Minggu, 12 September 2010

Gema Takbir Dari Masjid Tua

Lombok Utra - Puluhan kiyai, penghulu, lebe dan ketip (khotib) dengan mengenakan baju dan ikat kepala berwarna putih, tampak memasuki masjid tua (kuno) yang terletak disebuah bukit di Desa Bayan Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara. Mereka duduk bersila beralaskan tikar pandan, dengan mengumandangkan suara takbir, tahlil dan tahmid, sebagai pertanda usainya mereka melaksanakan ibadah puasa.

Suasana masjid yang hanya ditempati pada acara-acara ritual keagamaan ini memang sedikit agak berbeda dengan kebanyakan masjid umat Islam di Pulau Lombok. Mengapa tidak, disamping atap dan pagar masjid terbuat dari bambu, juga lantainya belum tersentuh semen sedikitpun, sehingga untuk duduk perlu menggunakan alas berupa tikar yang terbuat dari pandan.

Selain itu pelaksanaan sholat Idul Fitri bagi masyarakat Islam adat Wetu Telu di Kecamatan Bayan, dilaksanakan tiga hari setelah 1 Syawal. Dan untuk tahun ini, masyarakat adat melaksanakan sholat Id, pada hari senin 13 September 2010 bertepatan dengan 4 Syawal 1431 H.

Sehari menjelang pelaksanaan sholat Id, berbagai persiapanpun dilakukan, seperti menyediakan makanan bagi para kiyai, pengulu dan tokoh masyarakat yang akan menjalankan sareat (syari’at) Idul Fitri, mengeluarkan zakat, dan lain-lain.

Dalam hal zakat fitrah, masyarakat adat Wetu Telu bukan saja mengeluarkan makanan pokok seperti beras saja, tapi juga dilengkapi dengan berbagai hasil bumi lainnya yang diserahkan kepada para tokoh agama.

Setelah semua persiapan selesai, pada hari H Idul Fitri, puluhan tokoh agamapun mendatangi masjid kuno Bayan untuk menggemakan suara takbir. Hanya saja pada acara sholat Id bukan diikuti oleh semua masyarakat adat, akan tertapi dilakukan oleh para pengulu, kiyai, ketib, modin dan kiyai santri, yang jumlahnya tidak lebih dari 44 orang.

Mengapa setelah tiga hari baru dilakukan sholat Id? Menjawab pertanyaan ini salah seorang tokoh setempat yang enggan dipublikasikan namanya mengatakan, bahwa memang ini peninggalan nenek moyang mereka.

“Pada jaman penjajahan Belanda dulu, setiap tanggal 1 Syawal, daerah Bayan selalu mendapat pengawasan ketat dari kaum penjajah, sehingga pelaksanaan sholat Id tidak berani dilakukan. Namun karena masyarakat yang beragama Islam di Bayan waktu itu cukup taat menjalankan perintah agamanya, ketimbang tidak dilaksanakan lebih baik ditunda, hingga melihat bulan dengan nyata yaitu tanggal 4 Syawal”, tuturnya.

Demikian juga dengan ibadah puasa, sebagian masyarakat adat wetu telu melaksanakan awal puasa tanggal 3 ramadhan. “Mereka (masyarakat adat) berpuasa mulai tanggal 3 Ramadhan, sehingga sholat Id pun mundur tiga hari dari biasanya”, tambah tokoh ini.

Pada pelaksanaan sholat Id, tidak sembarangan orang boleh masuk ke dalam masjid. Dan jika mau menyaksikan maka kita harus mengintip dari celah-celah lobang pagar masjid kuno Bayan. Dan seperti biasa, setelah jama’ahnya kumpul dan mengumandangkan takbir, modin (muadzin) berdiri untuk iqomah sebagai tanda sholat Id dimulai.

Setelah itu maju salah seorang diantara mereka untuk menjadi imam sholat, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan khutbah oleh ketib (khotib). Dan semua khutbahnya menggunakan bahasa Arab. Seusai khutbah, para kiyai inipun berjabat tangan sambil membaca shalawat Nabi, dan dilanjutkan dengan silaturrahmi kepada masyarakat adat wetu telu. Dan acara lebaran ini dikenal dengan lebaran adat. (ari-primadona)

3 komentar:

  1. wehehe... itu kan foto hasil jepretan saya pak? mana royaltinya? hahaha (Baiquni-UGM Jogja)

    BalasHapus
  2. Mksh tas infonya smg bermanfaat.... Lam knL....

    BalasHapus
  3. yomaaaaaaandd


    sejarah raden dibayan ada gak?

    BalasHapus