Kiranya kita semua yakin bahwa Nuzulul Qur’an adalah peristiwa terbesar dalam sejarah perjalanan umat manusia bahkan jagad raya dan alam semesta. Karenanya Allah SWT mengerahkan seluruh malaikat-Nya dan memaklumkan kepada seluruh penghuni langit akan kehadirannya, sebagai juklak, buku pintar serta manual bagi mandataris-Nya manusia, untuk mengekploitasi dan mengelola alam semesta secara benar, aman, lagi nyaman.
Agar lebih dicermati dan menjadi cermin manusia, pembawa amanah Al-Qur’an Allah menggambarkan secara konkrit bahwa bila Al-Qur’an itu harus diterima oleh gunung, dia pasti akan tunduk, bahkan terbelah karena takutnya kepada Allah (59:2), dan bila ada bacaan yang karenanya gunung-gunung akan lenyap, bumi akan terbelah menjadi berkeping-keping, manusia-manusia yang sudah menjadi mayatpun akan bias berbicara kembali, maka bacaan itu tiada lain adalah Al-Qur’an ini (13:31). Pertanyaan lebih lanjut tentunya; bagaimana dengan manusia yang telah menerimanya sejak belasan abad itu?
Al-Qur’an secara riil baru turun dan diterima Rasulullah Saw kurang lebih 15 abad yang lalu. Namun nilai, hikmah dan mutiaranya telah hadir jauh sebelum itu, yaitu bersama kehadiran manusia itu sendiri di planet bumi ini. Hal itu disebabkan:
Pertama : Kehadiran Al-Qur’an memang semata-mata karena manusia untuk manusia dan hanya menggarap manusia. Meski akan dan pasti berimplikasi global lagi total. Manusia yang nyaris segala-galanya bagi Al-Qur’an.
Kedua : Al-Qur’an baik secara etimologi maupun terminology adalah himpunan dan capita selecta, himpunan hikmah dan mutiara kebenaran ajaran yang pernah diturunkan Al-Khalik kepada setiap Nabi dan Rasul, sejak era Nabi Adam As. Sampai dengan Nabi Besar Muhammad Saw untuk menuntun dan membimbing umat manusia menuju suatu tujuan yang akan mampu mempertahankan harkat dan martabatnya yang teramat mulia lagi berkualitas membahagiakan dan mensejahterakannya serta menyelamatkannya dari hal-hal yang menyesatkannya; lagi menjatuhkannya dari derajat, harkat, dan martabatnya yang mulia dan sangat terhormat tersebut. Karenanya untuk menunjukkan betapa penting dan pitalnya kehadiran Al-Qur’an bagi manusia dan totalitas alam semesta, serta fatalnya akibat mengubah dan mengabaikannya. Allah sendiri perlu menegaskan jaminan kelestarian Al-Qur’an dan otensitasnya (15:9). Ia dan nilanya akan tetap lestari dan abadi atas jaminan-Nya. Untuk memvisulisasikan nilai tambah produktivitas dan dampak positifnya terhadap manusia dan jagad raya, digambarkan bahwa malam Qadar yang bertepatan dengan turunnya Al-Qur’an dan bersentuhan dengannya, mendapatkan percikan nilai tambah (berkah) dari padanya sehingga melampau dan memecahkan rekor nilai ibadah dan berjihad selama seribu bulan (kurang lebih 83,33 tahun) secara terus menerus (97:1-5).
Tentu ini berarti pula, bahwa setiap muslim siapapun manusianya mampu membuat dirinya lebih bernilai dari pada ribuan atau jutaan orang manusia lainnya, asal ia siap mendapatkan sentuhan-sentuhan Al-Qur’an dalam segala aspek kehidupannya. Ia pun bias lebih hebat dari nilai malam Qadar itu sendiri, manakala ia telah berintraksi positif dengan nilai-nilai Al-Qur’an. Kiranya iapun harus terpacu untuk menjadikan dirinya manusia yang lebih menekankan kulitas dan produktifitas, dari pada sekedar puas dengan kualitas.
Dalam banyak ayat, Al-Qur’an menegaskan pengakuannya akan potensi dan keunggulan-keunggulan yang diberikan dan diamanatkan kepada mahluk yang bernama manusia. “Ia muliakan dan diistimewakan dio atas segenap mahluk yang lain dengan kemampuan menjelajahi dan mengekploitasi segala penjuru jagad raya” (17:70).
Di sisi lain Al-Qur’an mengingatkan manusia akan berbagai keterbatasan, kelemahan, dan kekerdilannya yang menjadi kendalanya bahkan tidak jarang pula menjerumuskan dan membinasakannya. “Kecenderungan melampaui batas dan mengambil jalan pintas, lebih-lebih bila telah merasa cukup ilmu dan segala sarana yang mendukungnya”. (96:6-7, 28:78).
Karena kelemahan-kelemahan dan keterbatasan-keterbatasan yang jauh lebih banyak dari pada keunggulan-keunggulan yang dimiliki manusia itulah Al-Qur’an senantiasa mengingatkan agar selalu sadar bahwa keunggulan dan supremasi yang dia miliki itu bukan jamniman baginya untuk tetap unggul, bahkan bisa jadi sebaliknya suatu yang inheren pada dirinya. Kesemuanya itu sekedar amanat dan pinjaman, bukan aguerah atau pemberian, manusia selalu dituntun-Nya untuk menyadari, meyakini dan mengatakan : “Tiada daya dan kekuatan apapun kecuali dengan kekuatan (pinjaman) Allah Yang Maha Agung”.
Kejatuhan Adam meski dengan keunggulan Ipteqnya harus menjadi pelajaran sepanjang masa bagi umat manusia, anak turun Adam yang tidak boleh terulang kembali. Pelajaran tersebut antara lain:
1. Iptek tanpa dipadu oleh Imtaq hanya akan menambah keserkahan dan kecongkakan yang akan mengantarkan umat manusia pada malapetaka dan kehancuran.
2. Demikian halnya pelanggaran, penyimpangan, dan mengabaikan garis yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Penentu.
3. Sebaliknya, bencana dan malapetaka muncul akibat penyimpangan terhadap ketentuan dan ketetapan-Nya dan sekaligus sebagai indicator kuat bahwa sunnah dan ajarannya tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Qorun dengan keserakahan dan kecongkakan intelektualnya juga berakhir sebagai akibat dari ucapannya “Segala kekayaan itu kudapatkan hanya semata-mata karena ilmu pengetahuanku” (28:78).
Karenanya sangat dimungkinkan bahwa keunggulan supremasi manusia itu, justru akan menjadikannya sebagai mahluk yang paling rendah kualitas dan derajatnya.
“Kemudian Kami jungkirbalikkan ke derajat yang paling rendah “. (95:5).
Bahkan bias lebih rendah dan lebih brutal dari binatang sekalipun (7:179, 25:44).
Manusia hanya akan mampu mempertahankan kodrat dan martabatnya yang super bila mampu mengintegrasikan antara Imtaq, Ipteq dan Moral.
“Kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh (baik)” (95:6).
“Allah (hanya) meninggikan derajat orang-orang yang ber-Imtaq lagi ber-Iptek beberapa derajat” (58:11)
Kejatuhan manusia pasti akan terjadi manakala ia tidak mampu mengendalikan dirinya, nafsu dan ambisinya atau kalau justru ia yang dikendalikan oleh nafsunya.
Hakekatnya, kita ini baru manusia dan hanya manusia selama kita mampu mengendalikan, menguasai, dan mengerahkan diri kita secara utuh kepada yang haq. Juga selama kita masih mau menjaga jarak antara kita dan dunia materi serta mampu pula menundukkan dan mengekploitasi alam ini agar hanya untuk mengabdi kepeda kepentingan kita, sebab Allah berfirman dalam suatu hadits qudsi :
“Wahai anak Adam! Aku ciptakan kamu hanya semata-mata untuk mengadi kepada-Ku. Sementara segalanya ini (alam) Aku ciptakan semata-mata agar mengabdi kepadamu.. Maka jangan sekali-kali kamu disibukkan dan dininabobokkan oleh segala hal yang seharusnya semata-mata mengabdi untuk kepentinganmu, sehingga kamu lalai akan dirmu yang semata-mata hanya untuk mengabdi kepada-Ku”.
Karenanya Allah akan membiarkan sesat orang-orang yang mempertuhankan dan diperbudak oleh hawa nafsunya, membiarkan mereka tertutup rapat pendengaran, akal dan penglihatan mereka, meskipun mereka itu ber-Iptek dan cerdik-cendikia (45:23
Al-Qur’an tidak melihat adanya pemisahan dan keterputusan antara ilmu apapun dengan peran dan keberadaan Tuhan di dalamnya. Kiranya mengkaji bidang/disisplin ilmu apapun, haruslah ditampakkan benang merah yang menghubungkan antara peran dan keberadaan Allah Allah Al-Khaliq (rububiyah-Nya) dibalik ilmu tersebut. Tanpa adanya upaya untuk mengkolerasikan antara keduanya, pasti hanya menghasilkan ilmu dan ilmuan yang sekuler dan dikhotomis, yang tidak dikenal oleh Al-Qur’an maupun Islam, dan nyaris tidak mengenal Tuhannya. Akibat dari padanya pun agaknya sudah cukup lama kita rasakan dan cukup membuat manusia menderita.
Dalam aspek moralitas, tampak bahwa Al-Qur’an pun menekankan adanya kesatuan yang utuh dan padu antara aqidah syariah dan akhlak/moral. Akhlak moral bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri dan terpisah dalam ajaran Al-Qur’an, dari yang lain.
Karenanya, bukanlah aqidah yang benar jika tidak menghasilkan ibadah yang benar pula. Tidaklah ada artinya yang tidak menghasilkan akhlak karimah (moral terpuji). Begitu juga yang tidak berasaskan aqidah dan syari’at, bukanlah moral yang sebenarnya. Maka akhlak adalah jabaran praktis dari ibadah dan ibadah adalah jabaran konkrit dari aqidah.
Dalam konteks ini Al-Qur’an juga tidak hadir dengan teori-teori akhlak yang rumit dan pelik, lagi tidak membumi sebagai yang dihadirkan oleh para filosof. Al-Qur’an hanya menunjukkan mana yang haq (benar) dan mana yang salah, disertai contoh konkrit dan praktis dengan menunjuk figure yang memperbuatnya sehingga lebih membumi praktis dan realistis. Bahkan seluruh nilainya telah teruji cobakan dalam sejarah perjalanan umat manusia. Praktek kehidupan Rasul adalah jabaran moral Al-Qur’an, sedang Al-Qur’an adalah gamabaran tentang akhlak Rasul, sebagaimana jawaban Aisyah, istri beliau ketika ditanya tentang itu : “Akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an”.
Agaknya masalah keteladanan adalah unsur yang sangat penting dan ditekankan.
Al-Qur’an juga hanya berorientasi pada yang benar bukan hanya baik, apalagi sekedar yang enak. Karenanya sejak lembar pertamanya Al-Qur’an sudah menyatakan bahwa seluruh kandungannya bernilai pasti, benar, dan sedikitpun yang meragukan (2:2). Dalam berpuluh-puluh ayat yang lain Al-Qur’an memproklamirkan dirinya hanya untuk dengan kebenaran mutlak (haq) dan hanya bermuatan yang haq itu pula (a.l. 13:1, 17:105) sempurna tanpa sedikitpun cacat atau salah (11:1, 18:1, 41:42). Penegasan demikian tentunya bukan saja wajar, melainkan perlu, penting, dan harus. Sebab ia dating dari Dzat yang Maha Besar dan fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk haruslah benar, jelas, dan tegas. Sementara kebenaran maupun kebaikan menurut manusia sangat relative bahkan bias, akibat keterlibatan kepentingan dan interest mereka, di samping keterbatasan akal manusia. Padahal kalau saja kebenaran itu harus mengikuti keinginan san kepentingan mereka yang dla’if dan relatif itu, resikonya sangat mengerikan, hancur binasanya jagad raya lengkap dengan seluruh isinya (23:71).
Meskipun demikian, penegasan-penegasan bisa menjadi tidak berarti sama sekali, manakala prinsip Syahadah Tauhid (Monotheisme) belum tumbuh da n terbangun secara kokoh dalam diri setiap muslim. Dalam kondisi demikian tentu sulit diharapkan untuk senantiasa bertahkim kepada Al-Qur’an dan menjadikan Al-Qur’an sabagai acuan pertama dan utama serta menerima kemutlakan kebenarannya yang menjadi kewajiban setiap individu sebelum secara kelembagaan.
Moralitas yang baik, kokoh dan konsisten hanya akan muncul dari pribadi yang senantiasa merasakan kehadiran Allah bersamanya, untuk menuntun hati nurani dan nalurinya di samping juga mengawasinya. Juga yang selalu sadar dan merasakan pengawasan melekat oleh malaikat di kanan-kirinya sebelun pengawasan oleh sesamanya.
Begitu juga yang senantiasa sadar bahwa segala perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Khaliknya yang Maha Adil dan tidak mengenal rekayasa. Mereka itulah pengemban amanat Allah yang sebenarnya sadar akan tugas dan fungsunya yang harus tunduk kepadanya (beribadah) (51:56).
Agaknya, memang itulah misi dan tujuan utama kehadiran Al-Qur’an dan nabi besar Muhammad Saw, dalam sabdanya: “Aku diutus semata-mata hanya untuk mewujudkan pribadi yang berakhlak mulia lagi paripurna”.
Kiranya pribadi-pribadi yang bermoralitas Qur’an sedemikian rupa, sangat dibutuhkan untuk mensukseskan pembangunan bangsa dan Negara kita yang tercinta ini. Peluang dan sekaligus tantangan ini tentunya harus dijawab oleh umat ini. Mampukah kita mengaktualisasikan potensi kekuatan etika dan moral Qur’an ini untuk mengarahkan, lebih mensukseskan dan mengamankan pembangunan? Sekaligus membuktikan bahwa kita ini adalah Khairu Ummah dan Rahmatallil’alamin?
Umat Islam sebagai bagian terbesar dari bangsa ini, tentu bukan saja yang paling berkepentingan terhadap hasil pembangunan, melainkan juga yang harus paling bertanggungjawab atas kebenaran arah, aman dan suksesnya sebuah pembangunan.
Dan pembangunan suatu bangsa dan Negara tidak mungkin akan sukses, tanpa adanya pelaku-pelaku pembangunan yang bermoral dan terpuji dan handal. Kiranya benarlah kata ahli hikmah :
“Eksistensi suatu umat/bangsa semata-mata tergantung kepada eksistensi ahlak dan moralnya. Bila moral mereka bejat, maka pastilah bangsa itu juga akan binas”.
Demikianlah sekelumit hikmah Nuzulul Qur’an dan kaitannya dengan pembinaan Ahlaqul Karimah. Kiranya umat ini perlu segera mengadakan gerakan nasional untuk memahami dan kembali kepada Al-Qur’an, untuk kita jadikan anutan dan acuan dalam rangka menyukseskan pembangunan khususnya di propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang tercinta ini, dan umumnya bangsa dan Negara Republik Indonesia menuju terwujudnya Baldatun Thoyyibatun Warabbun Gahfur, Amin.
Agar lebih dicermati dan menjadi cermin manusia, pembawa amanah Al-Qur’an Allah menggambarkan secara konkrit bahwa bila Al-Qur’an itu harus diterima oleh gunung, dia pasti akan tunduk, bahkan terbelah karena takutnya kepada Allah (59:2), dan bila ada bacaan yang karenanya gunung-gunung akan lenyap, bumi akan terbelah menjadi berkeping-keping, manusia-manusia yang sudah menjadi mayatpun akan bias berbicara kembali, maka bacaan itu tiada lain adalah Al-Qur’an ini (13:31). Pertanyaan lebih lanjut tentunya; bagaimana dengan manusia yang telah menerimanya sejak belasan abad itu?
Al-Qur’an secara riil baru turun dan diterima Rasulullah Saw kurang lebih 15 abad yang lalu. Namun nilai, hikmah dan mutiaranya telah hadir jauh sebelum itu, yaitu bersama kehadiran manusia itu sendiri di planet bumi ini. Hal itu disebabkan:
Pertama : Kehadiran Al-Qur’an memang semata-mata karena manusia untuk manusia dan hanya menggarap manusia. Meski akan dan pasti berimplikasi global lagi total. Manusia yang nyaris segala-galanya bagi Al-Qur’an.
Kedua : Al-Qur’an baik secara etimologi maupun terminology adalah himpunan dan capita selecta, himpunan hikmah dan mutiara kebenaran ajaran yang pernah diturunkan Al-Khalik kepada setiap Nabi dan Rasul, sejak era Nabi Adam As. Sampai dengan Nabi Besar Muhammad Saw untuk menuntun dan membimbing umat manusia menuju suatu tujuan yang akan mampu mempertahankan harkat dan martabatnya yang teramat mulia lagi berkualitas membahagiakan dan mensejahterakannya serta menyelamatkannya dari hal-hal yang menyesatkannya; lagi menjatuhkannya dari derajat, harkat, dan martabatnya yang mulia dan sangat terhormat tersebut. Karenanya untuk menunjukkan betapa penting dan pitalnya kehadiran Al-Qur’an bagi manusia dan totalitas alam semesta, serta fatalnya akibat mengubah dan mengabaikannya. Allah sendiri perlu menegaskan jaminan kelestarian Al-Qur’an dan otensitasnya (15:9). Ia dan nilanya akan tetap lestari dan abadi atas jaminan-Nya. Untuk memvisulisasikan nilai tambah produktivitas dan dampak positifnya terhadap manusia dan jagad raya, digambarkan bahwa malam Qadar yang bertepatan dengan turunnya Al-Qur’an dan bersentuhan dengannya, mendapatkan percikan nilai tambah (berkah) dari padanya sehingga melampau dan memecahkan rekor nilai ibadah dan berjihad selama seribu bulan (kurang lebih 83,33 tahun) secara terus menerus (97:1-5).
Tentu ini berarti pula, bahwa setiap muslim siapapun manusianya mampu membuat dirinya lebih bernilai dari pada ribuan atau jutaan orang manusia lainnya, asal ia siap mendapatkan sentuhan-sentuhan Al-Qur’an dalam segala aspek kehidupannya. Ia pun bias lebih hebat dari nilai malam Qadar itu sendiri, manakala ia telah berintraksi positif dengan nilai-nilai Al-Qur’an. Kiranya iapun harus terpacu untuk menjadikan dirinya manusia yang lebih menekankan kulitas dan produktifitas, dari pada sekedar puas dengan kualitas.
Dalam banyak ayat, Al-Qur’an menegaskan pengakuannya akan potensi dan keunggulan-keunggulan yang diberikan dan diamanatkan kepada mahluk yang bernama manusia. “Ia muliakan dan diistimewakan dio atas segenap mahluk yang lain dengan kemampuan menjelajahi dan mengekploitasi segala penjuru jagad raya” (17:70).
Di sisi lain Al-Qur’an mengingatkan manusia akan berbagai keterbatasan, kelemahan, dan kekerdilannya yang menjadi kendalanya bahkan tidak jarang pula menjerumuskan dan membinasakannya. “Kecenderungan melampaui batas dan mengambil jalan pintas, lebih-lebih bila telah merasa cukup ilmu dan segala sarana yang mendukungnya”. (96:6-7, 28:78).
Karena kelemahan-kelemahan dan keterbatasan-keterbatasan yang jauh lebih banyak dari pada keunggulan-keunggulan yang dimiliki manusia itulah Al-Qur’an senantiasa mengingatkan agar selalu sadar bahwa keunggulan dan supremasi yang dia miliki itu bukan jamniman baginya untuk tetap unggul, bahkan bisa jadi sebaliknya suatu yang inheren pada dirinya. Kesemuanya itu sekedar amanat dan pinjaman, bukan aguerah atau pemberian, manusia selalu dituntun-Nya untuk menyadari, meyakini dan mengatakan : “Tiada daya dan kekuatan apapun kecuali dengan kekuatan (pinjaman) Allah Yang Maha Agung”.
Kejatuhan Adam meski dengan keunggulan Ipteqnya harus menjadi pelajaran sepanjang masa bagi umat manusia, anak turun Adam yang tidak boleh terulang kembali. Pelajaran tersebut antara lain:
1. Iptek tanpa dipadu oleh Imtaq hanya akan menambah keserkahan dan kecongkakan yang akan mengantarkan umat manusia pada malapetaka dan kehancuran.
2. Demikian halnya pelanggaran, penyimpangan, dan mengabaikan garis yang telah ditetapkan oleh Allah Yang Maha Penentu.
3. Sebaliknya, bencana dan malapetaka muncul akibat penyimpangan terhadap ketentuan dan ketetapan-Nya dan sekaligus sebagai indicator kuat bahwa sunnah dan ajarannya tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Qorun dengan keserakahan dan kecongkakan intelektualnya juga berakhir sebagai akibat dari ucapannya “Segala kekayaan itu kudapatkan hanya semata-mata karena ilmu pengetahuanku” (28:78).
Karenanya sangat dimungkinkan bahwa keunggulan supremasi manusia itu, justru akan menjadikannya sebagai mahluk yang paling rendah kualitas dan derajatnya.
“Kemudian Kami jungkirbalikkan ke derajat yang paling rendah “. (95:5).
Bahkan bias lebih rendah dan lebih brutal dari binatang sekalipun (7:179, 25:44).
Manusia hanya akan mampu mempertahankan kodrat dan martabatnya yang super bila mampu mengintegrasikan antara Imtaq, Ipteq dan Moral.
“Kecuali mereka yang beriman dan beramal shaleh (baik)” (95:6).
“Allah (hanya) meninggikan derajat orang-orang yang ber-Imtaq lagi ber-Iptek beberapa derajat” (58:11)
Kejatuhan manusia pasti akan terjadi manakala ia tidak mampu mengendalikan dirinya, nafsu dan ambisinya atau kalau justru ia yang dikendalikan oleh nafsunya.
Hakekatnya, kita ini baru manusia dan hanya manusia selama kita mampu mengendalikan, menguasai, dan mengerahkan diri kita secara utuh kepada yang haq. Juga selama kita masih mau menjaga jarak antara kita dan dunia materi serta mampu pula menundukkan dan mengekploitasi alam ini agar hanya untuk mengabdi kepeda kepentingan kita, sebab Allah berfirman dalam suatu hadits qudsi :
“Wahai anak Adam! Aku ciptakan kamu hanya semata-mata untuk mengadi kepada-Ku. Sementara segalanya ini (alam) Aku ciptakan semata-mata agar mengabdi kepadamu.. Maka jangan sekali-kali kamu disibukkan dan dininabobokkan oleh segala hal yang seharusnya semata-mata mengabdi untuk kepentinganmu, sehingga kamu lalai akan dirmu yang semata-mata hanya untuk mengabdi kepada-Ku”.
Karenanya Allah akan membiarkan sesat orang-orang yang mempertuhankan dan diperbudak oleh hawa nafsunya, membiarkan mereka tertutup rapat pendengaran, akal dan penglihatan mereka, meskipun mereka itu ber-Iptek dan cerdik-cendikia (45:23
Al-Qur’an tidak melihat adanya pemisahan dan keterputusan antara ilmu apapun dengan peran dan keberadaan Tuhan di dalamnya. Kiranya mengkaji bidang/disisplin ilmu apapun, haruslah ditampakkan benang merah yang menghubungkan antara peran dan keberadaan Allah Allah Al-Khaliq (rububiyah-Nya) dibalik ilmu tersebut. Tanpa adanya upaya untuk mengkolerasikan antara keduanya, pasti hanya menghasilkan ilmu dan ilmuan yang sekuler dan dikhotomis, yang tidak dikenal oleh Al-Qur’an maupun Islam, dan nyaris tidak mengenal Tuhannya. Akibat dari padanya pun agaknya sudah cukup lama kita rasakan dan cukup membuat manusia menderita.
Dalam aspek moralitas, tampak bahwa Al-Qur’an pun menekankan adanya kesatuan yang utuh dan padu antara aqidah syariah dan akhlak/moral. Akhlak moral bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri dan terpisah dalam ajaran Al-Qur’an, dari yang lain.
Karenanya, bukanlah aqidah yang benar jika tidak menghasilkan ibadah yang benar pula. Tidaklah ada artinya yang tidak menghasilkan akhlak karimah (moral terpuji). Begitu juga yang tidak berasaskan aqidah dan syari’at, bukanlah moral yang sebenarnya. Maka akhlak adalah jabaran praktis dari ibadah dan ibadah adalah jabaran konkrit dari aqidah.
Dalam konteks ini Al-Qur’an juga tidak hadir dengan teori-teori akhlak yang rumit dan pelik, lagi tidak membumi sebagai yang dihadirkan oleh para filosof. Al-Qur’an hanya menunjukkan mana yang haq (benar) dan mana yang salah, disertai contoh konkrit dan praktis dengan menunjuk figure yang memperbuatnya sehingga lebih membumi praktis dan realistis. Bahkan seluruh nilainya telah teruji cobakan dalam sejarah perjalanan umat manusia. Praktek kehidupan Rasul adalah jabaran moral Al-Qur’an, sedang Al-Qur’an adalah gamabaran tentang akhlak Rasul, sebagaimana jawaban Aisyah, istri beliau ketika ditanya tentang itu : “Akhlak Rasulullah adalah Al-Qur’an”.
Agaknya masalah keteladanan adalah unsur yang sangat penting dan ditekankan.
Al-Qur’an juga hanya berorientasi pada yang benar bukan hanya baik, apalagi sekedar yang enak. Karenanya sejak lembar pertamanya Al-Qur’an sudah menyatakan bahwa seluruh kandungannya bernilai pasti, benar, dan sedikitpun yang meragukan (2:2). Dalam berpuluh-puluh ayat yang lain Al-Qur’an memproklamirkan dirinya hanya untuk dengan kebenaran mutlak (haq) dan hanya bermuatan yang haq itu pula (a.l. 13:1, 17:105) sempurna tanpa sedikitpun cacat atau salah (11:1, 18:1, 41:42). Penegasan demikian tentunya bukan saja wajar, melainkan perlu, penting, dan harus. Sebab ia dating dari Dzat yang Maha Besar dan fungsi utamanya adalah sebagai petunjuk haruslah benar, jelas, dan tegas. Sementara kebenaran maupun kebaikan menurut manusia sangat relative bahkan bias, akibat keterlibatan kepentingan dan interest mereka, di samping keterbatasan akal manusia. Padahal kalau saja kebenaran itu harus mengikuti keinginan san kepentingan mereka yang dla’if dan relatif itu, resikonya sangat mengerikan, hancur binasanya jagad raya lengkap dengan seluruh isinya (23:71).
Meskipun demikian, penegasan-penegasan bisa menjadi tidak berarti sama sekali, manakala prinsip Syahadah Tauhid (Monotheisme) belum tumbuh da n terbangun secara kokoh dalam diri setiap muslim. Dalam kondisi demikian tentu sulit diharapkan untuk senantiasa bertahkim kepada Al-Qur’an dan menjadikan Al-Qur’an sabagai acuan pertama dan utama serta menerima kemutlakan kebenarannya yang menjadi kewajiban setiap individu sebelum secara kelembagaan.
Moralitas yang baik, kokoh dan konsisten hanya akan muncul dari pribadi yang senantiasa merasakan kehadiran Allah bersamanya, untuk menuntun hati nurani dan nalurinya di samping juga mengawasinya. Juga yang selalu sadar dan merasakan pengawasan melekat oleh malaikat di kanan-kirinya sebelun pengawasan oleh sesamanya.
Begitu juga yang senantiasa sadar bahwa segala perbuatannya harus dipertanggungjawabkan di hadapan Khaliknya yang Maha Adil dan tidak mengenal rekayasa. Mereka itulah pengemban amanat Allah yang sebenarnya sadar akan tugas dan fungsunya yang harus tunduk kepadanya (beribadah) (51:56).
Agaknya, memang itulah misi dan tujuan utama kehadiran Al-Qur’an dan nabi besar Muhammad Saw, dalam sabdanya: “Aku diutus semata-mata hanya untuk mewujudkan pribadi yang berakhlak mulia lagi paripurna”.
Kiranya pribadi-pribadi yang bermoralitas Qur’an sedemikian rupa, sangat dibutuhkan untuk mensukseskan pembangunan bangsa dan Negara kita yang tercinta ini. Peluang dan sekaligus tantangan ini tentunya harus dijawab oleh umat ini. Mampukah kita mengaktualisasikan potensi kekuatan etika dan moral Qur’an ini untuk mengarahkan, lebih mensukseskan dan mengamankan pembangunan? Sekaligus membuktikan bahwa kita ini adalah Khairu Ummah dan Rahmatallil’alamin?
Umat Islam sebagai bagian terbesar dari bangsa ini, tentu bukan saja yang paling berkepentingan terhadap hasil pembangunan, melainkan juga yang harus paling bertanggungjawab atas kebenaran arah, aman dan suksesnya sebuah pembangunan.
Dan pembangunan suatu bangsa dan Negara tidak mungkin akan sukses, tanpa adanya pelaku-pelaku pembangunan yang bermoral dan terpuji dan handal. Kiranya benarlah kata ahli hikmah :
“Eksistensi suatu umat/bangsa semata-mata tergantung kepada eksistensi ahlak dan moralnya. Bila moral mereka bejat, maka pastilah bangsa itu juga akan binas”.
Demikianlah sekelumit hikmah Nuzulul Qur’an dan kaitannya dengan pembinaan Ahlaqul Karimah. Kiranya umat ini perlu segera mengadakan gerakan nasional untuk memahami dan kembali kepada Al-Qur’an, untuk kita jadikan anutan dan acuan dalam rangka menyukseskan pembangunan khususnya di propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang tercinta ini, dan umumnya bangsa dan Negara Republik Indonesia menuju terwujudnya Baldatun Thoyyibatun Warabbun Gahfur, Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar