Mataram - Koeshardi Anggarat alias Mamiq Adot akhirnya hadir sebagai saksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi APBD 2003, Kamis (3/2) kemarin. Pada kesempatan itu, terdakwa Rachmat Hidayat buka-bukaan. Dia mengaku dijerumuskan mantan Gubernur NTB, Drs.H.Harun Al-Rasyid.
Pernyataan itu dilontarkan Rachmat setelah gerah mendengar pengakuan Adot yang mengaku banyak tidak tahu soal peristiwa tahun 2003. Disebut Rachmat, ada SK nomor 90 Tahun 2001 yang dikeluarkan Harun Al-Rasyid terkait penyesuaian keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD NTB.
Menurut Rachmat, berdasarkan berita acara itulah dia akhirnya dijerat Kejaksaan dan ditetapkan sebagai tersangka. Dia pun pernah mengkonfrontir langsung dengan Harun Al-Rasyid. ‘’Jawaban Harun, nanti suatu saat saya akan diberitahukan,’’ tutur Rachmat. Karena tidak puas, pertanyaan sama pun dilontarkan saat bertemu Harun di Jakarta.
Betapa terkejutnya dia, ketika yang dimaksud Harun adalah kuat kaitannya dengan urusan politik. Masih dijelaskan Rachmat, SK itu ternyata dikeluarkan untuk menjegal dirinya di pemilihan Gubernur dalam parlemen saat itu. “Jika SK itu tidak dikeluarkan, maka dia (Harun, red) terancam tidak bisa ikut pemilihan Gubernur,” kata Rachmat dihadapan sidang yang dipimpin H. Ali Makki SH MH itu. Dia sendiri mengaku heran dan tidak terlalu paham dengan pernyataan itu. Namun disimpulkannya, proses hukum itu sejak awal bermuatan politis.
Rachmat juga sedikit kecewa dengan sederet pernyataan Adot yang banyak mangkir dari berbagai peristiwa tahun 2003. “Kalau saksi (Adot, red) bisa mengelak dari pertanyaan pengacara, maka dari pertanyaan saya Anda tidak bisa menghindar,” kata Rachmat mengomentari sikap Adot selama persidangan.
Dibeberkannya, pada tahun 2007, antara Adot dengan Serinata terjadi perpecahan padahal satu partai, Golkar. Persis tanggal 28 Maret 2007, Rachmat mengaku didatangi Adot dan menunjukkan bukti temuan BPK yang akan menjadi senjata untuk menjerumuskan Serinata ke proses hukum. Akan tetapi Rachmat saat itu memposisikan dirinya sebagai “pahlawan”.
“Saya menenangkan keduanya agar tidak terjadi perseteruan. Saya kenal keduanya sebagai saudara,” aku Rachmat. Dia juga meralat pernyataan Adot soal rapat yang berlangsung tahun 2003. Selama kurun 2003, dia mengaku tidak pernah hadir rapat, kecuali menghadiri salah satu agenda paripurna.
Sementara Adot dalam keterangannya tidak kalah megejutkan. Dia berubah pikiran soal kepastian hukum tentang pos anggaran lain-lain dalam APBD 2003 sebesar Rp 13 Milyar. Pada BAP Kejaksaan sebelumnya, dia menyebut dalam kasus itu menyalahi prosedur alias tidak sesuai ketentuan. Namun pada persidangan, dia mencabut keterangannya itu. ‘’ Di Kejaksaan saya tidak disumpah. Sedangkan di sidang ini saya disumpah, sehingga harus jujur,” kata Adot.
Dasar hukum dimaksudnya, Undang-undang 22 Tahun 1999, Undang-undang nomor 4 Tahun 1999, PP 110 tahun 2000 dan ditindaklanjuti SK Gubernur. “Saya mencabut dakwaan yang menyebut anggaran itu tidak ada dasar hukumnya,” tegasnya lagi.
Hakim membacakan soal penerimaan diluar gaji. Adot menerima Rp 223 juta. Mantan politisi Golkar ini sempat mengrenyitkan dahi dan mengaku tidak tahu soal besaran itu. Keterkaitan dengan posisi Rachmat sebagai Ketua Panggar, secara lugas disebutnya. Rachmat sebagai ex officio Ketua Dewan berperan memimpin rapat-rapat. Adot yang mengakui adanya rapat panggar, namun tidak jelas kapan waktunya. “Kalau ada rapat panggar, Pak Rachmat selalu di samping saya kok,” tuturnya.
Adot sempat terdesak dan akhirnya bertutur soal dana asuransi yang dipotong untuk lobi ke Mendagri dan Kejaksaan Agung. Dia tidak mangaku ada potongan dana, namun mengaku pernah ke Mendagri untuk konsultasi APBD 2001-2002 yang saat itu bermasalah. “Saya saat itu diajak Tayeb,” akunya. Diperjelasnya, kedatangannya ke Mendagri untuk mengkonsultasikan kasus APBD 2001-2002 yang menjerumuskannya ke proses hukum. “Soal biaya Rp 10 juta itu tidak tahu,” pungkasnya.
Setelah sidang diskors Isoma, dilanjutkan hingga pukul 14.00 Wita. Sidang rencananya dilanjutkan Jumat hari ini. (ars/Suarantb)
Pernyataan itu dilontarkan Rachmat setelah gerah mendengar pengakuan Adot yang mengaku banyak tidak tahu soal peristiwa tahun 2003. Disebut Rachmat, ada SK nomor 90 Tahun 2001 yang dikeluarkan Harun Al-Rasyid terkait penyesuaian keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD NTB.
Menurut Rachmat, berdasarkan berita acara itulah dia akhirnya dijerat Kejaksaan dan ditetapkan sebagai tersangka. Dia pun pernah mengkonfrontir langsung dengan Harun Al-Rasyid. ‘’Jawaban Harun, nanti suatu saat saya akan diberitahukan,’’ tutur Rachmat. Karena tidak puas, pertanyaan sama pun dilontarkan saat bertemu Harun di Jakarta.
Betapa terkejutnya dia, ketika yang dimaksud Harun adalah kuat kaitannya dengan urusan politik. Masih dijelaskan Rachmat, SK itu ternyata dikeluarkan untuk menjegal dirinya di pemilihan Gubernur dalam parlemen saat itu. “Jika SK itu tidak dikeluarkan, maka dia (Harun, red) terancam tidak bisa ikut pemilihan Gubernur,” kata Rachmat dihadapan sidang yang dipimpin H. Ali Makki SH MH itu. Dia sendiri mengaku heran dan tidak terlalu paham dengan pernyataan itu. Namun disimpulkannya, proses hukum itu sejak awal bermuatan politis.
Rachmat juga sedikit kecewa dengan sederet pernyataan Adot yang banyak mangkir dari berbagai peristiwa tahun 2003. “Kalau saksi (Adot, red) bisa mengelak dari pertanyaan pengacara, maka dari pertanyaan saya Anda tidak bisa menghindar,” kata Rachmat mengomentari sikap Adot selama persidangan.
Dibeberkannya, pada tahun 2007, antara Adot dengan Serinata terjadi perpecahan padahal satu partai, Golkar. Persis tanggal 28 Maret 2007, Rachmat mengaku didatangi Adot dan menunjukkan bukti temuan BPK yang akan menjadi senjata untuk menjerumuskan Serinata ke proses hukum. Akan tetapi Rachmat saat itu memposisikan dirinya sebagai “pahlawan”.
“Saya menenangkan keduanya agar tidak terjadi perseteruan. Saya kenal keduanya sebagai saudara,” aku Rachmat. Dia juga meralat pernyataan Adot soal rapat yang berlangsung tahun 2003. Selama kurun 2003, dia mengaku tidak pernah hadir rapat, kecuali menghadiri salah satu agenda paripurna.
Sementara Adot dalam keterangannya tidak kalah megejutkan. Dia berubah pikiran soal kepastian hukum tentang pos anggaran lain-lain dalam APBD 2003 sebesar Rp 13 Milyar. Pada BAP Kejaksaan sebelumnya, dia menyebut dalam kasus itu menyalahi prosedur alias tidak sesuai ketentuan. Namun pada persidangan, dia mencabut keterangannya itu. ‘’ Di Kejaksaan saya tidak disumpah. Sedangkan di sidang ini saya disumpah, sehingga harus jujur,” kata Adot.
Dasar hukum dimaksudnya, Undang-undang 22 Tahun 1999, Undang-undang nomor 4 Tahun 1999, PP 110 tahun 2000 dan ditindaklanjuti SK Gubernur. “Saya mencabut dakwaan yang menyebut anggaran itu tidak ada dasar hukumnya,” tegasnya lagi.
Hakim membacakan soal penerimaan diluar gaji. Adot menerima Rp 223 juta. Mantan politisi Golkar ini sempat mengrenyitkan dahi dan mengaku tidak tahu soal besaran itu. Keterkaitan dengan posisi Rachmat sebagai Ketua Panggar, secara lugas disebutnya. Rachmat sebagai ex officio Ketua Dewan berperan memimpin rapat-rapat. Adot yang mengakui adanya rapat panggar, namun tidak jelas kapan waktunya. “Kalau ada rapat panggar, Pak Rachmat selalu di samping saya kok,” tuturnya.
Adot sempat terdesak dan akhirnya bertutur soal dana asuransi yang dipotong untuk lobi ke Mendagri dan Kejaksaan Agung. Dia tidak mangaku ada potongan dana, namun mengaku pernah ke Mendagri untuk konsultasi APBD 2001-2002 yang saat itu bermasalah. “Saya saat itu diajak Tayeb,” akunya. Diperjelasnya, kedatangannya ke Mendagri untuk mengkonsultasikan kasus APBD 2001-2002 yang menjerumuskannya ke proses hukum. “Soal biaya Rp 10 juta itu tidak tahu,” pungkasnya.
Setelah sidang diskors Isoma, dilanjutkan hingga pukul 14.00 Wita. Sidang rencananya dilanjutkan Jumat hari ini. (ars/Suarantb)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar