Minggu, 05 Juni 2011

Relokasi Warga Carik Tinggalkan Duka

Bila melihat kegidupan warga yang tinggal di Pelabuhan Carik Desa Anyar Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara, lima tahun silam tampak damai dan tenteram tanpa pernah resah. Namun ketika muncul rencana pemerintah, sekitar tiga tahun silam dimana waktu itu masih memiliki pusat pemerintahan di Kabupaten induk Lombok Barat yang merencanakan akan membangun Pelabuhan di tempat pemukiman warga, masyarakatpun mulai gelisah dan resah, karena enggan meninggalkan rumahnya yang telah ditempati berpuluh-puluh tahun dengan anak keturunannya.
“Saya pernah diculik dan dibawa ke Gerung untuk dibujuk agar mau menjual pekarangan rumah yang saya tempati sejak lahir. Dan tentu saja saya menolak. Dan sejak saat itulah warga Labuhan Carik mulai resah dan gelisah yang disertai dengan kekesalan yang mendalam terhadap pemerintah yang kami nilai berbuat semena-mena terhadap masyarakat kecil dan lemah”, kata Ali, mengingat kejadian beberapa tahun lalu.
Semua masyarakat Labuhan Carik yang berjumlah 27 Kepala keluarga, jika ditanya bagaimana pemerintah Lombok Barat terutama mantan camat Bayan yang kala itu, Drs. Faisal yang secara terus menerus membujuk warga akan mengaku kesal, karena tidak ada pembelaan dan rasa kasian sedikitpun terhadap masyarakat kecil. “Bahkan kami sering dikumpulkan pada jam 12.00 malam guna membujuk warga agar mau menjual lahannya untuk dijadikan pelabuhan, tapi tetap kami tolak”, kata Bentol.
Kendati demikian, sebagai orang kecil, tentu akan mengalami kekalahan melawan penguasa, lebih-lebih masyarakat yang tinggal di Labuhan Carik sebagian besar tidak pernah mengecap pendidikan dibangku sekolah. Harga lahan yang tak sesuai dengan hati nurani pun harus diterima sambil gigit jari. Dan mereka dikumpulkan pada waktu malam hari dan diminta menandatangani lembaran kertas tanpa diketahui isinya, karena sengaja ditutur oleh sang petugas yang dating.
“Kami tanda tangan diatas lembaran kertas yang isinya sendiri kami tidak tahu, karena kop suratnya sengaja ditutupi”, kata Ali.
Setelah selesai, wargapun diminta untuk membeli lahan baru sebagai tempat mendirikan rumah dengan harga yang cukup tinggi yaitu Rp. 3 juta per are. Di tempat yang baru ini disamping kering dan berdebu, juga sempit dan tidak memiliki sumur dan listrik. Khusus untuk alat penerangan, warga tak bisa berdaya, walau sebagian mereka memiliki KWH, namun biaya untuk pemindahannya, mereka tidak mampu membayarnya.
Sejak beberapa bulan lalu, sebagian besar warga sudah pindah ke tempat relokasi yang konon dana relokasi itu hingga mencapai Rp. 400 juta. Lalu apakah warga ini dapat menikmatinya? Beberapa warga mengaku merasa tersiksa di tempat ini, karena disamping tidak memiliki alat listrik, juga dua sumur yang dibuatkan oleh pemerintah sudah hampir mongering dan airnya yang kotor. “Bahkan beberapa minggu lalu, warga yang mengkonsumsi air semur tersebut terkena penyakit gatal-gatal”, kata Yusuf Duma.
Di lokasi pembangunan Pelabuhan Carik, masih ada sekitar lima warga yang belum pindah, dua diantaranya adalah Jaming dan Apsah. Sementara ditempat pembangunan mulai mendatangkan berbagai alat berat seperti, escavator dan kendaraan yang mengangkut bahan material untuk menimbun lokasi pembangunan.
Apsah mengaku, bahwa dirinya bertahan ditempat tersebut karena sudah tidak memiliki dana lagi untuk membeli bahan material pembangunan ditempat relokasi yang baru. Karena bahan yang sudah dibeli habis tergerus air hujan, karena hamper dua setengah tahun tak pernah diurus, karena lambannya pemerintah menangani tempat relokasi.
Bila ditanya dan mengingat masa lalunya, Apsah selalu meneteskan air mata yang disertai luapan kekesalan dan menyayangkan pengoprasian alat berat dan penundaan yang terlalu lama sehingga membuat ibu dan dua keponakannya meninggal dunia karena tekanan batin.
"Nur kakak saya meninggalkan kami karena terlalu lelah berfikir ini disebabkan uang yang rencananya akan digunakan untuk membangun tempat tinggal sudah habis untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari, selain itu juga material bangunan seperti batu, kayu dan pasir sudah rusak dan tergerus hujan", tambahnya.
Ahmad Guntur dan Anggraeni keponakan Apsah, sekarang ini sudah menjadi yatim piatu dan kini menjadi tanggungannya. “Saya tidak tahu lagi dimana kami akan tinggal apabila tempat ini akan digusur, kemi berharap pemerintah memberikan perhatian kepada keluarga kami", katanya sambil sesekali menahan tangisnya.
Sementara warga yang sudah pindah ke tempat relokasi, juga mengalami hal-hal yang menyedihkan, karena hingga saat ini alat penerangannya belum ada, sehingga jika malam tiba, kampung ini menjadi gelap laksana kampong mati. Berbagai upaya telah dilakukan warga, mulai mengeluh melalui media, mendatangi pemerintah, dewan dan lainnya, namun tetap hasilnya nihil. Sehingga salah seorang warga menyebut, bahwa ditempat relokasi rasanya seperti ditempat mengungsian.
Janji pemerintah sebelum direlokasi, bahwa tidak akan menyulitkan warga, ternyata hanya isapan jempol belaka. Dana relokasi yang besarnya Rp. 400 juta untuk biaya pemertaan, pengukuran, pembuatan sumur bor dan pemasangan instalasi listrik juga raib entah kemana. “Sumur bor yang dijanjikan, namun sumur gali yang dibuatkan. Demikian juga dengan alat penerangan, pemasangan instalasi listri yang dijanjikan, namun lampu tempek pun tak diberikan”, ungkap puluhan warga sedih.
Salah seorang aktivis yang enggan dipublikasikan namanya juga mengaku heran melihat kasus warga pelabuhan carik yang berkepanjangan, padahal empat orang wakil dari Kecamatan Bayan duduk di DPRD Kabupaten Lombok Utara, bahkan menjadi ketua dewan. “Kalau memperjuangkan masyarakatnya saja tidak becus lebih baik mundur saja. Masak hanya sekedar warga minta lampu patromaks saja mereka tidak diberikan, hanya dijanji dan dijanji terus”, kata aktivis ini mengkritisi.
Kini harapan warga masih tertumpu kepada pemerintah yang peduli akan nasip mereka, terutama biaya pemindahan KWH dan pemasangan instalasi listrik. Demikian juga dengan Apsah yang masih tinggal di tempat pembangunan Pelabuhan Carik, yang sudah tidak memiliki biaya lagi untk membangun rumah, sementara dipundaknya harus menanggung beban dua orang anak yatim piatu yang ditinggal orangtuanya meninggal karena tekanan batin akibat pembangunan pelabuhan ini. Akankah mereka dibiarkan begitu saja????

Tidak ada komentar:

Posting Komentar