Pada kesempatan ini , penulis ingin menyampaikan tentang Islam dan Demokrasi. Melalui tulisan ini kita akan mengkaji bagaimana islam memposisikan demokrasi,yaitu kita harus mampu menjawab apakah Islam itu demokrasi atau tidak? Ini perlu diluruskan karena selama ini banyak hal-hal yang tidak seharusnya terjadi andaikata kita mau memahami Islam sebagai agama kita dan sebagai suatu system tatanan kehidupan yang begitu sempurna
Kita tidak memungkiri bahwa Islam dan Demokrasi itu memiliki banyak persamaan, akan tetapi kita juga harus ingat bahwa sesuatu yang memiliki persamaan belum tentu sama. Hal ini bisa dianalogikan dengan manusia dan monyet, manusia dan monyet keduanya memiliki persamaan tetapi manusia dan monyet tidak bisa disamakan, manusia tetap manusia, monyet tetaplah monyet. Jadi jangan hanya karena adanya factor persamaan sehingga dengan begitu mudahnya kita mengatakan Islam dan Demokrasi itu sama.
Demokrasi berasal dari kata demos dan kratos, demos artinya rakyat dan kratos artinya hukum, jadi demokrasi adalah hukum rakyat. Oleh karena itu, demokrasi didefisinikan sebagai hukum dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jadi tidak bisa kita artikan demokrasi itu mengklaim kalau demokrasi itu adalah musyawarah.Karena sering ummat Islam ini kadang-kadang salah kaprah dengan mengatakan mari kita musyawarah dengan cara yang demokratis. Padahal, musyawarah itu merupakan bagian daripada ajaran Islam. Adapun musyawarah dalam demokrasi itu hanya sebagai pemanis saja, yang dielu-elukan dalam system demokrasi adalah voting (suara terbanyak). Yang tepat adalah kita mengatakan mari kita musyawarah yang Islami.
Dalam demokrasi sebagaimana kita ketahui, bahwa yang berdaulat adalah rakyat. Lalu bagaimana dengan Islam? Yang berdaulat di dalam Islam adalah kekuasaan Allah swt dan di dalam Islam itu hukum bukan dari rakyat tetapi hukum yang berasal dari Allah. Dari sini bisa kita ketahui, Islam itu hukumnya berasal dari Allah sedangkan demokrasi itu hukumnya berasal dari rakyat. Oleh karena itu, tidak mungkin bisa kita mengatakan kalau Islam dan demokrasi itu sama karena sumbernya saja sudah berbeda. Islam bersumber dari wahyu yang suci yang tidak mungkin didalamnya terdapat cacat,cela dan kekurangan, sehingga tidak bisa disamakan dengan demokrasi yang sumbernya dari manusia yang didalamnya terdapat cacat, cela dan kekurangan.
Di dalam Islam, pembuat hukum itu adalah Allah, peletak syariat dan pembuat undang-undang adalah Allah swt. Dalam demokrasi yang membuat hukum dan undang-undang adalah rakyat itupun melalui perwakilannya karena tidak mungkin ratusan juta orang berkumpul untuk rapat, jangankan ratusan juta, 50an orang saja sudah ribut. Karena itu rakyat memilih wakilnya yang akan duduk di parlemen. Merekalah yang akan merumuskan perundang-undangan. Jadi beda, kalau Islam yang membuat undang-undang adalah Allah sedangkan demokrsi yang membuat undang-undang adalah wakil-wakil rakyat. Wakil rakyat berkumpul dan bersepakat di dalam membuat undang-undang, kalau sudah 50 persen lebih wakil rakyat sepakat dengan undang-undang tersebut, mereka putuskanlah undang-undang tersebut walaupun itu tidak sesuai dengan syariat, bahkan merugikan rakyat.Sekalipun itu merugikan rakyat, kalau wakil rakyat sudah setuju, maka itu akan menjadi undang-undang yang harus diberlakukan. Berbeda dengan Islam, Islam hukumnya adalah syariat Islam.
Maka itu, dari sini bisa kita tekankan bahwa hukum Islam itu permanen, stabil dari zaman ke zaman, tidak akan berubah kecuali dlam maslah ijtihadiyah. Adapun persoalan-persoalan yang sudah qoth’I yang ditentukan oleh Al-Qur’an maupun hadits maka ini tidak akan bisa berubah, akan tetapi kalau undang-undang yang dibuat oleh wakil rakyat, maka dia akan berubah-ubah dari zaman ke zaman lainnya. Kita bisa lihat di AS, sekitar tahun 1930 an ada UU anti minuman keras, minuman keras dilarang bahkan ada sekitar 30 ribuan orang yang dihukum mati karena minuman keras.Akan tetapi setelah perang melawan minuman keras dilancarkan oleh AS, ternyata perang yang dilancarkan tersebut tidak didukung oleh masyarakat Amerika pada saat itu. Masyarakat lebih banyak yang mendukung peredaran minuman keras sehingga undang-undang tersebut dicabut oleh pemerintah AS, padahal sudah 300 an ribu orang yang sudah dihukum mati, akhirnya minuman keras dilegalkan dengan mengganti UU tersubut dengan UU yang baru. Dari sini bisa kita lihat, dalam perundang-undangan demokrasi, hari ini bisa haram besoknya bisa halal, hari ini bisa boleh besok bisa tidak boleh. Sedangkan syariat Islam, dari zaman Nabi Muhammad minuman keras itu harom sampai hari kiamat itu akan tetap haram, jadi tidak berubah-ubah. Sesuatu yang berasal dari Allah swt itu stabil dan tetap, tidak boleh diubah-ubah.
Karena tadi dikatakan bahwa hal-hal yang qoth’I yang berasal dari Allah swt tidak bisa berubah-ubah maka otomatis dalam syariat Islam itu tidak ada istilah penghapusan hukum sedangkan dalam demokrasi itu tergantung mayoritas wakil rakyat. Dalam islam, ada ‘illah nya hukum berjalan, tidak ada ‘illahnya hukum berubah. Bisa kita lihat, contohnya kenapa daging babi pada saat darurat boleh dimakan? Apa sebabnya ? tidak ada lain adalah untuk bidaf’il masyaqqoh (menolak kesulitan) artinya kalau masyaqqohnya atau kesulitannya sudah tidak ada, maka hukumnya tetaplah haram. Jadi perubahan-perubahan dalam kondisi tersebut Islam memang mengakui akan tetapi penghapusan hukum sama sekali tidak ada.
Pengambilan hukum untuk menentukan undang-undang maka di tengah ummat islam yang berlaku adalah pengambilan dalil syar’I yang terkuat, itu yang diambil sebagai landasan hukum. Jika terjadi khilaf diantara para fuqoha maka baru diambil mayoritas fuqoha. Ingat, mayoritas fuqoha dengan mayoritas wakil rakyat itu berbeda. Kalau mayoritas fuqoha yang dihitung itu fuqohanya, ahli ijtihad semua, ulama semua. Tapi kalau disebut mayoritas wakil rakyat, tidak semua wakil rakyat itu ahli ijtihad, tidak semuanya orang pintar. Wakil rakyat itu terdiri dari bermacam-macam orangnya ada artisnya, ada senimannya, ada insinyurnya bahkan ada orang kafirnya. Jadi tidak bisa disamakan antara mayoritas fuqoha dengan mayoritas wakil rakyat. Kalau terjadi khilaf yang sangat luar biasa diantara fuqoha, maka putusan imam yang berpera Oleh karena itu dalam kaidah ushul fiqh dikatakan “hukmul hakim yarfa’ul khilaf ( putusan hakim itu mengangkat persoalan khilafiah yang ada di tengah ummat). Bisa kita lihat, system Islam jauh lebih rapi dibandingkan dengan system demokrasi.
Di dalam penyelesaian masalah, Islam jelas, menjunjung tinggi musyawarah. Bagaimana dengan demokrasi? Musyawarah dalam demokrasi itu hanya sebagai pemanis saja, karena ujung-ujungnya dalam demokrasi yang diusung tinggi-tinggi adalah voting (suara terbanyak). Jadi jangan lupa yang dielu-elukan, yang diusung tinggi-tinggi, yang dipuja-puja dalam demokrasi adalah pemungutan suara. Musyawarah dalam Islam bukan hanya sekedar sebagai pemanis, tetapi betul-betul bermusyawarah, adu argument, sampaikan hujjah msing-masing mana nanti yang bisa meyakinkan ummat atau ulama dalam hal ini yang mengambil keputusan bahwa pendapatnya adalah benar maka pendapat itulah yang diambil sebagai keputusan untuk menyelesaikan masalah. Bisa kita lihat, sejak zaman khulafaur rasyidin bahkan sejak zaman Rasulullah saw keputusan-keputusan tidak pernah diambil lewat voting, tetapi melalui musyawarah bagaimanapun alotnya, walaupun harus ngotot, mau sebulan atau tiga bulan, betul-betul ditegakkan musyawarah.sampai mendapat keputusan yang final. Lalu kapan voting itu bisa dibolehkan dalam Islam?
Kalau tingkat daruratnya sudah tidak bisa dihindarkan, bisa terjadi pertumpahan darah. Kalau sudah darurat betul, maka voting boleh dilakukan. Jadi voting itu dibolehkan dalam Islam, ibarat daging babi artinya daging babi itu dibolehkan kalau dalam keadaan terpaksa begitu juga dengan voting, voting dibolehkan kalau sudah dalam keadaan sangat-sangat terpaksa. Maka dalam Islam, yang harus di dorong adalah syuro (musyawarah) bukan pemungutan suara.
Intinya disini adalah demokrasi tidak bisa disamakan dengan Islam. Demokrasi bukan merupakan ajaran Islam. Dalam demokrasi, yang membuat aturan adalah manusia sehingga banyak terdapat cacat cela dan kekurangan. Sedangkan dalam syariat Islam yang membuat hukum itu adalah Allah swt yang otomatis tidak terdapat cacat dan kekurangannya. Mari kita berjuang terus menegakkan syariat Islam. Semoga kita semua bisa memahami antara demokrasi dan syariat Islam.
Wallahu a’lam
Demokrasi berasal dari kata demos dan kratos, demos artinya rakyat dan kratos artinya hukum, jadi demokrasi adalah hukum rakyat. Oleh karena itu, demokrasi didefisinikan sebagai hukum dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Jadi tidak bisa kita artikan demokrasi itu mengklaim kalau demokrasi itu adalah musyawarah.Karena sering ummat Islam ini kadang-kadang salah kaprah dengan mengatakan mari kita musyawarah dengan cara yang demokratis. Padahal, musyawarah itu merupakan bagian daripada ajaran Islam. Adapun musyawarah dalam demokrasi itu hanya sebagai pemanis saja, yang dielu-elukan dalam system demokrasi adalah voting (suara terbanyak). Yang tepat adalah kita mengatakan mari kita musyawarah yang Islami.
Dalam demokrasi sebagaimana kita ketahui, bahwa yang berdaulat adalah rakyat. Lalu bagaimana dengan Islam? Yang berdaulat di dalam Islam adalah kekuasaan Allah swt dan di dalam Islam itu hukum bukan dari rakyat tetapi hukum yang berasal dari Allah. Dari sini bisa kita ketahui, Islam itu hukumnya berasal dari Allah sedangkan demokrasi itu hukumnya berasal dari rakyat. Oleh karena itu, tidak mungkin bisa kita mengatakan kalau Islam dan demokrasi itu sama karena sumbernya saja sudah berbeda. Islam bersumber dari wahyu yang suci yang tidak mungkin didalamnya terdapat cacat,cela dan kekurangan, sehingga tidak bisa disamakan dengan demokrasi yang sumbernya dari manusia yang didalamnya terdapat cacat, cela dan kekurangan.
Di dalam Islam, pembuat hukum itu adalah Allah, peletak syariat dan pembuat undang-undang adalah Allah swt. Dalam demokrasi yang membuat hukum dan undang-undang adalah rakyat itupun melalui perwakilannya karena tidak mungkin ratusan juta orang berkumpul untuk rapat, jangankan ratusan juta, 50an orang saja sudah ribut. Karena itu rakyat memilih wakilnya yang akan duduk di parlemen. Merekalah yang akan merumuskan perundang-undangan. Jadi beda, kalau Islam yang membuat undang-undang adalah Allah sedangkan demokrsi yang membuat undang-undang adalah wakil-wakil rakyat. Wakil rakyat berkumpul dan bersepakat di dalam membuat undang-undang, kalau sudah 50 persen lebih wakil rakyat sepakat dengan undang-undang tersebut, mereka putuskanlah undang-undang tersebut walaupun itu tidak sesuai dengan syariat, bahkan merugikan rakyat.Sekalipun itu merugikan rakyat, kalau wakil rakyat sudah setuju, maka itu akan menjadi undang-undang yang harus diberlakukan. Berbeda dengan Islam, Islam hukumnya adalah syariat Islam.
Maka itu, dari sini bisa kita tekankan bahwa hukum Islam itu permanen, stabil dari zaman ke zaman, tidak akan berubah kecuali dlam maslah ijtihadiyah. Adapun persoalan-persoalan yang sudah qoth’I yang ditentukan oleh Al-Qur’an maupun hadits maka ini tidak akan bisa berubah, akan tetapi kalau undang-undang yang dibuat oleh wakil rakyat, maka dia akan berubah-ubah dari zaman ke zaman lainnya. Kita bisa lihat di AS, sekitar tahun 1930 an ada UU anti minuman keras, minuman keras dilarang bahkan ada sekitar 30 ribuan orang yang dihukum mati karena minuman keras.Akan tetapi setelah perang melawan minuman keras dilancarkan oleh AS, ternyata perang yang dilancarkan tersebut tidak didukung oleh masyarakat Amerika pada saat itu. Masyarakat lebih banyak yang mendukung peredaran minuman keras sehingga undang-undang tersebut dicabut oleh pemerintah AS, padahal sudah 300 an ribu orang yang sudah dihukum mati, akhirnya minuman keras dilegalkan dengan mengganti UU tersubut dengan UU yang baru. Dari sini bisa kita lihat, dalam perundang-undangan demokrasi, hari ini bisa haram besoknya bisa halal, hari ini bisa boleh besok bisa tidak boleh. Sedangkan syariat Islam, dari zaman Nabi Muhammad minuman keras itu harom sampai hari kiamat itu akan tetap haram, jadi tidak berubah-ubah. Sesuatu yang berasal dari Allah swt itu stabil dan tetap, tidak boleh diubah-ubah.
Karena tadi dikatakan bahwa hal-hal yang qoth’I yang berasal dari Allah swt tidak bisa berubah-ubah maka otomatis dalam syariat Islam itu tidak ada istilah penghapusan hukum sedangkan dalam demokrasi itu tergantung mayoritas wakil rakyat. Dalam islam, ada ‘illah nya hukum berjalan, tidak ada ‘illahnya hukum berubah. Bisa kita lihat, contohnya kenapa daging babi pada saat darurat boleh dimakan? Apa sebabnya ? tidak ada lain adalah untuk bidaf’il masyaqqoh (menolak kesulitan) artinya kalau masyaqqohnya atau kesulitannya sudah tidak ada, maka hukumnya tetaplah haram. Jadi perubahan-perubahan dalam kondisi tersebut Islam memang mengakui akan tetapi penghapusan hukum sama sekali tidak ada.
Pengambilan hukum untuk menentukan undang-undang maka di tengah ummat islam yang berlaku adalah pengambilan dalil syar’I yang terkuat, itu yang diambil sebagai landasan hukum. Jika terjadi khilaf diantara para fuqoha maka baru diambil mayoritas fuqoha. Ingat, mayoritas fuqoha dengan mayoritas wakil rakyat itu berbeda. Kalau mayoritas fuqoha yang dihitung itu fuqohanya, ahli ijtihad semua, ulama semua. Tapi kalau disebut mayoritas wakil rakyat, tidak semua wakil rakyat itu ahli ijtihad, tidak semuanya orang pintar. Wakil rakyat itu terdiri dari bermacam-macam orangnya ada artisnya, ada senimannya, ada insinyurnya bahkan ada orang kafirnya. Jadi tidak bisa disamakan antara mayoritas fuqoha dengan mayoritas wakil rakyat. Kalau terjadi khilaf yang sangat luar biasa diantara fuqoha, maka putusan imam yang berpera Oleh karena itu dalam kaidah ushul fiqh dikatakan “hukmul hakim yarfa’ul khilaf ( putusan hakim itu mengangkat persoalan khilafiah yang ada di tengah ummat). Bisa kita lihat, system Islam jauh lebih rapi dibandingkan dengan system demokrasi.
Di dalam penyelesaian masalah, Islam jelas, menjunjung tinggi musyawarah. Bagaimana dengan demokrasi? Musyawarah dalam demokrasi itu hanya sebagai pemanis saja, karena ujung-ujungnya dalam demokrasi yang diusung tinggi-tinggi adalah voting (suara terbanyak). Jadi jangan lupa yang dielu-elukan, yang diusung tinggi-tinggi, yang dipuja-puja dalam demokrasi adalah pemungutan suara. Musyawarah dalam Islam bukan hanya sekedar sebagai pemanis, tetapi betul-betul bermusyawarah, adu argument, sampaikan hujjah msing-masing mana nanti yang bisa meyakinkan ummat atau ulama dalam hal ini yang mengambil keputusan bahwa pendapatnya adalah benar maka pendapat itulah yang diambil sebagai keputusan untuk menyelesaikan masalah. Bisa kita lihat, sejak zaman khulafaur rasyidin bahkan sejak zaman Rasulullah saw keputusan-keputusan tidak pernah diambil lewat voting, tetapi melalui musyawarah bagaimanapun alotnya, walaupun harus ngotot, mau sebulan atau tiga bulan, betul-betul ditegakkan musyawarah.sampai mendapat keputusan yang final. Lalu kapan voting itu bisa dibolehkan dalam Islam?
Kalau tingkat daruratnya sudah tidak bisa dihindarkan, bisa terjadi pertumpahan darah. Kalau sudah darurat betul, maka voting boleh dilakukan. Jadi voting itu dibolehkan dalam Islam, ibarat daging babi artinya daging babi itu dibolehkan kalau dalam keadaan terpaksa begitu juga dengan voting, voting dibolehkan kalau sudah dalam keadaan sangat-sangat terpaksa. Maka dalam Islam, yang harus di dorong adalah syuro (musyawarah) bukan pemungutan suara.
Intinya disini adalah demokrasi tidak bisa disamakan dengan Islam. Demokrasi bukan merupakan ajaran Islam. Dalam demokrasi, yang membuat aturan adalah manusia sehingga banyak terdapat cacat cela dan kekurangan. Sedangkan dalam syariat Islam yang membuat hukum itu adalah Allah swt yang otomatis tidak terdapat cacat dan kekurangannya. Mari kita berjuang terus menegakkan syariat Islam. Semoga kita semua bisa memahami antara demokrasi dan syariat Islam.
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar