan yang digunakan dalam ngitanang cukup sederhana yaitu pisau kecil  bergagang kayu kelapa yang sudah diasah dengan tajam, khusus buat potong loloq. Pisau ini hanya dimiliki oleh pencalak. Bambu penjepit loloq, yaitu dua buah bilah bambu kecil berbentuk pipih yang ditangkupkan sehingga menyerupai supit. Fungsinya untuk menjepit loloq yang sudah ditarik kulitnya, untuk kemudian dipotong dengan pisau kecil.
 Selain itu disediakan  aik mel-mel, yaitu air putih biasa yang sudah dibacakan mantra oleh kyai, fungsinya untuk membasuh loloq yang akan dipotong, dan konon secara magis dapat mengurangi rasa sakit (dalam konteks ini, air mantra untuk pembiusan). Bejana dari kuningan berukuran sedang. Alat ini digunakan untuk menaruh beras, kain putih, daun sirih, kapur, dan benang. Bahan-bahan ini merupakan persyaratan adat yang hanya diketahui maksudnya oleh pencalak dan kyai. Dua buah kelapa tua kering. Digunakan sebagai tempat duduk anak saat dipotong loloqnya. Campuran ramuan dedaunan, yang  digunakan untuk mengolesi bekas luka potongan agar tidak banyak keluar darah dan cepat sembuh. Ini juga dipakai untuk mengolesi kening sang anak, fungsinya sebagai sembek (berkah dan lindungan dari yang kuasa). Peralatan untuk menjahit bekas potongan, seperti jarum, benang, gunting, perban, obat luka dan alkohol untuk bius. Dan calak biasanya didampingi petugas medis.     
Pelengkap pendukung lainnya adalah,  benang setukel,  kepeng bolong, beras, telur ayam, daun sirih, senget (kapur), buah pinang, rombong beras lengkap dengan tutupnya serta lain-lain.  Sesaat sebelum khitanan dimulai, beberapa orang melakukan tarian Gegeruk Tandak.  Setelah selesai, orang-orang berkumpul untuk makan bersama (meriyap). Bagi anak yang masih kesakitan dan keluar darah akan dimintakan sembek lagi kepada penjalak. Walaupun alat yang digunakan masih tradisional dan sederhana tetapi masyarakat setempat, lebih memilih alat dan cara tradisional untuk menghitan anaknya, ketimbang cara modern. Ini karena mereka mentaati norma atau hukum adat yang berlaku  diwariskan secara turun temurun oleh para tetua terdahulu.

Dalam prosesi adat ngitanang ini pencalak (juru khitan) membaca doa sessat sebelum ngitanan dimulai dengan membaca Bismillah, shalawat kepada Nabi sambil mengunyah sirih bercampur isi buah pinang sambil membaca do’a: Gusti bumi, Bapak bumi, Ibu bumi, yang menguasai alam semesta. Disini kami berkumpul, kami anak-anakmu, mau melaksanakan upacara adat ngitanang, berkah Nabi Ibrahim dan Ismail, semoga menjadi keinginanmu juga. Amin

Adapun nilai-nilai yang terkandung dalam ngitanang ini antara lain, Pertama, nilai kebersamaan. Ini  tercermin mulai dari proses pengumpulan bahan makanan hingga menyiapkan arak-arakan anak yang dipotong loloqnya.  Semua keluarga, saudara dan sahabat berbaur untuk ikut mengarak, bahkan secara bergantian ikut memanggul sang anak yang akan dikhitan. Rasa kebersamaan sebagai sebuah keluarga yang saling membutuhkan dalam kehidupan sosial seakan lebur dalam prosesi ini. Kedua,   nilai ketaatan pada agama dan adat. Upacara ngitanang merupakan perintah agama Islam sekaligus adat. Dan sebagai masyarakat pemeluk agama Islam dan penjaga adat, upacara ngitanang bagi orang Bayan merupakan ketaatan atas keduanya yaitu agama dan adat. Dan ketiga, Nilai kebahagiaan. Nilai ini dirasakan oleh para orangtua anak yang ikut ngitanang. Mereka bahagia karena anaknya telah masuk Islam, dengan demikian ngitanang merupakan simbol pengIslaman orang Bayan.

Sementara mamfaat khitan secara medis adalah dapat  mengurangi resiko terkena kanker cervix (leher rahim) pada pasangan; mengurangi resiko terkena kanker penis,mengurangi resiko terkena kanker Prostat; Mudah dalam menjaga kebersihan penis, terutama bagian kepala penis (glands) dimana jika tidak di sunatmaka kotoran dan bau yang tidak sedap bersarang di tempat itu.

Selain itu, khitan juga dapat mencegah inflamasi atau menghindari timbulnya bengkak di kepala penis dan daerah kulit kulup; mengurangi resiko terkena human immunodeficiency virus (HIV). mengurangi resiko infeksi saluran kencing, karena dengan terbukanya kepala penis maka air kencing (urine) tidak terhalang untuk keluar; Dan  khitan dapat mencegah timbulnya bekas luka pada kulit kepala penis, yang mungkin disebabkan oleh phimosi  (ketidakmampuan untuk menarik masuk kulup) dan paraphimosis (kemampuan untuk menarik kulit kulup hingga kepala penis terlihat, tetapi tidak dapat kembali lagi ke bentuk semula) serta dapat mengurangi resiko terkena infeksi yang ditularkan dari kegiatan seksual, seperti syphilis, ghonore, dll.  Semoga perpaduan keduanya tetap berjalan dengan harmonis dan mengarahkan kesadaran masyarakat Bayan dan sekitarnya akan keberagaman hidup yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar