Lombok Utara - Fasilitator PNPM Generasi Sehat dan Cerdas (GSC) Kabupaten Lombok Utara, Drs. Abdurrahman mengetakan, dalam menentukan dan menetapkan program skala prioritas jangan sampai terjadi tumpang tindih.
Penegasan tersebut disampaikan ketika memberikan arahan dan Musyawarah Desa (MD) penetapan kegiatan PNPM GSC (9/11/11) di aula kantor Desa Senaru.
Menurutnya, sesuai informasi yang diterima pada beberapa pertemuan, khususnya dana untuk pendidikan, ternyata setelah dipertanyakan di masing-masing sekolah ada dua sumber pendanaan yang ada yaitu dana Bantuan Oprasional sekolah (BOS) dan dana Bantuan Siswa Miskin (BSM).
Melihat kondisi ini, Abdurrahman meminta, agar dalam menetapkan skala prioritas kegiatan GSC, hal ini perlu dipertimbangkan, yang bila tidak muncul pada usulan, masyarakat harus memakluminya, karena PNPM GSC tidak mengharapkan ada sumber dana yang double, supaya kegiatan yang satu dengan yang lainnya tidak terjadi benturan di lapangan.
“Artinya begini, PNPM Generasi sudah membiayai suatu kegiatan, tapi ada program lain yang membiayai hal yang sama, sehingga terjadi tumpang tindih, dan ini perlu diketahui oleh masyarakat, sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan ditingkat lapangan”, jelasnya.
Berkaitan dengan prioritas kegiatan, tentu berdasarkan renking yang sesuai dengan acuan PTO (Petunjuk dan Teknis Oprasional) yang ada di PNPM generasi. “Program ini sesuai dengan namanya yaitu GSC, artinya untuk kesehatan dan pendidikan”, katanya.
Dalam bidang pendidikan, menurut Abdurrahman yang paling diutamakan adalah anak yang tak pernah sekolah sama sekali yang usianya 7 – 15 tahun atau ukuran SD-SMP, dan ini yang perlu diperhatikan, bagaimana anak ini bisa berskolah dan itu yang diharapkan oleh pemerintah.
Kemudian anak yang putus sekolah, yang barangkali dia kelas II atau kelas III, lalu berhenti sekolah karena tidak ada biaya atau orang tuanya tidak mampu membiayainya, pun mungkin karena sikap orang tua yang kurang tau mamfaat pendidikan bagi anaknya, dan ini perlu diperhatikan.
Dan yang terakhir anak yang terancam putus sekolah. Namun sering kita artikan bahwa anak yang terancam putus sekolah itu karena orang itu miskin. Padahal, anak itu rajin masuk sekolah meskipun seragamnya cuma satu. Dan itu bukan menjadi sasaran program, karena yang dilihat adalah kuantitas.
“Yang dimaksud dengan terancam putus sekolah ini adalah apabila tingkat kehadiran siswa bersangkutan kurang dari 85 persen, dan itu yang perlu diperhatikan, yang kemungkinan jarak tempat tinggalnya yang jauh dari sekolah, atau belum sarapan sehingga perlu dianggarkan biaya transfortasi dari PNPM GSC”, kata Abdurrahman.
Tapi, lanjut Abdurrahman, ada juga orang tua acuh tak acuh terhadap pendidikan anaknya sehingga, sehingga ana usia pendidikan disuruh bekerja, karena pemikirannya setelah taman nanti toh juga dia akan menjadi buruh.
“Dan orang tua seperti ini tentu perlu penyadaran sehingga perlu diprogramkan penyuluhan tentang pentingnya pendidikan ataupun kesehatan”, jelasnya.
Disisi kesehatan, menurut Abdurrahman, seringkali yang kelihatan adalah persoalan gizi, sementara Bawah Garis Merah (BGM) terlupakan. “Dan ini pengalaman kami ketika melakukan MD penetapan kegiatan di sebuah desa dimana yang tampak adalah persoalan gizi, padahal bayi-balita yang mengalami BGM itu cukup banyak hingga mencapai 43 orang”, katanya tanpa menyebut nama desanya.
Dalam MD Penetapan jangan sampai terlupakan persoalan BGM, sebab bila terlambat ditangani tentu kasian juga terhadap anak tersebut, karena bisa mengakibatkan terjadinya gizi buruk bahkan sampai meninggal, dan ini perlu mendapat perhatian kita bersama.
Berikutnya, ada ibu hamil yang jarang memeriksa ke hamilannya, sehingga terjadi kerawanan ketika melahirkan, dan ini perlu juga ditangani, atau kadang-kadang ibu hamil melahirkan ke dukun karena kurang percaya terhadap petugas. Dalam hal ini butuh pembinaan.
Terakhir persoalan kesehatan adalah bayi-balita yang jarang memeriksa ke Posyandu, sehingga kita tidak bisa mengetahui apakah anak itu BGM atau tidak. Dan inilah yang perlu penyluhan, karena selama ini kalau kita melihat tampa ada penyuluhan, mereka tidak mau membawa anaknya ke Posyandu.
Padahal kalau kita sadar untuk mengetahui anak itu sehat atau tidak, kan harus diperiksa secara medis. Jadi kita minta bantuan agar kader-kader Posyandu untuk mensosialisasikan hal ini ke tingkat lapangan”, harapnya. (ari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar