MATARAM - Budaya penelitian atau riset di Indonesia hingga saat ini masih cukup rendah, padahal hasil riset dapat digunakan untuk melakukan kritik sosial atau mengintervensi kebijakan pemerintah.
Demikian dikatakan Rachmat Anggara, MSc dari Centre for Innovation Policy and Govenance (CPG) Jakarta, pada pertemuan dengan pengurus radio komunitas NTB dan mahasiswa, yang berlangsung di taman jalan Udayana Mataram, 24/5.
Riset menurut Anggara adalah sebuah proses pengumpulan, menganalisis, dan menerjemahkan informasi atau data secara sistematis untu menambah pemahaman kita terhadap suatu fenomena tertentu yang menarik perhatian kita.
Dikatakan, manusia secara ilmiah atau natural selalu ingin mencari tahu terhadap apa yang terjadi, sehingga perlu melakukan risert. “Hanya budaya riset di Indonesia ini yang masih lemah. Demikian juga dengan pendidikan kita masih berkutat pada pengajaran dan masih jarang melakukan riset”, jelas Anggara.
Lebih lanjut Anggara memberi contoh, di Indonesia kita mengenal ada sebutan Gunti Lanat dan Sundal Bolong. Istilah ini malah kita kenal dan ketahui dari hasil penelitian orang Inggris.
“Contoh lainnya, bisa kita lihat dari aksi yang dilakukan oleh sebagian mahasiswa yang kadang-kadang kurang mendapat tanggapan dari pemerintah. Hal ini terjadi karena sebelum melakukan aksi, mereka tidak melakukan riset terhadap apa yang menjadi tuntutannya”, katanya.
Dalam riset, pengambilan data dapat dilakukan Focus Group Discussion (FGD), yakni sebuah grup narasumber akan ditanyakan pendapat, presepsi dan sikap mereka terhadap sebuah fenomena atau obyek penelitian tertentu, karena respondennya lebih natural dan jawabannya lebih variatif. (sk-010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar