Perkawinan adat Bayan di Kabupaten Lombok Utara (KLU) memiliki keunikan yang tidak ditemukan di daerah lainnya. Apalagi yang menikah itu, berasal dari keluarga bangsawan. Mereka punya tradisi khusus yang masih terpelihara secara lestari hingga saat ini. Apa saja keunikannya?
PERKAWINAN Dende Peniwarni, SE (43) dengan Slamet Riady, S.IP (45), sebenarnya sudah berlangsung tujuh tahun lalu. Pada saat itu, perkawinan keluarga bangsawan ini, hanya berupa akad nikah secara muslim. Tujuh tahun masa perkawinannya, pasangan ini sekarang sudah dikarniai tiga orang anak. Namun demikian, tenggang waktu pernikahan yang cukup lama, tidak serta merta mengabaikan pernikahan secara adat yang sudah berlangsung secara turun temurun.
Prosesi secara adat itu, baru bisa berlangsung Sabtu (28/11) lalu. Prosesinya dikenal dengan sorong serah aji krama adat yang artinya menyerahkan sejumlah material kepada mempelai wanita. Pada prosesi adat ini, pengantin pria menyerahkan sejumlah material yang ditetapkan dalam adat. Yakni 11 ekor sapi, 44 buah tombak, kain putih sebanyak 44 lembar masing-masing ukuran 1 meter. Selain itu, ada juga material lainnya yang melengkapi. Diantaranya beras, sejumlah uang dan beberapa bahan keperluan lain yang ditetapkan dalam perkawinan adat Bayan.
Penyerahan seserahan kepada keluarga perempuan itu berlangsung di kampu (rumah tempat berlangsungnya ritual adat Bayan). Dende Peniwarni yang dikonfirmasi menjelaskan, saat dipersunting oleh suaminya pada 1 Juni 2003 lalu ia setuju kapan saja diadakan upacara perkawinan adat asalkan dipenuhi tuntutan adat Bayan. Seperti gayung bersambut tuntutan itu disanggupi oleh Slamet Riady, karyawan BPM KLU. Kegiatan itu berlangsung di Bayan Timur, Desa Bayan Beleq.
‘’Kapan mampu bayar adapt, itu tidak dipaksakan. Yang kawin belakangan juga diberlakukan adat yang sama,’’jelas Dende Peniwarni, karyawan Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (PPKAD) KLU ini.
Saat acara itu berlangnsung, banyak kerabat dan keluarga Dende Peniwarni dan Slamet Riady menyaksikan ritual itu. Prosesi ritual itu berlangsun sesuai dengan yang direncanakan. Sebelas ekor sapi dan bahan lainnya yang diserahkan ke kampu dibawa sejumlah warga dipimpin oleh pembayun atau utusan pihak laki bersama sejumlah rombongan.
Tokoh adat Bayan R.Asjanom menerangkan kegiatan ini merupakan proses adat perkawinan di Bayan yang masih dipertahankan sampai kini. Menurut Asjanom, jika yang bersangkutan belum membayar tampah wiring (seserahan seperti 11 ekor sapi) mereka belum bisa mengikuti ritual di kampu.
Jika misalnya ritual ada tak bisa dilaksanakan, Saidah selaku pembayun menjelaskan dedosan atau denda yang dikenakan. Dalam perkawinan adat jika ada pelanggaran yang dilakukan, perempuan yang selarian akan dihitung berapa kali yang dilewati saat ia meninggalkan rumah.
Tiap dusun di Bayan besarnya dedosan berbeda. Yang menentukan dedosan bukan orang tua perempuan melainkan oleh keluarganya sesuai ketentuan adat setempat. Menurut R. Sawinggih syarat perkawinan adat Bayan memang berat, sehingga kawin cerai jarang terjadi. ‘’Bisa dibandingkan dengan di tempat lain, di Bayan jarang ditemukan laki-laki sering kawin. Ini karena adat yang kuat,’’jelas Sawinggih. (sam)
PERKAWINAN Dende Peniwarni, SE (43) dengan Slamet Riady, S.IP (45), sebenarnya sudah berlangsung tujuh tahun lalu. Pada saat itu, perkawinan keluarga bangsawan ini, hanya berupa akad nikah secara muslim. Tujuh tahun masa perkawinannya, pasangan ini sekarang sudah dikarniai tiga orang anak. Namun demikian, tenggang waktu pernikahan yang cukup lama, tidak serta merta mengabaikan pernikahan secara adat yang sudah berlangsung secara turun temurun.
Prosesi secara adat itu, baru bisa berlangsung Sabtu (28/11) lalu. Prosesinya dikenal dengan sorong serah aji krama adat yang artinya menyerahkan sejumlah material kepada mempelai wanita. Pada prosesi adat ini, pengantin pria menyerahkan sejumlah material yang ditetapkan dalam adat. Yakni 11 ekor sapi, 44 buah tombak, kain putih sebanyak 44 lembar masing-masing ukuran 1 meter. Selain itu, ada juga material lainnya yang melengkapi. Diantaranya beras, sejumlah uang dan beberapa bahan keperluan lain yang ditetapkan dalam perkawinan adat Bayan.
Penyerahan seserahan kepada keluarga perempuan itu berlangsung di kampu (rumah tempat berlangsungnya ritual adat Bayan). Dende Peniwarni yang dikonfirmasi menjelaskan, saat dipersunting oleh suaminya pada 1 Juni 2003 lalu ia setuju kapan saja diadakan upacara perkawinan adat asalkan dipenuhi tuntutan adat Bayan. Seperti gayung bersambut tuntutan itu disanggupi oleh Slamet Riady, karyawan BPM KLU. Kegiatan itu berlangsung di Bayan Timur, Desa Bayan Beleq.
‘’Kapan mampu bayar adapt, itu tidak dipaksakan. Yang kawin belakangan juga diberlakukan adat yang sama,’’jelas Dende Peniwarni, karyawan Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (PPKAD) KLU ini.
Saat acara itu berlangnsung, banyak kerabat dan keluarga Dende Peniwarni dan Slamet Riady menyaksikan ritual itu. Prosesi ritual itu berlangsun sesuai dengan yang direncanakan. Sebelas ekor sapi dan bahan lainnya yang diserahkan ke kampu dibawa sejumlah warga dipimpin oleh pembayun atau utusan pihak laki bersama sejumlah rombongan.
Tokoh adat Bayan R.Asjanom menerangkan kegiatan ini merupakan proses adat perkawinan di Bayan yang masih dipertahankan sampai kini. Menurut Asjanom, jika yang bersangkutan belum membayar tampah wiring (seserahan seperti 11 ekor sapi) mereka belum bisa mengikuti ritual di kampu.
Jika misalnya ritual ada tak bisa dilaksanakan, Saidah selaku pembayun menjelaskan dedosan atau denda yang dikenakan. Dalam perkawinan adat jika ada pelanggaran yang dilakukan, perempuan yang selarian akan dihitung berapa kali yang dilewati saat ia meninggalkan rumah.
Tiap dusun di Bayan besarnya dedosan berbeda. Yang menentukan dedosan bukan orang tua perempuan melainkan oleh keluarganya sesuai ketentuan adat setempat. Menurut R. Sawinggih syarat perkawinan adat Bayan memang berat, sehingga kawin cerai jarang terjadi. ‘’Bisa dibandingkan dengan di tempat lain, di Bayan jarang ditemukan laki-laki sering kawin. Ini karena adat yang kuat,’’jelas Sawinggih. (sam)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar