Mataram - Nusa Tenggara Barat (NTB), khususnya Lombok saat ini bukan lagi menjadi daerah transit bagi praktik kejahatan perdagangan orang (human trafficking). Namun Pulau Lombok kini diduga sudah menjadi tujan praktik trafficking.
Hal tersebut diungkapkan Koordinator RPTC (Rumah Perlindungan Trauma Center), Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil NTB, Drs.Dikdik Kurnadila, Kamis (5/8) kemarin.
“Kalau di dalam peta trafficking, Lombok ini dahulunya adalah daerah transit, tapi sekarang sudah menjadi derah tujuan,”ungkapnya.
Dugaan itu berdasarkan, akhir-akhir ini banyak wanita korban trafficking yang ditangkap berasal dari luar daerah NTB. Seperti daerah Jawa Barat, Jawa Timur, hingga Nusa Tenggara Timur. Hal tersebut juga ia buktikan dengan kasus larinya tiga orang wanita asal Jakarta dan Cilacap, awal tahun 2011 lalu yang sempat ditangani pihaknya. Mereka melarikan diri setelah akan dipekerjakan sebagai pekerja seks di sebuah kafe di Lombok.
Menurut Dikdik, dijadikannya Lombok sebagai daerah tujuan trafficking karena Pulau Lombok saat ini menjadi salah satu kawasan wisata yang semakin diminati. Seiring dengan itu, bisnis tempat hiburanpun semakin marak dan menjanjikan.
Sebelumnya Dikdik menjelaskan, pengertian kejahatan trafficking selama ini sering keliru dan menganggap para wanita pekerja seks bukan termasuk dalam trafficking.Padahal jika mengacu pada undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang, wanita pekerja seks juga termasuk salah satu bentuk tindak kejahatan trafficking. Ia menjelaskan dalam human trafficking adalah perdagangan manusia dengan adanya eksploitasi baik dalam bentuk seksual maupun bentuk ekonomi.
Ia menambahkan, angka kejahatan perdagangan wanita yang menjadi korban trafficking sebanyak 91 korban. Jumlah tersebut belum termasuk kedalam jumlah para wanita pekerja seks yang jumlahnya mencapai ratusan. Dengan perincian yakni tahun 2008 sebanyak 132 orang korban dengan 108 WTS, tahun 2009 sebanyak 131 korban dengan 102 WTS, tahun 2010 sebanyak 127 korban dengan 121 WTS, dan tahun 2011 per bulan Juli tercatat sebanyak 98 korban dengan 68 orang WTS.
“Tidak semua kasus tersebut maju ke meja hijau, karena kita kekurangan bukti. Sejak tahun 2008 yang baru diselesaikan ke meja hijau hanya 4 kasus,”katanya.
Para pelaku kejahatan trafficking saat ini sudah semakin profesional, sebab modus penjualan manusia yang digunakan sudah semakin sulit dideteksi. Jika dahulu pelaku kejahatan tersebut ikut mengatarkan para korban hingga ke daerah tujuan, namun sekarang mereka sudah memiliki jaringan dan sindikat yang kuat.
“Ilmu penjahat selangkah sudah lebih maju daripada polisi,”katanya.
Dikdik mengatakan, sebagian besar mereka yang menjadi korban trafficking berasal dari desa dengan latar belakang pendidikan dan ekonomi yang tertinggal. Sehingga mereka lebih mudah untuk dibujuk dengan janji manis akan dipekerjakan di daerah lain dengan gaji yang besar. Namun setelah sampai di daerah tujuan biasanya mereka dijerat dengan hutang dan akhirnya terpaksa menjadi pekerja seks.
Lebih lanjut Dikdik mengatakan, dalam penanganan dan pemberdayaan kembali para korban trafficking, RPTC hanya mampu menampung mereka selama satu bulan. Oleh karena itu, ia bekerja sama dengan pihak Panti Sosial Karya Wanita Budi Rini, Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil NTB.
Namun persepsi masyarakat yang selama ini masih menggap bahwa Panti Budi Rini sebagai tempat rehabilitasi pekerja seks. Anggapan semacam itu kerap kali menjadi kendala dan membuat masyarakat enggan memasukan keluarganya ke Panti Budi Rini. Pergantian nama dirasa sangat perlu untuk efektivitas panti sosial tersebut. (sir)
Hal tersebut diungkapkan Koordinator RPTC (Rumah Perlindungan Trauma Center), Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil NTB, Drs.Dikdik Kurnadila, Kamis (5/8) kemarin.
“Kalau di dalam peta trafficking, Lombok ini dahulunya adalah daerah transit, tapi sekarang sudah menjadi derah tujuan,”ungkapnya.
Dugaan itu berdasarkan, akhir-akhir ini banyak wanita korban trafficking yang ditangkap berasal dari luar daerah NTB. Seperti daerah Jawa Barat, Jawa Timur, hingga Nusa Tenggara Timur. Hal tersebut juga ia buktikan dengan kasus larinya tiga orang wanita asal Jakarta dan Cilacap, awal tahun 2011 lalu yang sempat ditangani pihaknya. Mereka melarikan diri setelah akan dipekerjakan sebagai pekerja seks di sebuah kafe di Lombok.
Menurut Dikdik, dijadikannya Lombok sebagai daerah tujuan trafficking karena Pulau Lombok saat ini menjadi salah satu kawasan wisata yang semakin diminati. Seiring dengan itu, bisnis tempat hiburanpun semakin marak dan menjanjikan.
Sebelumnya Dikdik menjelaskan, pengertian kejahatan trafficking selama ini sering keliru dan menganggap para wanita pekerja seks bukan termasuk dalam trafficking.Padahal jika mengacu pada undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang tindak pidana perdagangan orang, wanita pekerja seks juga termasuk salah satu bentuk tindak kejahatan trafficking. Ia menjelaskan dalam human trafficking adalah perdagangan manusia dengan adanya eksploitasi baik dalam bentuk seksual maupun bentuk ekonomi.
Ia menambahkan, angka kejahatan perdagangan wanita yang menjadi korban trafficking sebanyak 91 korban. Jumlah tersebut belum termasuk kedalam jumlah para wanita pekerja seks yang jumlahnya mencapai ratusan. Dengan perincian yakni tahun 2008 sebanyak 132 orang korban dengan 108 WTS, tahun 2009 sebanyak 131 korban dengan 102 WTS, tahun 2010 sebanyak 127 korban dengan 121 WTS, dan tahun 2011 per bulan Juli tercatat sebanyak 98 korban dengan 68 orang WTS.
“Tidak semua kasus tersebut maju ke meja hijau, karena kita kekurangan bukti. Sejak tahun 2008 yang baru diselesaikan ke meja hijau hanya 4 kasus,”katanya.
Para pelaku kejahatan trafficking saat ini sudah semakin profesional, sebab modus penjualan manusia yang digunakan sudah semakin sulit dideteksi. Jika dahulu pelaku kejahatan tersebut ikut mengatarkan para korban hingga ke daerah tujuan, namun sekarang mereka sudah memiliki jaringan dan sindikat yang kuat.
“Ilmu penjahat selangkah sudah lebih maju daripada polisi,”katanya.
Dikdik mengatakan, sebagian besar mereka yang menjadi korban trafficking berasal dari desa dengan latar belakang pendidikan dan ekonomi yang tertinggal. Sehingga mereka lebih mudah untuk dibujuk dengan janji manis akan dipekerjakan di daerah lain dengan gaji yang besar. Namun setelah sampai di daerah tujuan biasanya mereka dijerat dengan hutang dan akhirnya terpaksa menjadi pekerja seks.
Lebih lanjut Dikdik mengatakan, dalam penanganan dan pemberdayaan kembali para korban trafficking, RPTC hanya mampu menampung mereka selama satu bulan. Oleh karena itu, ia bekerja sama dengan pihak Panti Sosial Karya Wanita Budi Rini, Dinas Sosial Kependudukan dan Catatan Sipil NTB.
Namun persepsi masyarakat yang selama ini masih menggap bahwa Panti Budi Rini sebagai tempat rehabilitasi pekerja seks. Anggapan semacam itu kerap kali menjadi kendala dan membuat masyarakat enggan memasukan keluarganya ke Panti Budi Rini. Pergantian nama dirasa sangat perlu untuk efektivitas panti sosial tersebut. (sir)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar