Sabtu, 28 November 2009

Filosofi Ajaran Wetu Telu di Bayan-Lombok Utara (Bag.1)

Adat dan Agama Harus Seimbang
"Agama adalah pemberian dari tuhan sedangkan adat adalah peninggalan dari orang tua atau nenek moyang yang keduanya harus dijaga dan diseimbangkan. Memang sebagian kalangan masih menilai pelaksanaan ajaran Wetu Telu kental dan identik dengan pelaksanaan ibadah sholat yang dilakukan 3 waktu dan puasa yang dikerjkan hanya pada awal, tengah dan akhir bulan saja, namun yang pasti agama dan adat yang sudah tentu memiliki kaitan erat dalam semua sendi kehidupan manusia memang tidak dapat dipisahkan, terlebih dalam komunitas adat Bayan yang selama ini tidak pernah ada larangan pada semua generasi dan penerus untuk menuntut  ilmu dan menyempurnakannya, asalkan adat - istiadat  tidak dikesampingkan agar tetap ber imbang dan seimbang.

Sumber lain yang berhasil ditemui  adalah Raden Jambianom, Penghulu Raden Adat Bayan, ia menjelaskan, “ Sebelum menyandang status Kyai Adat maka tidak diperbolehkan mengikuti sembahyang tarawih kyai adat dimasjid Kuno Bayan.  Dalam pelaksanaan sembahyang tarawih Kyai Adat ini ayat-ayat Al-Qur’an yang biasa dipaki harus dibacakan secara berurutan, sedangkan filosofi pelaksanaan sembahyang tarawih kyai adat setelah tiga hari sembahyang tarawih secara umum karena berpatokan pada tanggal dan posisi bulan, dimana menurut filosofi ini diyakni sahnya sesuatu itu dikerjakan apa bila dapat dilihat secara langsung oleh mata. Sedangkan pada tanggal 1 dan 2 posisi bulan belum dapat terlihat dan kemudian baru dapat terlihat pada tanggal 3. Pelaksanaan ritual adat juga selalu berpatokan pada hari ketiga setelah ritual umum lainnya, karena masyarakat adat selalu berpegang teguh pada sistem penaggalan.

Sedangkan Kyai Kagungan yang melipuiti 4 unsur (Penghulu, Lebe, Ketib, dan Mudim) pada dasarnya memiliki tugas pokok yang sama, yaitu sebagai imam, sedangkan tugas lainnya juga masih memilki tahapan dan bagian sesuai dengan wilyah adat yang dimilki, hanya saja Penghulu dapat berperan disemua wilayah adat, sedangkan Kyai Santri yang berjumlah 40 orang hanya bertugas sebagai makmum atau disebut juga sebagai pembantu yang bertugas mengurus semua ritual adat atas perintah dan mandat dari Kyai Kagungan. Yang boleh berperan sebagai Kyai Kagungan dan Kyai Santri ini harus berdasarkan keturunan.

“Terkiat makna Watu Telu memang tidak terlepas dari filosofi masyarakat adat Bayan yang selalu berpegang teguh pada tiga unsur atau keyakinan, yakni hubungan Tuhan dengan Manusia yang melibatkan para Kyai, Hubungan Manusia dengan Manusia yang melibatkan Pranta- pranata dan sesepuh adat, dan yang terakhir adalah Hubungan Manusia dengan Lingkungan yang diperankan oleh para Toaq Lokaq (para orang tua). Ketiga unsur ini memerlukan dan harus diseimbangkan, karena bagaimana pun juga kalau salah satunya tidak nyambung atau seimbang maka tidak mungkin dapat berjalan dengan baik.

Saat ini keberadaan komunitas adat beserta hak-hak yang dimilkinya juga semakin kuat dengan UUD 45 yang sudah diamandemenkan dan terutang dalam pasal 18 ayat b bahwa Negara mengakui hak ulayat dan ritual masyarakat adat . Jadi posisi dan keberadaan komunitas adat dan kerarifan lokal yang dimilkinya juga semakin kuat untuk mendapat perlindungan dan harus tetap dilestarikan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar